Keping Keempat

“Aku tidak bawa uang,” kata Rindu, lalu memalingkan wajah. Entah malu karena tidak membayar atau hal lain, yang jelas Rindu tidak suka ketika pemuda di hadapannya itu menatapnya dengan kepala miring ke kanan. “Kamu tidak punya uang?”

“Mama Papa tidak ada. Mereka lupa meninggalkan uang untukku.”

Setelah perlakuan yang sangat tidak menyenangkan, sekarang gadis itu tidak mau membayar? Cih, Gema merasa dipermainkan. Ia maju beberapa langkah, lalu mendekatkan wajahnya di depan wajah Rindu. Dengan tatapan mengancam, pemuda itu bertanya, “Kamu mau bronis gratisan, ya?”

“Apa maksudmu?” Tersinggung dengan pertanyaan pemuda di hadapannya, Rindu mendorong tubuh Gema hingga pemuda itu kembali mundur.

“Aku nggak mau tahu, pesanan bronis atas nama Bu Anjani sudah di antar, jadi kamu harus tetap bayar.” Gema mengetuk-ngetukkan kaki kanannya ke lantai. Mulai tidak sabar. Apalagi melihat wajah gadis itu tetap datar, itu sangat mengesalkan.

“Ambil lagi saja sana bronisnya.” Rindu buang muka. Saat yang sama, Bi Salmah datang dan melihat keributan dua orang itu pun keheranan. “Eh, ada apa ini?” Bi Salmah menengahi. Ini pertama kali Bi Salmah melihat Rindu banyak bicara, meski dengan nada kesal.

“Ibu ini yang namanya Bu Anjani?” tanya Gema, pada wanita tengah baya berdaster itu. Bi Salmah buru-buru menggeleng, “Bukan. Saya pembantu di sini. Nyonya sudah berangkat bekerja.”

Oh, pantas saja. Ternyata Gema sedikit terlambat mengantar pesanan.

“Ada apa Mas cari Nyonya?” tanya Bi Salmah. Saat yang sama, Rindu menggerakkan kursi rodanya dan masuk ke dalam. Gema melihat kepergiannya itu dengan muka kesal. Dasar gadis aneh, batinnya.

“Begini, Bi. Saya pengantar bronis pesanan Bu Anjani.”

Bi Salmah sedikit heran, biasanya pengantar bronisnya bukan pemuda satu ini. Bi Salmah mengamati Gema dari kepala sampai ujung kaki. Penampilannya terkesan asal sekali. Kaos putih, dirangkap dengan kemeja kotak-kotak yang tidak dikancingkan sama sekali. Celana jeans biru pekat dan sepatu kets. Rambutnya kecoklatan, meski tidak terkesan diwarnai. Warna kulitnya sedang, tidak terlalu putih atau terlalu gelap.

“Kok ngeliatin saya seperti itu, Bu?”

Bi Salmah buru-buru berdeham dan minta maaf atas perlakuannya yang kurang sopan. Bi Salmah hanya baru pertama kali melihatnya. Jadi sedikit heran. Biasanya yang mengantar bronis ke rumah kalau bukan wanita sebaya Nyonya Anjani, ya seorang pria tanggung yang entah siapa namanya. Bi Salmah kurang ingat.

“Sebentar, Bibi ambilkan uang dulu ya…”

Kalau begini kan urusan beres. Coba kalau tidak ada gadis pemarah itu, mungkin Gema tidak perlu berlama-lama berdebat di beranda rumah orang. Ia bisa segera mengantar pesanan lain atau menjaga toko.

***

Saat keesokan harinya Gema mendapat pesanan di alamat yang sama, ia mulai malas. Sebab tiap kali datang ke rumah Bu Anjani, gadis di kursi roda itu pasti sudah duduk di beranda rumah sambil melamun. Tiap hari. Gema sampai bosan kalau melihat gadis murung itu di beranda dengan ekspresi wajah yang sama, kosong. Mau menegur, Gema enggan. Tidak menegur, Gema penasaran. Sampai suatu hari, Gema sudah tidak bisa menahan dirinya untuk berkacak pinggang di depan gadis itu.

“Selalu aja bengong di pagi hari.”

Sindiran itu mengejutkan. Selama ini Rindu memang melihat pemuda itu wira-wiri mengantar bronis ke rumahnya. Bronis yang mau tak mau Rindu akui kalau rasanya begitu enak, bahkan Rindu selalu bertanya di mana bronisnya jika Bi Salmah lupa meletakkan kue coklat itu ke kamar.

“Hah, kamu lagi.” Rindu buang muka. “Bosen aku liat mukamu tiap hari.”

“Yee… kalau bosen, kenapa pesan bronis terus?” Gema bersiul.

“Bukan aku yang pesan, tapi Mama,” tegas Rindu. “Lagian bukan pengantarnya yang dipesan, tapi kuenya,” Rindu menambahkan dengan suara lemah. Gema tertawa. Sontak membuat kening Rindu mengkerut, memangnya apa yang lucu? Gema bisa menerjemahkan tatapan heran dari gadis itu.

Yang membuat Rindu heran adalah, ketika mendadak pemuda itu jongkok di depan kursi rodanya lalu mengangkat kepalanya sehingga bisa melihat wajah Rindu.

“Kenapa?” tanya pemuda itu.

“Kenapa apanya?” tanya Rindu dengan nada tinggi, lagi-lagi membentak meski pemuda itu bertanya dengan suara lembut. Ia sendiri heran, kenapa ia selalu jengkel melihat si pengantar bronis. Bawaannya ingin marah kalau bicara dengannya. Tapi, marahnya tertuang sepenuhnya, tidak seperti biasanya, ia hanya bisa menangis dan menahan semua di dada.

“Kenapa tiap hari bengong di beranda?” tanya Gema, bibirnya sedikit menyungging senyum. Manis. Tapi sangat menggelikan menurut Rindu, seperti senyum para playboy di sekolahnya dulu. Gadis itu memalingkan muka dan dengan tegas mengatakan, “Bukan urusanmu!”

Rasanya dahi Gema berkedut-kedut dibuatnya. Sudah bagus ia mau peduli. Bahkan ia sempat berbaik hati, menghormati gadis itu dengan tidak bicara sambil berdiri, tapi ternyata gadis itu terlalu congkak untuk mengerti.

“Ah, sombong sekali…” dengus Gema. Dan Rindu tidak peduli dengan apapun yang dikatakan pemuda itu. Meski mendadak Gema membuat masalah seperti dulu, Rindu tidak peduli.

“Ah, terimakasih atas pujiannya,” sinis Rindu sebelum meninggalkan pemuda itu. Sebelum benar-benar pergi, Rindu sempat menoleh ke arah Gema yang masih bengong di beranda. “Kalau mau nagih uang pembelian, sama Bi Salmah sana.”

Gema mengerti, dan ingin berteriak, “Sudah tahu!” sambil mencak-mencak, tapi ia tidak sekekanakan itu. Pemuda itu masih bertampang sok cool.

“Hei, Nona manis!” teriak Gema. Saat itu Rindu langsung menolehkan kepalanya, membuat Gema terkikik sendiri. “Percaya diri banget kamu, langsung noleh pas kupanggil Nona manis.”

Rindu merasa ia begitu dipermainkan. “Nyebelin banget, sih?”

“Lho? Kok jadi marah? Padahal aku mau kasih ini…” Gema menghampiri Rindu, menyodorkan tangan kanannya yang menenteng kantung plastik dengan kardus kecil di dalamnya. “Untukmu.”

“Apa ini?” Rindu melirik tak yakin pada kantung plastik dari Gema.

“Sekotak bronis untuk Nona manis.”

Entah kenapa Rindu merasa senyum Gema itu tulus. Tidak dipaksakan apalagi dibuat-buat. Itu yang menjadi alasan Rindu menerima bungkusan dari Gema. Tanpa mengucapkan terima kasih, Rindu kembali masuk, dan Gema pun ingin bergegas pergi.

Hari ini sebenarnya Bu Anjani tidak memesan bronis. Tapi saat lewat tadi, Gema melihat gadis itu di tempat yang sama. Tapi, sebelum Gema menjauh dari beranda, pemuda itu kembali dan melihat Rindu masih di dekat pintu ruang tamu.

“Kenapa balik? Mau nagih uang bronis ini?” Rindu menenteng kantung plastik bronis dari Gema tadi.

“Bukan!” Gema berdecak. Ah, gadis itu selalu sewot, gerutunya. “Siapa namamu?”

Hening. Tak ada jawaban yang terucap. Gema jadi menyesal telah menanyakan hal tak penting itu. Fine, tidak masalah meski gadis itu tidak menjawab pertanyaannya. Lagipula tidak penting juga tahu siapa namanya. Pemuda itu melengos dan melangkah pergi dengan menggerutu.

“Siapa namamu?”

Gadis itu bertanya? Gema menoleh cepat, secepat saat ia menjawab, “Gema.” Oops! Gema kelepasan. Kenapa juga ia menjawab pertanyaan gadis itu sementara dia sendiri tidak menjawab pertanyaannya? Ah, gadis itu curang! Sangat curang karena sekarang sosoknya malah menghilang saat pintu ruang tamu ditutupnya.

“Ah, menyebalkan!” Gema menendang pilar penyangga di depan rumah, sejurus kemudian malah ibu jari kakinya yang nyut-nyutan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!