Pagi ini dingin sekali. Atau memang Rindu tak pernah merasakan hangatnya mentari lagi. Yang bisa ia lakukan kini hanya menatap taman kecil di depan rumahnya. Tatapannya kosong, meski banyak obyek yang bisa dinikmatinya pagi ini. Ia membenahi syal yang melilit lehernya, sejurus kemudian meraih ujungnya yang menjuntai untuk mengusap sesuatu yang menerobos kelopak matanya. Sial, ia melakukannya lagi. Padahal Rindu sempat berpikir bahwa ari matanya sudah kering, sebab semalaman ia sudah menangis, sampai air matanya habis. Tapi ternyata, pagi ini air matanya mengalir lagi.
Menengadahkan kepala membuat Rindu sadar, dunia telah mengucilkannya. Ia bisa melihat mentari terbit dari timur, tapi sama sekali tidak bisa merasakan hangatnya. Dingin. Bahkan Rindu selalu menggigil. Menggigil tiap kali mengingat hidupnya yang hancur, hanya ada kelabu yang mewarnainya. Semua orang bilang, yang terjadi bukanlah akhir dari segalanya. Tapi sungguh, mereka hanya tak pernah ada di posisinya.
“Non, ayo masuk dulu. Nyonya sudah menunggu di dalam…”
Rindu dengar suara Bi Salmah. Pembantunya adalah satu-satunya orang yang tak segan bicara padanya. Meski tak jarang Rindu menjawabnya dengan kalimat kasar. Gadis itu mencengkeram roda kursinya dan memutar balik arahnya. Ia memang terlalu lama melamun di beranda. Barangkali sejak embun masih membasahi rerumputan taman hingga embun itu mengering.
“Biar Bibi bantu, ya…” Bi Salmah mengambil inisiatif untuk mendorong kursi roda Rindu. Tapi Rindu justru menggeleng tegas, sembari mengatakan, “tidak!” dengan nada meninggi. “Aku bisa lakukan sendiri.” Rindu benci dikasihani.
Bi Salmah buru-buru menjauh dari kursi roda Rindu. “Kalau begitu, Bibi ke dalam dulu.”
Rindu tak peduli. Ia hanya fokus pada kursi rodanya. Sungguh, rasanya sulit sekali hidup terjebak dengan kursi roda.
Meski Rindu berkali-kali mencoba memutar rodanya, tapi gerakan kursinya. Dan butuh perjuangan keras hingga sampai di ruang makan. Ada Mama, Papa dan Kasih—kakaknya, sang balerina yang sudah sering tampil di atas panggung megah.
Melihat wajah cantik Kasih selalu membuat hati Rindu pedih. Awal memiliki mimpi itu, karena Rindu ingin seperti Kakaknya. Bergerak anggun gemulai, di atas panggung. Membuat penonton terpaku dan bertepuk tangan meriah saat menyaksikan pertunjukan baletnya.
Rindu ingin seperti Kasih, sungguh ingin sepertinya. Tapi sekarang? Jangankan menari. Berdiri saja Rindu tak bisa.
“Mama sudah siapkan makanan kesukaan kamu…” Mama meletakkan piring di meja. Mengambil nasi, sayur cah kangkung dan udang krispi. Mama selalu memasak makanan favorit Rindu. Tapi, apa yang bisa membuat selera makannya kembali? Tidak ada. Tidak akan ada. Semuanya hambar. Tak peduli itu steak atau roti tawar, semua sama saja. Rindu tak tertarik lagi. Sarapan pagi ini terasa beku. Rindu jengah dengan segala perhatian orang tuanya, seakan ia adalah manusia yang paling patut dikasihani.
Tak tersisa lagi selera makan. Rindu hanya memasukkan tiga sendok ke mulutnya, lalu mengatakan, “Aku sudah selesai.” Ini bukan yang pertama kali, bahkan selalu seperti itu. Mama tak tahu harus melakukan apa untuk membuat Rindu kembali seperti dulu lagi. Wanita itu bangkit berdiri, baru akan berniat menghalangi niat Rindu untuk meninggalkan ruang makan. Tapi Kasih lebih dulu memegang lengan Mama dan menggeleng lemah. “Biar Kasih saja, Ma.”
Mama mengangguk, mempercayakan semua pada Kasih yang menyusul Rindu ke kamarnya.
***
Bahkan kamar Rindu pun sudah dipindahkan. Yang awalnya di lantai dua, sekarang di lantai dasar. Getir menghiasi bibirnya. Ia memang tidak akan bisa menaiki anak tangga lagi. Dan keputusan orang tuanya untuk memindahkan kamarnya ke lantai dasar pun tepat.
“Aku bawakan kamu pencuci mulut.” Suara Kasih. Gadis itu membuka pintu kamar Rindu tanpa permisi. Itu memang kebiasaannya sejak jaman mereka masih kanak-kanak. Kalau dulu, Rindu pasti akan mengomel dan mengatai Kasih tidak punya etika. Tapi sekarang, jangankan untuk berdebat dengan gadis itu, sebatas mengobrol saja sangat berat. Karena pada dasarnya, Rindu merasa semua tidak adil. Lihat Kasih yang begitu sempurna, ia mendapatkan segalanya. Sementara ia? Hanya gadis yang cacat permanen.
“Aku taruh di meja, ya…”
Rindu tak menyahut. Bahkan menyempatkan diri untuk menatap ke arah Kasih pun ia tak mau. Sejak kecelakaan yang merenggut sebelah kakinya, Rindu tak pernah lagi mau bicara. Tak peduli meski Kasih menangis meratap di hadapannya, Rindu tidak peduli.
“Mama buatkan puding mangga. Enak banget, lho…” Kasih menarik napas panjang, mencoba bersabar meski Rindu tak pernah acuh padanya. Ia mencoba mengerti, berada di posisi Rindu pasti sangat sulit. Tapi, apa jadinya kalau Rindu selalu seperti ini? Nyaris tiga bulan Rindu menolak pergi ke sekolah. Ketika Papa mengusulkan home schooling, Rindu juga menggeleng.
“Kenapa kamu seperti ini?” Kasih melangkah, mendekati adiknya. Ia berdiri di hadapan Rindu, lalu menyentuh kedua bahunya. “Kamu masih muda, Rin. Masa depanmu masih panjang.”
Nyatanya perkataan itu hanya melukai batin Rindu. Ia memang masih muda, dan ia menyesalkan kenapa musibah ini turun di usianya yang masih terlalu muda. Baru bulan kemarin Rindu ulang tahun yang ke 17, tapi kenapa hal ini sudah terjadi?
Rindu palingkan wajah, menatap obyek lain. Asal jangan Kakaknya. Kakak pemilik mata nanar, yang selalu membuatnya merasa dikasihani. Rindu jijik melihat hal itu. Tapi Kasih tak pernah mengerti itu. Gadis itu selalu saja berdiri di depannya, menarik dagunya dan menatap Rindu sembari berkata, “Masih ada aku, Rin. Aku selalu ada buat kamu.”
Rindu menghempaskan tangan Kasih yang masih menyentuh dagunya. Ia tak butuh ada orang di sisinya. Termasuk Kasih sekalipun. Saat Kasih mencoba menyentuhnya lagi, Rindu justru berteriak keras. Teriakan tak jelas. Ia menutup kedua telinganya, lalu histeris. Mengacaukan suasana tenang rumah.
Mama datang dengan kepanikan. Wanita itu meminta Kasih untuk segera keluar dari kamar Rindu. Mama hanya bisa memeluk Rindu, lalu berbisik, “Ada apa?” meski sekalipun Rindu tak pernah menjawab jika Mama bertanya kenapa Rindu berteriak setiap kali Kasih mencoba mengajaknya bicara. Karena jawabannya sudah jelas, Rindu ingin protes pada takdir.
Kenapa ia dibuat cacat? Kenapa Kasih tidak? Kenapa Kasih selalu mendapatkan segalanya? Kasih lebih cantik, ia juga sangat berbakat. Sementara ia?
Ia berusaha keras hanya untuk bisa berdiri di panggung yang sama dengan Kasih. Tapi impiannya itu bahkan tak sampai dicicipi, karena kecelakaan terkutuk itu membuatnya gagal naik ke atas panggung. Pertunjukan perdananya, hanya mimpi yang diterbangkan angin.
Bronis coklat. Mama meletakkannya di meja kamar Rindu dan meninggalkannya begitu saja. Rindu tak suka makan, tapi ia selalu mau mencicipi bronis kismis yang Mama letakkan di meja. Sepertinya hanya bronis itu yang memiliki rasa yang jelas. Manis, juga ada pahitnya coklat. Ada sensasi ketenangan tiap potongan kue coklat itu melumer di mulutnya.
Rindu memang tidak pernah menghabiskan potongan bronis itu, tapi setidaknya Rindu memakannya. Rasanya enak, dan Rindu tertarik untuk mencomot potongan kedua. Bronis ini bukan buatan Mama, Rindu yakin hal itu. Bronis buatan Mama punya rasa khas, pahitnya gosong atau gagal mengembang. Mama memang tidak pandai membuat kue. Dan kalau belakangan ini ada kue yang rasanya sangat enak, Rindu yakin Mama membelinya di toko atau memesan.
Suasana rumah terasa sepi. Mama dan Papa yang berprofesi sebagai guru mungkin sudah berangkat ke sekolah, sementara Kasih pasti sudah pergi ke kampus. Tak ada bedanya, meski ada keluarganya, suasana kini berbeda. Rindu tak pernah lagi suka berkumpul bersama.
Suara derek pintuk kamar yang terbuka sedikit mengejutkan Rindu. Ia menoleh dan menemukan Bi Salmah di tengah berdiri di bibir pintu. Ah, Rindu hampir lupa kalau masih ada pembantunya di rumah.
“Saya ketuk beberapa kali tapi ndak ada suara… maaf, jadi main buka pintu, Non.”
Rindu mengangguk sebagai isyarat bahwa ia tidak mempersoalkan tindakan Bi Salmah. Setelah melihat Rindu yang mengangguk, Bi Salmah tersenyum. Barangkali di rumah hanya Bi Salmah yang paling dekat dengan Rindu. Tak heran, Bi Salmah memang pengasuhnya sejak Rindu masih kecil, bahkan Rindu merasa lebih dekat dengan Bi Salmah daripada dengan Mamanya sendiri.
“Hari ini cerah sekali…” kata Bi Salmah saat membuka tirai kamar Rindu. Sebenarnya, Rindu tidak begitu suka jika tirai kamarnya dibuka. Ia lebih suka dengan suasana remang-remang, seperti perasaannya.
Setelah membuka tirai, Bi Salmah juga mematikan lampu tidur di meja. Rindu tidak pernah melakukannya sendiri. Ia tidak pernah lagi peduli pada sekitar, termasuk merawat kamar.
“Kalau cerah begini, jalan-jalan pagi rasanya menyenangkan,” Bi Salmah tak pernah berhenti mengajak Rindu bicara. Meski Rindu sendiri tidak banyak merespon.
“Ayo, kita jalan-jalan.”
Rindu bahkan tidak memberikan jawaban, tapi pembantunya itu terlampau lancang dengan mendorong kursi rodanya keluar kamar. “Aku nggak mau, Bi,” protes Rindu.
Bi Salmah kali ini tidak menyerah, ia tetap mendorong kursi roda Rindu menuju luar rumah. Ia tak ingin Rindu terus terjebak di dunianya yang kelam. Bi Salmah peduli, karena memang mereka sudah bersama sejak Rindu masih mengenakan popok.
Bi Salmah mendorong kursi roda Rindu sampai di taman kota Malang. Taman luas yang ditanami banyak pohon rindang, di ujung taman, ada patung berbentuk beberapa ekor singa yang menjadi lambang kota. Taman selalu terlihat ramai karena letaknya yang strategis, dekat dengan stasiun kota baru.
Rasanya teduh sekali. Dulu, kalau hari libur tiba, justru Rindu yang ngotot ingin ditemani datang ke taman. Banyak hal menarik di sana, termasuk rumah buku, sebuah perpustakaan mini yang terletak di tengah taman. Penjaga perpustakaannya sangat tampan. Bi Salmah selalu terkikik kalau Rindu sudah membisikkan kata-kata kagum pada penjaga perpustakaan itu. Tapi Rindu yang sekarang sama sekali tak pernah peduli pada penjaga perpustakaan atau pun taman. Saat Bi Salmah mendorong kursi roda sampai ke depan pintu rumah buku, Rindu justru menggeleng. “Nggak mau ke sini,” katanya lirih. “Kita jalan terus aja.”
Mendengar Rindu bersuara saja membuat Bi Salmah senang. Wanita tengah baya itu dengan semangat mendorong kursi roda Rindu, menyusuri jalan taman. Kalau hari kerja begini, taman tak begitu ramai. Mungkin hanya ada beberapa orang anak yang membolos dan nongkrong di taman. Seragam yang mereka kenakan batik biru, Bi Salmah kenal betul dengan seragam itu.
“Non lihat, mereka itu sekolah di Nusa Bakti juga.” Bi Salmah menunjuk ke arah siswa yang membolos itu. “Non kenal mereka?” tanya Bi Salmah. Tapi Rindu hanya menggeleng. “Putar balik arah, Bi.”
Sebelum Bi Salmah menuruti permintaan Rindu, justru dua orang pemuda yang membolos itu lebih dulu menghampiri. “Hei, Rindu.”
Rindu tak merespon ketika dua pemuda dengan penampilan serampangan itu menghampiri. Bahkan Rindu berharap bisa lekas pergi. Ia meminta agar Bi Salmah segera membawanya meninggalkan taman. Tapi kedua pemuda itu masih berdiri di depan Rindu. Membuat Bi Salmah segan untuk meninggalkan mereka begitu saja.
“Lama nggak denger kabarmu,” kata Rey. Rindu mengenalnya, ia teman sekelasnya. Bandel dan paling rajin membuat catatan hitam di sekolah.
“Oh, kakimu kenapa?” Rey menarik selimut yang menutupi kaki Rindu, dan saat itu juga Rindu memekik, “Jangan!” tapi terlambat. Rey sudah membuka selimut itu lebih dulu. Sebelah kakinya yang buntung itu terlihat, jelas di hadapan Rey dan Joe. Rindu tersengal saat itu juga, ingin menangis rasanya. Padahal Rey dan Joe tak mengatakan apa pun. Bahkan kedua temannya yang terkenal badung itu malah tercekat melihat kondisi Rindu yang mengenaskan.
“Aku mau pulang, Bi.”
“Eh, i-iya… Non.” Bibi mengangguk dan buru-buru mendorong kursi roda Rindu. “Maaf, Aden-aden. Saya permisi,” ucap Bi Salmah santun. Mengerti dengan maksud Bi Salmah, kedua pemuda itu menyingkir, memberi jalan bagi Rindu dan Bi Salmah untuk lewat.
***
Bi Salmah tak pernah menyangka jika niat baiknya justru berujung buruk bagi Rindu. Gadis itu menangis histeris sesampainya di rumah. Ia berteriak. Melempar semua barang yang bisa dijangkaunya.
“Maaf, Non. Maafkan Bibi…” Bi Salmah memeluk tubuh Rindu yang masih menangis. “Bibi tahu Non malu sama kondisi sekarang. Tapi Non Rindu nggak boleh sembunyi terus menerus.”
“Pergi, Bi. Pergi.” Ini sudah kesekian kalinya Rindu mengusir Bi Salmah dari kamarnya. Tapi wanita itu tetap saja tidak bersedia. “Jangan begitu, Non. Itu sama aja nyiksa diri sendiri.” Bi Salmah pun sampai menitikkan air mata. Tapi untuk saat ini, Rindu masih tak bisa berpikir jernih. Ia tetap berusaha membuat pembantunya itu meninggalkannya seorang diri.
Hingga Bi Salmah menyerah, dan menuruti kemauannya. Keluar dari kamar Rindu.
Menyedihkan. Air mata Rindu seperti tak pernah ada habisnya. Menggenang di pelupuk mata. Gadis itu menggerakkan kursi rodanya menuju jendela, ia menutup tirai dan duduk termenung. Dalam keremangan, ia hayati rasa pilu yang mengoyak jiwanya. Mungkin takdir hidupnya memang membusuk di kamar remang.
Gema sudah memutuskan, mulai hari ini ia tidak akan pergi ke kampus. Akan lebih baik kalau ia membantu Mama mengantar bronis ke rumah pelanggan, dengan begitu Mama Niar tidak perlu lagi membayar jasa kurir pengantar. Gema tahu, adik kembarnya pasti akan ribut dengan keputusannya. Tapi, keputusannya sudah bulat, tidak akan bisa diganggu gugat.
“Kenapa, Kak?”
Sesuai dugaan Gema sebelumnya. Guntur pasti jadi orang yang paling ribut saat tahu kalau ia berhenti kuliah. Setelah meletakkan piring di wastafel, Gema mencuci kedua tangannya dengan sabun. Sarapan pagi ini hanya ada nasi goreng, tanpa ayam dan telur. Kondisi keuangan Mama memang dilanda musim kemarau. Gema tidak punya pilihan lain kecuali berhenti kuliah dan membantu Mama bekerja. Lagipula, masa depan adik kembarnya lebih panjang. Gema berharap adiknya bisa sukses menjadi arsitek dan hidup kaya.
“Kayak nggak tahu kondisi keluarga kita aja.” Gema mengelap tangannya dengan serbet, lalu melongok ke ruang makan, Mamanya masih belum selesai sarapan. Sebenarnya Guntur juga belum selesai, tapi pemuda itu justru meninggalkan piringnya demi menuntut penjelasan Kakak kembarnya tentang keputusannya berhenti kuliah.
“Kalau Kakak berhenti, aku juga berhenti.”
Guntur selalu saja kekanakan. Itu yang membuat Gema selalu menyentilkan telunjuk di kening adiknya seperti sekarang. “Dasar bodoh,” cibir Gema. “Kakak melakukan ini agar kamu tetap bisa kuliah. Makanya, belajarlah yang benar.”
Guntur menyentuh keningnya yang merah, ingin protes tapi itu bukan jadi hal penting lagi. “Tapi, kenapa mendadak sekali?”
“Mendadak apanya? Kakak sudah lama memikirkan ini. Toh, Kakak tidak sepintar dirimu.” Gema menepuk bahu Guntur lalu melenggang meninggalkan adiknya yang masih terpaku di dapur.
Guntur menoleh, menatap punggung Kakaknya yang hari ini terlihat begitu semangat. Gema duduk di samping Mamanya sambil berseru, “Hari ini kita banyak pesanan kan, Ma?”
Melihat Gema yang sepertinya menikmati pekerjaannya, Guntur hanya bisa mendesah pasrah.
“Sudah siang, Gun. Cepat berangkat sana…” titah Gema membuyarkan lamunan Guntur. Pemuda itu mendengus dan segera kembali ke ruang makan, melanjutkan sarapannya sejenak sebelum menyandang ranselnya dan berangkat.
Gema sendiri langsung bergegas ke dapur, membuka lemari kabinet dan mengobrak-abrik isinya. Hingga ia menemukan apa yang ia cari. Gema tengah mengenakan celemek ketika Mamanya menyusul ke dapur. “Pantas tidak?” tanya Gema sambil nyengir. Mamanya menggeleng, “Kamu pantasnya pakai dasi.”
Hempasan napas panjang keluar dari hidung Gema. Padahal sudah berkali-kali Gema menjelaskan pada Mamanya bahwa Guntur lah yang lebih pantas memakai dasi, sementara ia lebih baik membantu meringankan pekerjaan Mamanya. “Tapi kita sudah terdesak, Ma.”
“Mama bisa usahakan agar kalian berdua tetap bisa kuliah.”
“Ah, baiklah. Nanti aku pasti kuliah lagi. Kalau kondisi keuangan kita sudah membaik, Ma.”
“Berjanjilah kamu tidak akan malas kembali ke kampus.” Mama pun mengenakan celemek. Gema tersenyum dan mengangkat tanda peace. “Oke, Ma.”
Baiklah, untuk hari ini Gema siap dengan banyak pekerjaan. Setelah membantu Mamanya di dapur—meski nyatanya ia tidak begitu berguna saat di dapur—pemuda itu langsung bergegas ke toko kue kecil di seberang rumahnya. Hari ini toko kue buka lebih awal, biar Mama yang berjaga di toko sementara ia yang mengantarkan pesanan di sekitar komplek.
Gema belum pernah mengantar pesanan sebelumnya. Dan alamat yang tertera di kertas dari Mama juga rasanya masih asing. Pesanan pagi ini di blok AL no. 9 atas nama Bu Anjani dan blok B no. 20 atas nama Bu Margareta.
“Yakin tidak nyasar?” tanya Mama. Wanita itu tahu kalau putranya itu belum pengalaman menjadi pengantar pesanan. “Mama takut kalau bronisnya malah nyasar ke rumah orang lain.”
Gema terbatuk tersinggung. “Mama terlalu meremehkan aku.” Kemudian pemuda itu berdecak. Tapi pada saat yang bersamaan ia menggaruk kepalanya, mencari-cari kunci motornya. Sepertinya Gema lupa meletakkannya di mana.
“Nah, kan… naruh kunci saja kamu lupa.” Kebetulan Mama tahu Gema meletakkan kunci motornya di atas etalase kue. Gema hanya nyengir menyadari kecerobohan kecil itu.
***
Gema mengamati rumah besar yang gerbangnya tidak tertutup rapat itu. Sejenak ia mengamati papan nama di tepi gerbang. Hanggono Blok AL no. 9. Ah, ternyata benar. Gema yakin ini memang rumah Bu Anjani. Ada lima kotak bronis sudah siap diantar. Setelah memarkirkan motornya di tepian jalan, Gema terburu menyambar dua kantong plastik berisi bronis yang dipesan.
Saat kakinya melewati pintu gerbang, Gema terdiam sejenak, mengamati gadis di beranda. Gadis itu duduk di atas kursi roda. Tatapannya kosong, sepertinya dia melamun. Gema mencoba mendekati gadis itu tanpa membuatnya terkejut.
“Permisi, Mbak. Benar ini rumah Bu Anjani yang memesan bronis?”
Hening. Tidak ada sahutan dari gadis di kursi roda itu. Ah, menyebalkan. Gema mencoba menaikkan volume suaranya, “Mbak… ini pesanan Bu Anjani.”
Sekali lagi tak ada sahutan. Kening Gema sudah berdenyut-denyut. Apa-apaan gadis itu?
“Woi, Mbak!!!” teriak Gema pada akhirnya. Sama sekali tidak menyangka kalau gadis di hadapannya langsung tersentak kaget. Begitu kagetnya hingga menjatuhkan tabletnya. Prak!
Gema terdiam. Tidak menyangka kalau gadis itu sampai terkejut seperti itu.
“Tabletku,” desis gadis itu sebelum mengangkat wajahnya untuk menatap wajah pemuda yang telah berani berteriak padanya. “Kamu… lihat apa yang kamu lakukan!” bentak Rindu. Suaranya lantang, cenderung membentak.
“Aha…” Gema memajang wajah ‘capek deh’ perasaan yang menjatuhkan tablet itu si pemilik sendiri, kenapa jadi marahnya pada Gema. Ini namanya lempar batu sembunyi tangan, dan pas sekali Gema dijadikan kambing hitam. Enak saja.
“Mbak sendiri yang jatuhin, kan? Kok malah nyalahin aku, sih?” Gema sewot. Tapi rupanya bukan ia satu-satunya yang kesal, karena nyatanya lawan bicaranya juga bertampang dongkol.
“Gara-gara teriakanmu, aku jadi kaget sampai ngejatuhin tabletku.” Rindu melotot dan berkata judes pada Gema. Tak habis pikir, Gema tertawa hambar. “Siapa suruh bengong pagi-pagi begini? Kesambet kan jadinya.”
“Apa?”
“Tuh, buktinya marah-marah nggak jelas. Apa lagi namanya kalau nggak kesambet?”
Rindu menggeram. Ia mengepalkan kedua tangannya. Ia nyaris saja meledak, tapi emosinya tertahan. Ia memilih memutar arah kursi rodanya dan berniat masuk ke dalam. Tapi sebelum niat itu terlaksana, Gema lebih dulu menahan gadis itu dengan memegangi kursi rodanya.
“Jangan pergi!” katanya. Rindu tetap tak peduli. Ia berusaha keras memutar roda kursinya. Tapi pegangan pemuda itu terlalu kuat. “Lepasin!”
“Nggak,” sahut Gema. Singkat.
“Apa masalahmu?” kemarahan itu sudah dominan. Rindu lelah. Masih pagi tapi ia sudah berkali-kali marah. Parahnya, saat ini ia justru marah-marah pada orang asing.
“Nggak ada…” jawab Gema datar. Tidak seperti Rindu yang meluap-luap, Gema tipe yang lebih santai.
“Lalu apa maumu?” tanya Rindu. Pertanyaan yang menyerupai bentakan, seperti sebelumnya.
“Mauku? Bayar dulu bronis pesanannya.” Gema main nyelonong masuk ke ruang tamu, lalu meletakkan dua kantong plastik berisi bronis pesanan itu dan kembali kepada Rindu.
“100 ribu saja, ongkos kirimnya gratis,” tambah Gema.
Rindu menggeram, sekaligus malu. Ternyata pemuda itu tidak juga pergi karena pesanannya belum dibayar. Sial.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!