“Aku mau kamu sekolah. Aku mau kamu wujudkan mimpimu yang lain.”
Rindu memang tak menjawab, tapi ia berjanji akan memulai semuanya dari awal. Demi dirinya, demi mimpinya dan demi Gema, cinta pertamanya.
Gema membawa Rindu menuju taman sesat, di sana hampir beberapa menit Gema tidak menemukan jalan keluar. Rindu menikmati perjalanan yang seakan tidak menemukan ujung ini. Ia banyak bicara, banyak berbagi tentang kehidupan masing-masing.
“Boleh tanya sesuatu?” Gumam Rindu. Gema menghentikan langkahnya. Ia mulai lelah. Wajahnya pucat, dan seluruh tubuhnya terasa berat. Meski begitu, pemuda itu masih berusaha tetap berdiri tegak.“Silakan.”
“Kenapa kamu baik banget sama aku?” Rindu sama sekali tak punya keberanian menatap lawan bicaranya. Untunglah Gema masih di belakangnya, mendorong kursi rodanya.
“Apa perlu alasan untuk berbuat baik?” tanya Gema.
“Apa kamu selalu memperlakukan perempuan dengan cara yang sama?” Entah mendapat keberanian dari mana sampai Rindu menanyakan hal itu. Sungguh, ia telah dibuat besar kepala dengan perlakuan Gema selama ini. Tapi, Rindu tak tahu, apa ia memang spesial di mata Gema atau itu hanya sebatas sopan santun. Gema tak pernah membahas apa pun soal perasaan, dan Rindu pun tak bisa mengakuinya begitu saja.
“Tentu tidak,” jawab Gema, terdengar mantap, meski berikutnya ia terbatuk. Saat Rindu menoleh, wajah Gema memang berbeda dengan pertama kali bertemu tadi, pemuda itu kini tampak pucat pasi.
“Kamu sakit?” tanya Rindu.
“Tidak, kok.” Gema mengembangkan senyum, mengusap keringat di pelipis dan kembali melangkah. Kalau hanya seperti ini, Gema yakin masih bisa bertahan.
***
Pada akhirnya, mereka menumpang istirahat di pos satpam. Rindu sempat panik saat melihat Gema meringis sembari memegangi perutnya. Awalnya Gema bersikeras mengatakan tidak apa-apa, tapi wajahnya yang pucat itu tidak akan bisa menipu.
“Kamu pasti punya maag.” Pak satpam tua itu sangat baik. Ia memberikan sebungkus roti untuk Gema, bahkan lelaki itu sempat meninggalkan pos jaga hanya untuk membeli obat maag tablet kunyah. Gema jadi sungkan sendiri, datang untuk liburan justru merepotkan orang lain. Ia juga membuat Rindu cemas tadi.
“Makasih, Pak. Saya jadi ngerepotin.” Gema malu-malu menyantap rotinya, itu pun setelah didesak pelototan oleh Rindu. Ia menelan rotinya tanpa nafsu, yang penting cepat menghabiskannya.
“Sama sekali nggak ngerepotin.” Pria baya itu tersenyum dan menepuk pundak Gema. “Kamu bikin inget anak Bapak di rumah,” katanya.
Gema tersenyum, menggaruk tengkuk. Meski sikap Pak satpam itu sangat bersahabat, tetap saja Gema merasa sungkan. Itu yang jadi alasan bagi Gema untuk buru-buru mengajak Rindu pulang setelah nyeri di perutnya sedikit mereda.
“Kenapa buru-buru?” tanya Rindu setelah Gema memutuskan undur diri, Gema tak menjelaskan. Ia hanya tersenyum tipis pada gadis itu dan mendorong kursi rodanya ke tepi jalan untuk mencari taksi.
Baru setelah keduanya duduk dalam taksi, Gema mau bersuara, “Maaf ya… maaf banget.”
“Nggak masalah, kok,” sahut Rindu. Ia mencoba mengerti keadaan Gema. Meski terlihat lebih baik dari sebelumnya, tapi tetap saja Gema masih terlihat pucat. Dan, kalau diperhatikan, Gema juga makin kurus saja.
“Nanti sore, ada waktu ke jembatan Setia Budi?”
Rindu menoleh dan mengangguk antusias.
***
Rindu senang karena saat senja, tidak turun hujan. Langit cerah, kemerahan. Dan Rindu lebih senang saat tahu bahwa ia tak perlu menunggu Gema karena pemuda itu sudah datang lebih awal. Pemuda itu menggenggam kamera saku. Sementara, Rindu membawa buku gambarnya. Bukan buku gambar dari Gema, karena sudah penuh sejak lama. Rindu selalu menggambar sejak Gema menyadarkan bahawa ada banyak bintang yang bisa diraihnya, karena Rindu selalu percaya pada kata-kata Gema, termasuk ketika Gema mengatakan bahwa Rindu seperti langit yang dipenuhi bintang.
“Kamu bawa kamera?” Rindu menunjuk kamera di tangan Gema. Pemuda itu mengangguk.
“Cuma buat perbandingan, bagus mana hasil jepretanku atau hasil gambar kamu.”
Rindu meninju lengan Gema main-main. “Nyindir nih?”
“Nggaklah. Aku tulus.” Gema tersenyum, bukan seringai jahil seperti biasanya. Kalau seperti ini keadaannya, Rindu tak akan bisa berkomentar banyak lagi. Bibirnya dibungkam oleh debar jantung yang menggila. Wajahnya memanas dan yang bisa dia lakukan hanya membuka buku gambarnya dan menguratkan pensil 2B di sana.
“Kamu ngegambar apa?” Gema baru saja melongokkan kepalanya, tapi Rindu buru-buru mendekatkan buku gambar itu ke dadanya. “Belum selesai.”
Gema mengangkat kedua tangannya, menyerah. Ia tidak akan memaksa jika Rindu tidak ingin menunjukkan gambar itu padanya. Melihat Rindu yang mulai tekun saja membuat Gema bisa bernapas lega. Gema memandang Rindu yang sekarang memang berbeda dengan Rindu yang ia temui beberapa bulan lalu. Rindu yang hanya membuang waktunya di depan rumah dengan melamun. Memandang taman dengan mata kosong. Rindu yang selalu sinis dan kasar pada orang lain. Dan kini, yang di hadapannya adalah Rindu yang mulai hangat dan menghangatkan.
“Makasih, ya…” Gumam Rindu, tiba-tiba. Gema tak mengerti, ia hanya mengernyit. “Buat?”
“Mulai besok, aku kembali ke sekolah.”
Gema terbelalak, lalu tergelak. Ia senang bukan kepalang. Masih setengah tak percaya dengan kalimat Rindu yang sama sekali tidak ia duga sebelumnya. Ah, Rindu. Pada dasarnya ia bukan gadis yang keras kepala, Gema tahu kalau Rindu berhati lembut.
***
Saat kembali dari rutinitasnya mengantar pesanan, Gema menemui adiknya masih duduk selonjoran di ruang tamu. Masih memakai piyama dan rambut berantakan, belum mandi. Gema melirik jam dan melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul 08.00. Seharusnya Guntur sudah berangkat kuliah sejak tadi.
“Kamu nggak kuliah?” tanya Gema. Ia melipat tangan di depan dada, sembari memasang wajah galak. Percuma saja, adiknya itu masih menggeliat di kursi, sesekali pemuda itu menggaruk rambutnya yang belum dikeramas. Saat wajah galak Gema tak kunjung mereda, Guntur hanya meresponnya dengan kalimat santai, “Aku cuti kuliah juga.”
Wajah Gema kontan didominasi gurat kejut. “Cuti kuliah?” Suara Gema meninggi.
“Maksudnya?” Kening Gema mengkerut. Sebenarnya, ia bukannya tidak mengerti dengan kata-kata adiknya, yang ia tak mengerti adalah alasan apa yang membuat Guntur mendadak tidak mau kuliah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments