Usai makan malam, keluarga Rindu mengajak mengobrol di ruang tamu. Berkumpul bersama adalah hal yang nyaris tidak pernah terjadi. Tapi kali ini, berkat kedatangan Gema, semua jadi berkumpul, termasuk Rindu sendiri. Di sana, berkali-kali Papa menggoda Rindu, membuat anak gadisnya itu tersipu. Kasih pun tak mau kalah. Ia bahkan mengatakan kalau Rindu sangat beruntung, punya Gema yang tampan dan sopan. Teman-temannya di kampus tidak ada yang seperti itu, tegas Kasih bercerita.
Rindu berkali-kali menutup wajahnya karena malu. Meski berkali-kali ia menyangkal, tetap saja Papa dan Kasih terus menggoda. Mama Anjani meresponnya dengan kikik geli.
“Rin, kenapa nyangkal segala, sih?” seru Gema, matanya melirik jahil pada Rindu yang makin merah saja wajahnya. “Diam kamu!”
Gema bersiul. Dan malam itu, rumah Rindu penuh keriuhan. Kegembiraan yang tak akan pernah terlupakan, khususnya bagi Rindu.
***
Rindu melihat Gema menguap saat ia mengantarnya sampai beranda rumah. Tidak terasa sudah hampir jam sepuluh malam. Sesaat setelah pamit pulang, Papa dan Mama meminta agar Rindu mengantar Gema.
“Makasih untuk hari ini,” ucap Rindu, malu-malu. Sikap Rindu hari ini sangat berbeda, ia tidak ketus seperti biasanya. Bahkan setelah dipancing-pancing tadi, Rindu juga tidak marah. Seperti bukan Rindu saja.
“Seharusnya aku yang makasih, karena udah diundang makan malam,” ucap Gema tulus. Dan ia sangat menyukai keluarga Rindu yang hangat. Gema tahu, keluarganya tidak mungkin bisa sehangat itu. Perceraian orang tuanya membuat keluarganya tak lengkap lagi.
“Lain kali, kalau diundang makan malam, kamu harus datang ya. Jangan kapok.”
Gema rasa, ia tidak akan pernah kapok, dan pastinya akan menanti undangan berikutnya. “Sampaikan ucapan terima kasih buat Papa dan Mama kamu ya, salam juga buat Kak Kasih.”
Rindu mengangguk.
“Ngomong-ngomong, masakan Mama kamu enak banget.” Gema mengangkat jempolnya, tapi harus buru-buru diturunkan saat Rindu meralat, “Itu masakan Bi Salmah.”
“Oh, pantesan,” respon Gema yang disusul tawa kecilnya.
Rindu pun tertawa. Teringat Mamanya yang sampai sekarang tidak pandai memasak. Barangkali Rindu pun akan seperi Mama ketika berkeluarga.
“Aku pulang dulu, ya…” pamit Gema.
“Salam buat Mama kamu. Terima kasih buat kuenya yang selalu enak.”
Gema mengangguk dan melambaikan tangannya. Di balik jendela ruang tamu, tanpa Rindu sadari ada gerombolan yang mengintipnya. Papa, Mama, Kasih juga Bi Salmah yang berebut tempat. Ingin menyaksikan langsung obrolan Rindu dan Gema. Harusnya di beranda rumah dipasang CCTV agar lebih praktis menontonnya secara live.
***
Gema baru akan pergi tidur saat didengarnya suara ponselnya berdering. Pesan dari Rindu. Pemuda itu tersenyum, lalu membaca pesan itu dalam hati.
[Jangan lupa sampaikan terima kasih buat Mama kamu, kuenya enak.]
Dengan gerakan cepat Gema membalas
[Sudah aku sampaikan, katanya sama-sama, lain kali harus ada kue balasan, buatanmu.]
Tak lama kemudian balasan dari Rindu datang.
[Hei, aku tidak pernah membuat kue.]
Gema terkekeh, untuk urusan dapur, sepertinya Rindu ada di bawah levelnya. Tak butuh waktu lama untuk membalas pesan itu.
[Itu urusanmu. Tapi, Mamaku beneran pengen ketemu kamu katanya.]
Balasan dari Rindu membuat dada Gema bergemuruh. Pesan yang berbunyi, [Mamamu atau kamu sendiri? :p]
Malam itu, Gema tertidur dengan tangan yang menggenggam ponsel yang berkedip-kedip.
***
Ada langkah mengendap, Guntur melihat bayang Gema yang berjingkat dalam keremangan. Kantuk Guntur hilang seketika, dikalahkan rasa penasaran yang mendorongnya untuk segera bangkit dan membuntuti Gema diam-diam. Sebenarnya Guntur terbangun sejak mendengar Gema menggigil di balik selimutnya. Hari ini tidak terlalu dingin, kenapa Gema sampai menggigil seperti itu?
Guntur berdiri di balik dinding dapur, mengamati Gema yang mengalirkan air dari dispenser lalu meminumnya, tapi gelas itu terjatuh bahkan sebelum isi gelasnya habis. Tubuh Gema limbung, merosot jatuh sembari memegangi perut bagian atas. Ada ringis dan batuk kecil di saat yang bersamaan, disusul bercak darah yang sampai menodai bawah bibirnya. Pemuda itu mengusap darah di bibirnya, menyadari warna merah itu membuat perutnya terasa diaduk. Sepulang dari rumah Rindu tadi, Gema merasa meriang. Malamnya, ia merasa tubuhnya demam, ia terbangun dan tidak bisa tidur lagi.
Yang Guntur tahu, Gema memang benci melihat darah, pemuda itu selalu mual jika melihat darah. Tapi apa yang Guntur lihat kali ini bukan sebatas phobia Gema yang biasa, itu terlihat jauh lebih fatal. Apa yang terjadi pada Gema sebenarnya? Guntur tidak mau percaya, tapi ia tidak bisa menyangkal kalau sepertinya Gema memang sedang sakit kronis. Menyadari kejanggalan itu sontak membuat kaki-kakinya kebas. Ia pun terduduk lemas di lantai. Ia berharap apa yang terlihat itu tidak benar.
Perlahan Guntur bangkit, ia meninggalkan dapur sebelum Gema menyadari keberadaannya.
Sementara Gema membereskan serpihan gelas sebelum ada yang terbangun.
Gema tak akan bisa tidur setelah ini. Kalau sudah begini, Gema cuma bisa merenung di teras rumah. Memandang mawar-mawar yang sekarang hidup sendiri, Mama tak sempat merawat tanaman karena sibuk dengan toko kue. Tangan kanan Gema masih mencengkeram perut bagian atasnya, rasa sakit itu masih terasa tapi sudah tidak seekstrim tadi. Jika kelak rasa sakit itu membuatnya kalah, Gema ikhlas, kalau harus mati muda, Gema juga tidak bisa menolak.
Yang membuatnya berat hanya Guntur. Sebagai saudara kembar, Gema sadar, jika ia pergi berarti jiwa Guntur pasti tak akan seimbang lagi. Sementara Mama, bagaimana jika ia pergi nanti? Dan satu nama yang akhir-akhir ini menambah beban pikirannya, Rindu. Apa dia sudah bisa bangkit? Bagaimana kalau Rindu terpuruk lagi kalau ia pergi?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments