Keping Ketiga

Gema sudah memutuskan, mulai hari ini ia tidak akan pergi ke kampus. Akan lebih baik kalau ia membantu Mama mengantar bronis ke rumah pelanggan, dengan begitu Mama Niar tidak perlu lagi membayar jasa kurir pengantar. Gema tahu, adik kembarnya pasti akan ribut dengan keputusannya. Tapi, keputusannya sudah bulat, tidak akan bisa diganggu gugat.

“Kenapa, Kak?”

Sesuai dugaan Gema sebelumnya. Guntur pasti jadi orang yang paling ribut saat tahu kalau ia berhenti kuliah. Setelah meletakkan piring di wastafel, Gema mencuci kedua tangannya dengan sabun. Sarapan pagi ini hanya ada nasi goreng, tanpa ayam dan telur. Kondisi keuangan Mama memang dilanda musim kemarau. Gema tidak punya pilihan lain kecuali berhenti kuliah dan membantu Mama bekerja. Lagipula, masa depan adik kembarnya lebih panjang. Gema berharap adiknya bisa sukses menjadi arsitek dan hidup kaya.

“Kayak nggak tahu kondisi keluarga kita aja.” Gema mengelap tangannya dengan serbet, lalu melongok ke ruang makan, Mamanya masih belum selesai sarapan. Sebenarnya Guntur juga belum selesai, tapi pemuda itu justru meninggalkan piringnya demi menuntut penjelasan Kakak kembarnya tentang keputusannya berhenti kuliah.

“Kalau Kakak berhenti, aku juga berhenti.”

Guntur selalu saja kekanakan. Itu yang membuat Gema selalu menyentilkan telunjuk di kening adiknya seperti sekarang. “Dasar bodoh,” cibir Gema. “Kakak melakukan ini agar kamu tetap bisa kuliah. Makanya, belajarlah yang benar.”

Guntur menyentuh keningnya yang merah, ingin protes tapi itu bukan jadi hal penting lagi. “Tapi, kenapa mendadak sekali?”

“Mendadak apanya? Kakak sudah lama memikirkan ini. Toh, Kakak tidak sepintar dirimu.” Gema menepuk bahu Guntur lalu melenggang meninggalkan adiknya yang masih terpaku di dapur.

Guntur menoleh, menatap punggung Kakaknya yang hari ini terlihat begitu semangat. Gema duduk di samping Mamanya sambil berseru, “Hari ini kita banyak pesanan kan, Ma?”

Melihat Gema yang sepertinya menikmati pekerjaannya, Guntur hanya bisa mendesah pasrah.

“Sudah siang, Gun. Cepat berangkat sana…” titah Gema membuyarkan lamunan Guntur. Pemuda itu mendengus dan segera kembali ke ruang makan, melanjutkan sarapannya sejenak sebelum menyandang ranselnya dan berangkat.

Gema sendiri langsung bergegas ke dapur, membuka lemari kabinet dan mengobrak-abrik isinya. Hingga ia menemukan apa yang ia cari. Gema tengah mengenakan celemek ketika Mamanya menyusul ke dapur. “Pantas tidak?” tanya Gema sambil nyengir. Mamanya menggeleng, “Kamu pantasnya pakai dasi.”

Hempasan napas panjang keluar dari hidung Gema. Padahal sudah berkali-kali Gema menjelaskan pada Mamanya bahwa Guntur lah yang lebih pantas memakai dasi, sementara ia lebih baik membantu meringankan pekerjaan Mamanya. “Tapi kita sudah terdesak, Ma.”

“Mama bisa usahakan agar kalian berdua tetap bisa kuliah.”

“Ah, baiklah. Nanti aku pasti kuliah lagi. Kalau kondisi keuangan kita sudah membaik, Ma.”

“Berjanjilah kamu tidak akan malas kembali ke kampus.” Mama pun mengenakan celemek. Gema tersenyum dan mengangkat tanda peace. “Oke, Ma.”

Baiklah, untuk hari ini Gema siap dengan banyak pekerjaan. Setelah membantu Mamanya di dapur—meski nyatanya ia tidak begitu berguna saat di dapur—pemuda itu langsung bergegas ke toko kue kecil di seberang rumahnya. Hari ini toko kue buka lebih awal, biar Mama yang berjaga di toko sementara ia yang mengantarkan pesanan di sekitar komplek.

Gema belum pernah mengantar pesanan sebelumnya. Dan alamat yang tertera di kertas dari Mama juga rasanya masih asing. Pesanan pagi ini di blok AL no. 9 atas nama Bu Anjani dan blok B no. 20 atas nama Bu Margareta.

“Yakin tidak nyasar?” tanya Mama. Wanita itu tahu kalau putranya itu belum pengalaman menjadi pengantar pesanan. “Mama takut kalau bronisnya malah nyasar ke rumah orang lain.”

Gema terbatuk tersinggung. “Mama terlalu meremehkan aku.” Kemudian pemuda itu berdecak. Tapi pada saat yang bersamaan ia menggaruk kepalanya, mencari-cari kunci motornya. Sepertinya Gema lupa meletakkannya di mana.

“Nah, kan… naruh kunci saja kamu lupa.” Kebetulan Mama tahu Gema meletakkan kunci motornya di atas etalase kue. Gema hanya nyengir menyadari kecerobohan kecil itu.

***

Gema mengamati rumah besar yang gerbangnya tidak tertutup rapat itu. Sejenak ia mengamati papan nama di tepi gerbang. Hanggono Blok AL no. 9. Ah, ternyata benar. Gema yakin ini memang rumah Bu Anjani. Ada lima kotak bronis sudah siap diantar. Setelah memarkirkan motornya di tepian jalan, Gema terburu menyambar dua kantong plastik berisi bronis yang dipesan.

Saat kakinya melewati pintu gerbang, Gema terdiam sejenak, mengamati gadis di beranda. Gadis itu duduk di atas kursi roda. Tatapannya kosong, sepertinya dia melamun. Gema mencoba mendekati gadis itu tanpa membuatnya terkejut.

“Permisi, Mbak. Benar ini rumah Bu Anjani yang memesan bronis?”

Hening. Tidak ada sahutan dari gadis di kursi roda itu. Ah, menyebalkan. Gema mencoba menaikkan volume suaranya, “Mbak… ini pesanan Bu Anjani.”

Sekali lagi tak ada sahutan. Kening Gema sudah berdenyut-denyut. Apa-apaan gadis itu?

“Woi, Mbak!!!” teriak Gema pada akhirnya. Sama sekali tidak menyangka kalau gadis di hadapannya langsung tersentak kaget. Begitu kagetnya hingga menjatuhkan tabletnya. Prak!

Gema terdiam. Tidak menyangka kalau gadis itu sampai terkejut seperti itu.

“Tabletku,” desis gadis itu sebelum mengangkat wajahnya untuk menatap wajah pemuda yang telah berani berteriak padanya. “Kamu… lihat apa yang kamu lakukan!” bentak Rindu. Suaranya lantang, cenderung membentak.

“Aha…” Gema memajang wajah ‘capek deh’ perasaan yang menjatuhkan tablet itu si pemilik sendiri, kenapa jadi marahnya pada Gema. Ini namanya lempar batu sembunyi tangan, dan pas sekali Gema dijadikan kambing hitam. Enak saja.

“Mbak sendiri yang jatuhin, kan? Kok malah nyalahin aku, sih?” Gema sewot. Tapi rupanya bukan ia satu-satunya yang kesal, karena nyatanya lawan bicaranya juga bertampang dongkol.

“Gara-gara teriakanmu, aku jadi kaget sampai ngejatuhin tabletku.” Rindu melotot dan berkata judes pada Gema. Tak habis pikir, Gema tertawa hambar. “Siapa suruh bengong pagi-pagi begini? Kesambet kan jadinya.”

“Apa?”

“Tuh, buktinya marah-marah nggak jelas. Apa lagi namanya kalau nggak kesambet?”

Rindu menggeram. Ia mengepalkan kedua tangannya. Ia nyaris saja meledak, tapi emosinya tertahan. Ia memilih memutar arah kursi rodanya dan berniat masuk ke dalam. Tapi sebelum niat itu terlaksana, Gema lebih dulu menahan gadis itu dengan memegangi kursi rodanya.

“Jangan pergi!” katanya. Rindu tetap tak peduli. Ia berusaha keras memutar roda kursinya. Tapi pegangan pemuda itu terlalu kuat. “Lepasin!”

“Nggak,” sahut Gema. Singkat.

“Apa masalahmu?” kemarahan itu sudah dominan. Rindu lelah. Masih pagi tapi ia sudah berkali-kali marah. Parahnya, saat ini ia justru marah-marah pada orang asing.

“Nggak ada…” jawab Gema datar. Tidak seperti Rindu yang meluap-luap, Gema tipe yang lebih santai.

“Lalu apa maumu?” tanya Rindu. Pertanyaan yang menyerupai bentakan, seperti sebelumnya.

“Mauku? Bayar dulu bronis pesanannya.” Gema main nyelonong masuk ke ruang tamu, lalu meletakkan dua kantong plastik berisi bronis pesanan itu dan kembali kepada Rindu.

“100 ribu saja, ongkos kirimnya gratis,” tambah Gema.

Rindu menggeram, sekaligus malu. Ternyata pemuda itu tidak juga pergi karena pesanannya belum dibayar. Sial.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!