Keping Ketujuh Belas

“Setelah ini aku mau bantu Mama juga di toko.” Pengakuan itu membuat Gema tercengang. Bukankah sudah berkali-kali Gema katakan kalau tugas Guntur itu cukup kuliah saja? Sementara kerja adalah bagian Gema. Tapi sepertinya Guntur tidak tahu apa yang Gema inginkan. Padahal Guntur yang biasanya adalah pemuda penurut yang selalu mengangguk ketika Gema memintanya segera berangkat ke kampus. Tapi kali ini Guntur berani bilang terang-terangan ingin cuti kuliah.

Gema menarik napas panjang, lalu mengepalkan kedua tangannya, menahan diri agar tak sampai kelepasan dan mendaratkan kepalan tangannya di hidung Guntur. Adiknya itu benar-benar kurang ajar. Beraninya dia! Padahal Gema sudah berkorban demi kelangsungan pendidikan adiknya, tapi apa yang Guntur lakukan sekarang? Mau cuti katanya? Mau ikut-ikutan bantu Mama katanya? Yang benar saja.

“Kamu mau berhenti? Mikir dong, Kakak selama ini berhenti buat kamu. Biar kamu bisa lanjut kuliah.” Gema mengomel panjang. Ini pagi yang sebenarnya tak ingin ia awali dengan gerutuan, tapi adiknya itu sangat menyebalkan.

“Aku berhenti cuti kuliah juga buat Kakak.” Guntur berdiri. Mereka saling tatap nyaris tanpa kedip. Tinggi badan yang sama, tatapan tajam yang sama, mereka seakan tak ingin mengalah satu sama lain.

“Apa maksudnya buat Kakak?” Mungkin nalar Gema harus berpikir keras, sebab Guntur terlalu berbelit-belit. Gema baru akan membuka mulutnya untuk bertanya lebih jelas, tapi Guntur sudah menjawabnya lagi, “Aku yang bakal bantu Mama, dan aku pengen Kakak fokus berobat. Kalahkan kanker hati itu, Kak.”

Deg! Gema terdiam seketika. Seluruh persendian tubuhnya seolah membeku. Bahkan ujung lidahnya serasa tak bisa digerakkan. Jadi, inilah alasan Guntur menolak pergi kuliah?

“Kamu nggak perlu melakukan itu.” Tolak Gema tegas. Tangan kanannya menyentuh bahu Guntur, lalu menepuk-nepuknya pelan. “Kakak kan udah pernah bilang, kuliah saja yang benar.”

“Dan harusnya Kakak menghargai perhatianku.” Guntur emosi, suaranya meninggi. Ia bahkan sampai menyingkirkan tangan Gema yang bergerak di bahunya. Gema diam melihat reaksi adiknya yang di luar kebiasaan. Guntur itu bukan seorang yang pemarah, kalau belakangan ini ia mudah sekali tersulut, mungkin memang ada yang salah di sekitarnya. Gema menarik lagi napas panjangnya sebelum duduk di sofa. Guntur mengikutinya.

“Kamu kuliah aja udah cukup bikin Kakak merasa diperhatikan.”

Kata-kata Gema itu membuat Guntur diam beberapa saat, barangkali sedang memikirkan solusi. Setelah keterdiaman beberapa saat, Guntur mengangguk-angguk. “Oke, aku mau kuliah. Tapi dengan satu syarat.”

“Apa?” tanya Gema. Firasatnya menduga bahwa syarat yang diajukan Guntur pasti bukan hal yang mudah. Meski begitu, Gema mencoba mendengar negosiasi itu dengan antusias.

“Kakak ikut Papa,” ucap Guntur yang berakhir keheningan cukup panjang. Gema mengerutkan kening. Untuk kesekian kalinya Gema kehabisan kata-kata. Melihat keterdiaman Gema, Guntur mencoba untuk menjelaskan lebih rinci lagi. “Papa banyak uang, Kak. Dengan uangnya, Papa bisa ngasih yang terbaik buat kesembuhan Kakak. Kalau perlu, Papa bisa bawa Kakak berobat ke luar negeri. Yang peralatannya canggih.”

“Sampai kapan pun, Kakak nggak mau pakai uang Papa.” Wajah Gema berubah mengeras.

Guntur bungkam sejenak. Ia tahu alasan Gema menolak Papa mereka karena perbedaan pendapat, Gema sama seperti Mama mereka, begitu membenci uang panas, sementara Papa mereka justru terlibat pencucian uang. Dan hebatnya, sampai saat ini tindak kriminal itu tidak pernah ketahuan. Guntur pun tahu Gema ingin Papa mengakhiri pekerjaan itu, tapi nyatanya baik Gema maupun Mamanya tak pernah tega melaporkan tindakan Papanya pada polisi. Sebagai gantinya,Mama hanya menggugat cerai. Gema pun tak sudi makan dari hasil kerja Papanya.

“Jangan sombong kalian!”

Guntur memejamkan mata sejenak, teringat ucapan Papa ketika mereka meninggalkan rumah mewah di kompleks elit Araya. Semula, kehidupan mereka serba berkecukupan. Guntur dan Gema jadi murid SMA yang paling disegani karena kekayaan orang tua. Ke mana-mana dengan mobil sport mahal, dan banyak teman. Mungkin memilih melepaskan semua itu memang berat, tapi pendirian Mama Niar tidak akan berubah, dan Gema juga menuruni sifat keras kepala yang sama.

“Kita lihat sampai kapan kalian bertahan tanpa uang Papa.” Teriak Papa mengingatkan. Hanya Guntur yang menoleh saat itu, berat meninggalkan dunianya yang gemerlap. Tapi nyatanya ia lebih memilih bersama Gema. Tapi hal yang memberatkan hadir kembali, masalah sakit Gema yang serius. Hanya Papa yang bisa melakukan sesuatu.

Pagi tadi, sebelum Gema kembali dari mengantar pesanan, Papa sempat datang. Mama Niar tak peduli hal itu. Wanita itu langsung bergegas ke toko, dan Guntur menjadi satu-satunya orang yang bisa diajak negosiasi.

“Jadi Papa sudah tahu Kakak sakit?” Tanya Guntur, seluruh tubuhnya lemas. Papanya datang pagi-pagi begini hanya untuk meminta Guntur membujuk Kakaknya untuk segera berobat.

“Gema sempat periksa kesehatan di RS Saiful Anwar, dan kebetulan dokternya adalah Adrian.” Papa menjelaskan. Guntur hanya dapat mengepalkan kedua tangannya, ia menyesalkan, kenapa Gema selalu saja menyimpannya sendiri, tanpa membagi masalahnya dengan saudara.

“Lalu kenapa Papa diam aja?”

“Gema selalu melarang Papa memberitahu Mama,” jawaban itu tidak mengherankan Guntur. “Papa berkali-kali mencoba membujuk Mama kembali, tapi Mama kalian itu keras kepala.” Air muka Papa terlihat keruh. Yang Guntur sadari, Papa memang tak seperti dulu. Banyak yang berbeda termasuk tubuh Papa yang makin kurus. Barangkali Papa tertekan karena sendirian.

“Bujuklah Kakakmu.” Suara Papa terdengar seperti depresi. Ia memang nyaris putus asa jika mengingat Gema, putra sulungnya itu sangat keras kepala.

Guntur tertunduk, meski tak yakin kalau Gema bisa diluluhkan hanya dengan bujukan, tapi ia akan mencoba. Kalau perlu akan sedikit memaksa.

“Mamamu sudah tahu soal Gema?” tanya Papa. Guntur menggeleng. “Kakak nggak mau Mama sampai tahu.” Dan itu mengakhiri obrolan mereka pagi itu. Jam sudah menunjukan pukul tujuh, itu artinya Papa harus segera berangkat bekerja. Lelaki itu merangkul bahu Guntur sekilas dan berlalu menuju mobilnya.

Semua akan lebih mudah kalau Gema menurut apa kata-kata Papanya. Tapi seperti yang Guntur lihat sekarang, Gema begitu kokoh pendirian, seperti tebing yang tak bisa bergeser sedikit pun.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!