Keping Kesembilan

“Bagus sekali,” komen Gema. Padahal gambar Rindu belum selesai, tapi Gema tulus saat mengucapkan itu. “Kamu bakat ya. Pasti bisa jadi pelukis, ilustrator atau desainer…”

Rindu memang suka melukis, tapi sejak dulu ia hanya menjadikannya hobi, bukan mimpi. Mimpinya adalah menjadi balerina terkenal, dan mimpi itu sudah tidak mungkin terwujud.

Saat Rindu selesai dengan gambarnya. Gema bertepuk tangan. “Ayo, bikin satu lagi.”

“Buat apa?” tanya Rindu dengan alis terangkat.

“Ayolah, buat satu lagi.” Gema terdengar memohon. Rindu terdiam sejenak, namun Rindu tidak bertanya lagi. Ia melakukan apa yang Gema perintahkan, menggambar yang sama persis dengan gambarnya yang semula. Lima belas menit kemudian, satu gambar yang sama telah selesai. Gema masih berdecak kagum, “Keren ya.”

“Biasa aja,” respon Rindu. Gema sendiri tak tahu kenapa gadis itu begitu datar, tanpa ekspresi. Tapi rasanya Gema tahu kalau itu cuma sebuah kepura-puraan. Gema meraih buku gambar itu dan merobek satu gambarnya. “Ini satu untukku ya, buat kenang-kenangan.”

Rindu tersenyum. Gema sempat mengira ia salah lihat, tapi ternyata memang Rindu tersenyum meski sekilas, seperti kereta yang melintas. “Sampai dijadikan kenang-kenangan.”

“Gambar kamu bagus banget. Kamu berbakat!”

Rindu setengah mati menahan diri agar tidak tersipu, tapi gagal. Wajahnya tetap memerah dan Gema menyadari itu, meski Gema tidak membahasnya apalagi menggoda Rindu. Pemuda itu justru pura-pura tidak melihat apapun yang aneh di wajah Rindu yang makin lama makin tertunduk.

***

Sudah malam ketika Gema sampai di rumah. Pemuda itu melihat Mamanya tertidur di depan televisi, sementara Guntur duduk di sebelah Mamanya sebari membaca komik one piece. Guntur baru menurunkan komiknya ketika melihat Gema mengendap masuk.

“Dari mana, Kak?” tanya Guntur, menutup kembali komiknya setelah melipat halaman terakhir yang dibacanya.

“Eh…” Gema menoleh menatap Guntur yang mengamatinya dengan mata ingin tahu. “Aku baru aja cari peta harta karun,” jawab Gema, bercanda. “Kan kita mau jadi bajak laut. Seperti Luffi.” Gema menyebut tokoh komik favorit Guntur. Adik kembarnya itu mengomel saat mendengar jawaban iseng dari Gema. Tapi bukan Gema namanya kalau gentar hanya karena omelan adiknya yang bawel itu. Gema hanya cengengesan saat ngeloyor pergi menuju kamar.

Sampai di kamar, Gema membuka gambar yang dibuat Rindu, lalu tersenyum. Sangat indah, Gema harus mengakui kalau gambar Rindu memang sangat bagus. Padahal tadi Rindu hanya melihat kereta yang melintas itu sekilas, tapi gadis itu bisa menggambarkannya dengan mirip seperti ini. Gema berkali-kali berdecak kagum.

Mendadak kepala Guntur muncul di sebelah bahunya. Ikut melihat gambar yang tengah diamati oleh Gema. “Gambar siapa, nih?” Guntur merebut kertas itu tanpa izin. Gema baru akan berteriak protes, tapi matanya lebih dulu terbelalak saat melihat tangan Guntur yang kotor karena sengah makan martabak penuh saus, dan hasilnya tangannya yang penuh minyak itu membuat kertas gambarnya ternoda.

“Anak sialan, kamu bikin gambarnya rusak!” Gema baru akan menendang bokong Guntur, tapi adiknya itu cukup cekatan. Rasanya Gema makin panas, ia meremas-remas tangannya, gatal ingin menjitak kepala adiknya. “Balikin, nggak?”

“Kenapa marah-marah, sih? Ini kan cuma gambar,” seru Guntur polos.

“Cuma katamu? Asal tau aja, itu bukan sekadar gambar buatku.”

Guntur diam dan mengamati gambarnya, kalau diteliti, ada nama Rindu Yolanda Sari di sudut kiri bawah gambar itu. “Rindu Yolanda Sari?” Guntur membaca nama yang tertera di gambar itu. “Siapa itu, Kak?”

Gema buang muka. “Bukan siapa-siapa.”

“Kalau bukan siapa-siapa respon Kakak saat aku ngerebut gambar ini nggak mungkin heboh kayak tadi.”

Gema tidak merespon. Menyadari kediaman itu, Guntur mengembalikan gambar itu pada Gema dan berlari keluar sambil berteriak, “Ma, akhirnya Kakak punya pacar.”

***

Rindu mengamati gambar kereta senja yang sempat ia buat. Tanpa sadar, senyumnya terulas. Ia robek kertas bergambar itu, melakukan yang Gema lakukan tadi. Ia menempelkan gambar itu pada dinding kamarnya, lalu kembali tersenyum.

Itu hanya buku gambar sederhana. Tapi entah kenapa Rindu sangat menyukainya. Barangkali ini yang disebut merasakan ketulusan si pemberi. Rasanya Rindu ingin menggambar lagi. Banyak hal yang ingin digambarnya. Rindu ingin memenuhi isi buku gambarnya malam ini juga. Rindu senang mengetahui kenyataan bahwa ada seseorang yang menyukai gambarnya, terlebih Gema menyebut gambarnya bagus.

Rindu meraih pensil 2B dari Gema dan meraih peraut pensil di dalam tasnya. Rindu menghela napas panjang saat menemukan benda itu masih tersimpan dalam tasnya. Padahal sudah lama Rindu tidak pergi ke sekolah. Ia pikir benda itu sudah hilang. Ketika selesai meraut pensilnya, Rindu mulai kembali menggambar. Rindu sangat fokus dengan gambarnya, bahkan ketika beberapa kali terdengar suara ketukan, Rindu tak menyahut. Baru setelah pintu kamarnya terbuka mendadak, Rindu baru menyadari kalau Bi Salmah ada di ambang pintu.

“Maaf, Non. Saya lancang. Abis Bi Salmah dari tadi ketuk-ketuk tidak dibukakan,” alasan Bi Salmah yang tumben bisa dimengerti Rindu. Gadis itu tidak terlihat marah sama sekali. Malah terkesan ramah hari ini, meski tidak begitu ditunjukan.

“Nggak apa-apa, Bi.” Rindu kembali memutar tubuh dan kursi rodanya menghadap meja belajar dan mulai menggambar.

“Bibi nganter makan malam.” Bi Salmah meletakkan makanan itu di meja samping ranjang, setelahnya ia mendekati Rindu dan melihat gadis itu menggambar sesuatu di buku. Seperti sketsa wajah orang. Tapi masih belum bisa dikenali siapa itu.

“Itu siapa, Non?”

Rindu tersentak saat Bi Salmah mendadak ada di belakangnya. Rindu pikir Bi Salmah hanya mengantar makan malam, tapi ternyata malah masih di sini. Rindu kali ini menoleh dengan kesal, “Bi Salmah ngagetin aja, sih.”

“Maaf, Non. Nggak maksud ngagetin. Ya tapi Non Rindu kalau ngegambar sambil bengong.” Bi Salmah terkikik. “Emang lagi gambar siapa? Pacar ya?”

Rindu tentu saja tidak setuju. Memangnya selama ini Rindu terlihat punya pacar? Gadis itu mendengus sebelum menimpali. “Emang siapa yang mau sama gadis yang kakinya tinggal satu gini, Bi?”

Deg!

Bi Salmah terdiam seketika. Kata-kata Rindu barusan begitu membuat tercekat, termasuk Bi Salmah dan dirinya sendiri. Bi Salmah mengusap bahu Rindu dan mengatakan apa yang tertangkap oleh pemikirannya. “Tentu saja banyak yang mau sama Non Rindu,” kata Bi Salmah tenang. “Mas Gema misalnya.”

Dan seketika muka Rindu berubah merah. “Kok malah ngebahas Gema, sih?”

Melihat wajah Rindu yang tersipu, Bi Salmah sudah bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Bi Salmah juga pernah muda, dan ia tahu betul bagaimana perasaan seseorang ketika wajahnya mendadak berubah merah.

“Ya nggak apa-apa kali, Non?” Bi Salmah tersenyum mencurigakan saat keluar dari kamar Rindu. Gadis itu mencoba untuk tak ambil pusing dan kembali menggambar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!