Sebenarnya, Gema merasa ini sebuah kebetulan. Saat melintas di jalan Setia Budi, di jembatan yang menghadap rel kereta api, Gema melihat Rindu. Tidak ada warna merah di langit meski sudah hampir magrib. Yang ada awan tebal yang membawa gerimis. Mendung di langit menjanjikan hujan lebat tak lama lagi. Tapi gadis itu masih bergeming. Gema menggenggam erat payungnya, urung segera pulang dan menyerahkan gula salju pesanan Mamanya. Rasanya, ia tidak punya pilihan kecuali menghampiri gadis itu sebelum Rindu basah kuyup.
“Bodoh, kenapa masih di sini? Sebentar lagi pasti hujan deras.”
Rindu melihat ke atas, ada payung biru yang menaungi kepalanya. Padahal, sesekali terkena gerimis rasanya menyenangkan. Titik-titik hujan yang menerpa wajahnya dengan lembut itu mengingatkan Rindu pada masa kecil, yang suka sekali main hujan-hujanan.
“Sok tau, bisa jadi awannya terbawa angin.” Rindu malah cekikikan. Dan embusan napas lelah yang Gema jadikan sebagai respon. “Kamu bisa sakit, ayo.. aku antar pulang.”
Saat Gema menyodorkan payungnya pada Rindu, gadis itu menggeleng. “Kamu bisa basah,” katanya, meski dalam hati Rindu merasa Gema begitu gentle. Sial, mendadak wajah Rindu terasa panas. Ia tertunduk dan berharap Gema tak sampai menangkap wajahnya yang bersemu.
“Nggak apa-apalah. Pakai aja.” Gema meraih tangan kanan Rindu dan menggenggamkan payung di tangannya. Sesaat setelah payung berpindah tangan, Gema mendorong kursi roda Rindu dan mengantarnya pulang.
Sampai di rumah Rindu, adzan magrib berkumandang. Papa dan Mama Rindu melarang Gema buru-buru pulang, menawarkan sholat magrib berjamaah dan Gema menerimanya. Lepas sholat, justru hujan makin deras. Gema jadi teringat Mamanya, pasti wanita itu menunggu gula saljunya. Lain Gema yang bengong di depan jendela, Rindu justru tersenyum, bersyukur pada hujan karena hujan membuatnya lebih lama bersama Gema.
“Kasian Mama, pasti nunggu gulanya,” seru Gema. Pemuda itu berdiri di depan jendela dengan melipat tangan di dada, kedinginan. Padahal Gema sudah menukar baju basahnya dengan baju Papa Rindu. Kemeja ukuran XXL dan tampak sangat longgar di tubuh Gema yang kurus.
“Kamu bisa nelpon Mama kamu,” usul Rindu. Gema tersenyum, tidak kepikiran sebelumnya.
Gema merogoh saku celananya dan baru sadar kalau ponselnya mati. Kehabisan batrai atau terkena air? Entahlah, yang jelas Gema kesal dibuatnya.
”Ponselku mati.”
“Pakai punyaku...” Rindu menyerahkan ponselnya, tapi Gema menggeleng. “Aku nggak hapal nomer ponsel Mama.” Gema mendesah putus asa dan kembali duduk di sofa, meraih cangkir susu jahe yang dibuatkan Bi Salmah dan menyeruput isinya hingga tersisa setengah. Lumayan menghangatkan, Gema suka rasanya yang manis pedas, pemuda itu menyeruputnya lagi hingga tandas.
“Haus, ya?” Rindu terkikik.
“Sebenarnya aku harus buru-buru pulang.”
Wajah Rindu terlihat kecewa, dan Gema meminta maaf atas itu. “Andai aku nggak bawa pesanan Mama,” kata Gema. Karena sebenarnya Gema senang saat bersama Rindu. “Maaf ya, nggak bisa mampir lebih lama.”
Rindu menggeleng, “Nggak apa-apa.”
“Aku balik, ya.”
Rindu mengangguk, “Itu payung kamu. Di balik pintu.”
Gema mengangguk, mengucap terima kasih. “Baju Papa kamu, secepatnya akan kukembalikan.”
***
Hujan lebat malam itu tetap membuat Gema basah kuyup meski sudah terlindungi oleh payung biru yang dibawanya. Gema menggigil, ia buru-buru melipat payung dan membuka pintu ruang tamu dan terbelalak kaget melihat Guntur dan Mama duduk di ruang tamu.
“Dari mana?” tanya Mama lembut, lain dengan Guntur yang menggunakan nada tinggi saat bicara, “Hujan-hujan gini ngeluyur ke mana aja?”
“Maaf, tadi aku nganter Rindu pulang dulu.”
“Kamu nganter cewek sampe basah-basahan gini?” sinis Guntur. “Sekali-kali mikir kesehatan sendiri, kek.”
Mama dan Gema sama-sama mengamati Guntur yang mengomel. Guntur tidak pernah sesewot ini sebelumnya. Apalagi setelah mengomel seperti itu Guntur langsung masuk kamar, tanpa permisi. Guntur terlihat benar-benar marah. Mama sampai melotot ke arah Gema dan bertanya, “Kamu apain adikmu?”
Gema angkat bahu, lalu menggeleng. “Gema nggak ngapa-ngapain, Ma.”
Gema hanya mendengus saat Mamanya masih memicing, tidak percaya. Setelah meletakkan tas kresek berisi gula salju, Gema bergegas ke kamar. Melihat Guntur sudah bersembunyi di balik selimut di kamar yang remang. Gema menekan saklar lampu dan menarik selimut Guntur.
“Kenapa sih?” tanya Gema. Guntur masih memejamkan mata, pura-pura tidur meski Gema tahu kalau adiknya tidak akan bisa tidur secepat itu.
“Kakak tahu kamu belum tidur.”
Guntur menyerah, ia bangkit dan duduk di ranjang, ia menatap Kakaknya dengan kesal, tak lama ia mendaratkan kepalan tangannya tepat di rahang kanan Gema hingga membuat pemuda itu jatuh terpelanting ke lantai.
“Apa-apaan kamu, Gun?” Gema memegangi rahangnya yang memar. Rasanya sakit, tidak seperti pukulan Guntur yang biasanya seperti gelitikan. Kali ini Guntur serius, dan Gema tak mengerti mengapa Guntur melakukan ini.
“Kamu marah sama Kakak?” tanya Gema, berusaha bangkit berdiri.
“Sudah jelas, kan?” sahut Guntur, sinis. Ia berdiri tepat di hadapan Gema, mengamati wajah yang sama persis dengan miliknya, Guntur seperti melihat refleksinya di cermin.
“Memangnya Kakak salah apa?” tanya Gema, dengan muka polosnya.
Guntur tertawa hambar, “Masih tanya?”
“Kakak emang nggak tahu.”
Kedua tangan Guntur terkepal, tangan kanannya baru saja terangkat, nyaris mendarat di bibir Gema, tapi Gema lebih dulu terbatuk, hingga mengalirkan darah dari mulut. Untuk kesekian kalinya Guntur melihat Gema terbatuk darah. Seluruh tubuh Guntur terasa kebas, ia sampai merosot dan akhirnya terduduk di lantai. Gema pun merasa perutnya diaduk saat melihat darah. Keduanya terduduk di lantai, saling bersandar punggung. Sesekali, Gema mendengar suara isak. Guntur menangis dalam diam.
“Maaf, ya…” gumam Gema. Guntur tak menyahut. “Kakak nggak pernah cerita bukan berarti nggak mau berbagi,” tambahnya.
“Kakak nggak punya alasan buat nyimpen ini sendiri,” gumam Guntur ketika emosinya sudah mereda. Mereka masih saling memunggungi. Mungkin akan lebih baik jika satu sama lain tidak melihat ekspresi lawan bicara, Gema tahu, wajah adiknya saat ini pasti sangat jelek saat terisak-isak.
“Kakak nggak mau kamu sama Mama cemas.”
Itu omong kosong menurut Guntur. Harusnya ia dan Mama adalah orang yang pertama kali tahu. “Tapi cepat atau lambat kami pasti tahu.”
“Jangan sampai Mama tahu.” Pinta Gema dengan suara memelas. Entah, Guntur tak tahu apa ia bisa menyembunyikan ini dari Mama atau tidak.
“Aku nggak jamin itu,” Guntur menyahut, datar.
“Gun! Pokoknya jangan sampai Mama tahu.”
“Iya, aku ngerti, Kak.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments