Keping Ketujuh

Ini pertama kali Gema melihat Rindu keluar dari zona aman—kawasan beranda rumah. Pemuda itu tersenyum, sumringah. Pada akhirnya Rindu mau bergerak. Meski masih ada Bi Salmah di belakangnya. Tapi, mungkin itu karena Rindu sulit menggerakkan kursi rodanya di kawasan jalan lapangan Rampal.

Gema baru saja pulang main futsal saat melihat Rindu melintasi jalan di sekitar lapangan. Gema mengusap keringat di keningnya dengan handuk kecil yang melingkar di lehernya sebelum berteriak, “Rindu!” dengan tangan kanan yang terangkat tinggi, melambai-lambai.

Gadis itu melihat Gema berlari cepat ke arahnya. Uh, sungguh tingkah yang kekanakan. Bahkan teriakan lantangnya itu telah membuat orang-orang di sekitarnya menoleh ke arahnya. Apa Gema tidak sadar.

Tunggu, baru saja Gema memanggil namanya…? Gadis itu mengernyit, “Tau namaku dari mana?” tanya Rindu ketika pemuda itu sudah berdiri di depannya dengan cengiran lebar.

Gema menunjuk Bi Salmah dengan dagunya. “Aku bisa tanya orang lain kalau kamu nggak mau jawab.” Gema menjulurkan lidah, seperti anak kecil. Menjengkelkan. Pemuda itu sebenarnya kenapa? Kemarin Rindu pikir Gema sudah berubah, tapi sekarang? Kenapa kembali menyebalkan? Ah, Rindu kurang memperhatikan, tapi seingatnya tidak ada tempelan plester di kening Gema kemarin. Tapi sekarang, kenapa ada lagi?

“Tumben mau keluar?” sindir Gema. Dan entah kenapa Rindu bisa melihat seringai yang berbeda dari cengiran sebelumnya. Membuat Rindu gemas ingin meninju mulutnya.

“Emangnya nggak boleh?” sinis Rindu. Di belakang, Bi Salmah mengusap bahu Rindu. “Non, jangan gitu sama temennya.”

Deg!

Rindu tercenung. Teman? Ah, Rindu hampir lupa dengan kata ‘teman’. Begitu lama ia tidak bertemu dengan teman-teman yang dulu mengaku karib. Di saat kondisinya begini, kemana mereka semua?

“Tentu aja boleh. Aku malah seneng.” Ada sebuah keramahan di balik gelagatnya yang serampangan. Terlebih, jawaban Gema itu membuat Rindu tercenung untuk kedua kalinya. Kenapa Gema yang baru dikenalnya justru bisa bersikap seolah ia sudah lama berteman?

“Seneng?” Rindu mengernyit.

Gema tersenyum. ‘Seneng ya?’ Bahkan Gema sendiri heran kenapa ia harus senang melihat Rindu sedikit ada perkembangan. Gema tak tahu kenapa ia harus peduli pada orang lain. Apalagi seorang Rindu, gadis yang sama sekali tidak bisa bersikap ramah.

“Ada satu tantangan buatmu,” ucap Gema. Rindu tak menjawab, juga tak perespon sedikitpun. Justru Bi Salmah yang mencolek-colek bahu Rindu. “Non jangan diem aja dong.”

“Kalau berani, besok, ketika senja mulai turun, datang ke sini lagi. Aku mau nunjukin sesuatu.”

“Emang mau nunjukin apa?”

“Ade deh…”

Rindu mendengus sebal. Lain dengan lawan bicaranya yang masih cengar-cengir. “Kalau begitu, sampai ketemu besok pagi dan saat senja turun. Di sini ya.”

Yang membuat Rindu sebal adalah ketika Gema dengan seenaknya pergi tanpa permisi, bahkan Rindu belum sempat mengatakan tidak mau. Dengan mulut mengerucut, Rindu memberi isyarat pada Bi Salmah, mencolek tangan Bi Salmah agar wanita itu mendorong kursi rodanya. Tapi yang ada wanita itu masih terdiam, bengong mengamati kepergian Gema yang sudah ditelan tikungan.

“Dia lucu ya, Non. Beda sama pemuda lain,” komentar Bi Salmah. Rindu tak menimpali. Tapi ketika Bi Salmah menambahkan, “Besok bibi antar ke sini lagi di saat senja mulai turun, setelah itu Bibi tinggal ya.” Rindu terbatuk seketika. Dan gadis itu tak tahu kenapa ia merasa mukanya terbakar. Nada suara Bi Salmah itu terdengar sangat menggoda. Sial.

***

Alphard putih bernomor polisi N 6277 JU itu terparkir di depan rumah saat Gema baru sampai. Gema kenal betul dengan mobil mewah itu. Mobil milik Papa, kan? Gema mendengus malas, ini untuk kesekian kalinya Papa mendadak muncul, sungguh itu tidak pernah diharapkan sejak perpisahannya dengan Mama lima tahun silam.

Rumah masih sepi, sepertinya Mama masih di toko, sementara Guntur belum pulang kuliah. Gema terdiam, kakinya mendadak terpaku di jalan saat melihat lelaki itu lagi. Lelaki berjas rapi itu duduk di kursi rotan yang tersedia di teras. Anjar Setyabudi, masih gagah seperti dulu, tidak seperti Mama yang sekarang tampak lebih tua dan berantakan. Barangkali karena dimakan kesibukan, sampai tak sempat merawat diri. Sementara Papa yang seorang DPR, tak perlu bekerja keras untuk mendapat uang.

“Gema…” Anjar tersenyum melihat Gema. Pemuda itu terlihat baik-baik saja.

“Papa kenapa di sini?” tanya Gema. Dengan nada kurang menyenangkan. Wajah Anjar sontak berubah kelam saat pertanyaan Gema itu terdengar. Oh, baiklah, Gema sebenarnya sadar pertanyaan itu kurang sopan jika diajukan untuk orang tua yang datang mengunjungi anaknya sendiri.

“Papa pengen tau keadaan kamu.”

Gema melangkah mendekat pada lelaki itu, “Lihat… Aku baik-baik saja, Pa.”

“Kamu nggak baik, Gema,” tegas Papa. “Berapa kali Papa bilang agar kamu segera operasi?”

Gema menggeleng, lalu diam sekian detik. Gema tahu, Papanya itu memang keras kepala, persis seperti dirinya. Yang ia ingat, Gema pernah menolak permintaan Papanya ini beberapa bulan lalu. Kalau memang ia keras kepala, biarlah. Setidaknya ia tidak akan menggunakan uang Papanya untuk operasi. “Aku nggak mau operasi.”

“Dan berakhir mati konyol?” Anjar berdiri dari duduknya. Kedua matanya melotot, sayangnya Gema tak pernah berpikir kalau itu cukup seram untuk memberinya ancaman.

“Aku nggak akan mati…” tegas Gema. “Sebelum waktunya,” lanjutnya lirih.

Papa menghirup banyak sekali udara, memenuhi rongga dadanya. Sungguh, anak sulungnya itu membuatnya tak pernah merasakan tenang dalam hidup. “Menyerah dengan keadaan juga sama saja bunuh diri.”

Saat Gema tak mengatakan apapun, Papa mendekat, menyentuh bahu Gema sebelum mengatakan, “Tinggal sama Papa lagi, ya? Kamu harus sembuh.”

“Aku lebih suka di sini. Lagian aku nggak bisa pisah sama Guntur.”

Anjar tak pernah mengerti kenapa Gema bisa begitu santai menanggapi masalah serius seperti ini. Lelaki itu berkali-kali menggeram tiap kali melihat putranya tetap bicara santai, seolah tidak terjadi apa-apa.

“Kalau begitu, ajak Guntur juga...” bujuk Anjar, tapi yang ada Gema menggeleng lagi.

“Lalu Mama gimana?”

Seperti yang Anjar duga sebelumnya, kedua anaknya itu memang lebih memilih Mamanya.

“Kenapa masih mikir wanita itu? Bahkan pasti Mama kamu nggak tau kalau kamu sakit—“

“Aku memang nggak mau mereka tau… Guntur dan Mama, mending mereka nggak tahu,” jelas Gema. “Aku sebenarnya juga nggak mau Papa tahu. Sayangnya, dokter Adrian itu besar mulut juga.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!