Gema tak begitu paham tentang kehidupan Rindu sebelumnya. Tapi ia tidak suka pada orang yang menyia-nyiakan hidupnya, baik Rindu atau siapa pun itu. Pemuda itu kembali mendekat pada Rindu.
“Pakai otakmu.” Gema melepas suara kesalnya. “Tuhan memberimu keterbatasan agar kamu lebih berusaha.”
“Jangan ngomong apa-apa lagi!” teriak Rindu, histeris. Ia menangis dengan membekap kedua telinganya.
“Kamu cuma berusaha buat lari dari kenyataan,” teriak Gema tak kalah keras.
Rindu tidak terima ini. Pemuda itu telah lancang memberinya ceramah dan itu sangat mengganggu. Reflek ia meraih asbak yang tergeletak di atas meja teras, dan melemparnya ke arah Gema, dan DHUAK! Tepat sasaran. Asbak kaca itu telak mengenai pelipis Gema. Pemuda itu mengaduh, tak lama sebelum tubuhnya limbung. Rindu yakin pemuda itu tidak apa-apa, sebab meski sudah tersungkur, dia masih saja bisa mengomel di sela rintihnya.
“Sialan, kamu! Arrrgghhh... sepertinya aku gegar otak.” Gema kembali berdiri. Tangan kanannya masih bertahan di pelipis, memegangi kepalanya yang memar. Saat Gema menurunkan tangannya, saat itulah Rindu baru menyadari apa yang telah ia lakukan.
“Astaga.” Rindu membekap bibirnya, memar di kepala Gema ternyata lebih parah dari yang ia bayangkan.
“Ke-kepala kamu...” Rindu menunjuk kepala Gema, sejenak lupa dengan perdebatan mereka sebelumnya.
“Kenapa?” Gema menyentuh kepalanya lagi, dan mulai sadar jika ada darah di sana. Menyentuhnya lagi. Hening. Warna merah yang menodai telapak tangannya itu membuat Gema merasa perutnya seperti diaduk dan kepalanya berputar-putar. ”Hueeekkk!” Sarapan yang Gema santap tadi pagi terbuang percuma, ia muntah tanpa mengenal tempat. Sial, Gema pikir phobianya terhadap darah sudah sembuh. Dan sialnya lagi, saat itu posisi Rindu tak jauh dari Gema.
Rindu memekik saat bajunya ternoda oleh muntahan Gema. Ia ingin mengumpat dan memaki Gema, tapi urung saat melihat muka Gema yang seketika pucat.
“Kamu, nggak apa-apa?” tanya Rindu hati-hati.
“Nggak apa gimana?” suara tinggi Gema membuat Rindu menciut, sedetik kemudian Gema kembali lemas. Kepalanya sakit.
“Ikut aku, biar kuobati lukamu.”
“Nggak perlu. Aku mau pulang,” jawab Gema, arogan.
“Jangan membantah, kamu mau aku ngerasa bersalah?” Belum apa-apa Gema sudah bikin jengkel.
“Mau.” Muka Gema terlihat polos saat mengatakan itu. Dengusan kesal dari Rindu yang membuat Gema berubah pikiran. Pada akhirnya Gema mengekor di belakang kursi roda Rindu menuju ruang tamunya.
***
“Kak? Itu kepalanya kenapa?” Guntur hampir menyentuh pelipis Gema yang sudah ditembel dengan kain kasa dan plaster, tapi Gema lebih dulu mendur dan menjauhkan tangan Guntur dari kepalanya.
“Jangan pegang-pegang. Ini sakit banget.”
“Emangnya kenapa?” berondong Guntur. Gema hanya memutar bola mata. Adiknya itu memang seperti anak kecil, selalu penasaran. Gema malas menjawab. Sepertinya tubuhnya sudah terlalu lelah. Gema langsung menuju kamar dan tertidur.
Keesokan harinya, ketika terbangun, Gema menyadari ini sudah lewat dari jam 7 pagi. Ia kesiangan. Tumben sekali Mama tidak membangunkan. Saat melihat ranjang sebelah, Gema juga tidak menemukan Guntur di sana. Pikir Gema, adiknya itu pasti sudah berangkat kuliah. Mamanya pasti repot menyiapkan sesuatunya sendiri.
Keluar kamar dan menemukan rumahnya sudah sunyi, Gema hanya menyempatkan cuci muka dan gosok gigi sebelum menyusul ke toko. Seperti dugaannya, Mama ada di sana.
“Maaf aku bangun telat, Ma.”
Mamanya menggeleng dan mengatakan, “Tidak apa-apa.” Sebelum melanjutkan aktifitasnya memanggang kue. Hari ini ada resep baru. Mama mencoba membuat kue bronis dengan bahan dasar singkong.
“Kunci motor di mana, Ma?”
“Motornya dibawa Guntur.” Mama telah memasukkan adonan bronis ke dalam oven. Ia melepas celemek dan siap membuka toko pagi ini.
“Lho, aku ngirim pesanan gimana?” Gema merasa bersalah karena bangun kesiangan.
“Guntur pakai motor buat ngantar pesanan, kok.”
Gema heran. “Lho, dia nggak kuliah?”
“Hari ini dia nggak ada kelas.”
Gema mengangguk. Saat itu Mama baru menyadari ada yang tidak beres dengan kepala Gema. “Itu, kepala kenapa?”
Gema menyentuh kepalanya, “Kemarin ada orang gila yang ngelempar kepalaku, Ma.”
“Mama kira tawuran.”
“Ma, aku kan anak baik-baik. Kalau tawur palingan sama Guntur.”
Mamanya tertawa. Putra kembarnya itu memang akan selalu berisik.
***
Rindu merasa benturan asbak kemarin membuat si pemuda pengantar bronis itu sedikit kehilangan ingatan. Sungguh, Rindu ingin menyentuh kening pemuda itu dan memastikan kalau pemuda itu tidak sedang demam. Sebab, pagi ini sikapnya sangat manis saat mengantar kue. Bahkan pemuda itu tersenyum ramah dan menekan bel, tidak berteriak seperti biasanya.
“Kamu, baik-baik saja?” Rindu mengernyitkan dahi saat melihat pemuda d depannya tidak memiliki bekas luka.
“Kenapa? Aku sehat,” jawabnya, bahkan suara pemuda itu sangat halus, berbeda dengan Gema yang biasanya.
Sungguh Rindu penasaran apa yang membuat pemuda itu jadi ‘jinak’ seperti ini. Rindu tidak mengizinkan pemuda itu langsung pulang ketika Bi Salmah sudah membayarkan uang pembelian.
“Ada apa? Aku sebenarnya harus nganter pesanan ke tempat lain.”
Rindu memperhatikan cara pemuda itu bicara, santun. Cara dia berpakaian, sangat rapi dan rambutnya tidak mencuat-cuat. Terkesan rapi meski tidak culun.
“Benturan kemarin bikin kamu berubah drastis, ya?”
“Benturan apa?” Guntur menggaruk kepala. Ini pertama kali ia mengantar pesanan dan ia sudah dibuat bingung oleh pelanggan.
“Nah, kan… kamu amnesia.” Rindu memijat pangkal hidungnya. Mulai was-was jika kecelakaan kemarin membuat pemuda itu terluka parah. Bahkan ia sampai melupakan beberapa kejadian yang baru saja terjadi.
“Dih, mbak aneh banget.” Guntur menatap Rindu dengan tatapan aneh. Ia mulai tidak betah berlama-lama duduk di rumah besar ini.
“Apa? Kamu juga manggil aku, mbak? Wah, bener ada kelainan nih…” sahut Rindu.
“Aduh, aku mau pulang dulu. Sudah buru-buru…” Guntur sudah bangkit dari duduknya, namun Rindu kembali menahannya.
“Tunggu, Bi Salmah sudah bikinin kopi.”
“Tapi aku nggak suka kopi.” Guntur tertunduk, memajang wajah penuh sesal.
“Sukanya?”
“Susu coklat.”
Rindu tersedak ludahnya, lalu terbatuk. Ah, dasar!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments