Bronis coklat. Mama meletakkannya di meja kamar Rindu dan meninggalkannya begitu saja. Rindu tak suka makan, tapi ia selalu mau mencicipi bronis kismis yang Mama letakkan di meja. Sepertinya hanya bronis itu yang memiliki rasa yang jelas. Manis, juga ada pahitnya coklat. Ada sensasi ketenangan tiap potongan kue coklat itu melumer di mulutnya.
Rindu memang tidak pernah menghabiskan potongan bronis itu, tapi setidaknya Rindu memakannya. Rasanya enak, dan Rindu tertarik untuk mencomot potongan kedua. Bronis ini bukan buatan Mama, Rindu yakin hal itu. Bronis buatan Mama punya rasa khas, pahitnya gosong atau gagal mengembang. Mama memang tidak pandai membuat kue. Dan kalau belakangan ini ada kue yang rasanya sangat enak, Rindu yakin Mama membelinya di toko atau memesan.
Suasana rumah terasa sepi. Mama dan Papa yang berprofesi sebagai guru mungkin sudah berangkat ke sekolah, sementara Kasih pasti sudah pergi ke kampus. Tak ada bedanya, meski ada keluarganya, suasana kini berbeda. Rindu tak pernah lagi suka berkumpul bersama.
Suara derek pintuk kamar yang terbuka sedikit mengejutkan Rindu. Ia menoleh dan menemukan Bi Salmah di tengah berdiri di bibir pintu. Ah, Rindu hampir lupa kalau masih ada pembantunya di rumah.
“Saya ketuk beberapa kali tapi ndak ada suara… maaf, jadi main buka pintu, Non.”
Rindu mengangguk sebagai isyarat bahwa ia tidak mempersoalkan tindakan Bi Salmah. Setelah melihat Rindu yang mengangguk, Bi Salmah tersenyum. Barangkali di rumah hanya Bi Salmah yang paling dekat dengan Rindu. Tak heran, Bi Salmah memang pengasuhnya sejak Rindu masih kecil, bahkan Rindu merasa lebih dekat dengan Bi Salmah daripada dengan Mamanya sendiri.
“Hari ini cerah sekali…” kata Bi Salmah saat membuka tirai kamar Rindu. Sebenarnya, Rindu tidak begitu suka jika tirai kamarnya dibuka. Ia lebih suka dengan suasana remang-remang, seperti perasaannya.
Setelah membuka tirai, Bi Salmah juga mematikan lampu tidur di meja. Rindu tidak pernah melakukannya sendiri. Ia tidak pernah lagi peduli pada sekitar, termasuk merawat kamar.
“Kalau cerah begini, jalan-jalan pagi rasanya menyenangkan,” Bi Salmah tak pernah berhenti mengajak Rindu bicara. Meski Rindu sendiri tidak banyak merespon.
“Ayo, kita jalan-jalan.”
Rindu bahkan tidak memberikan jawaban, tapi pembantunya itu terlampau lancang dengan mendorong kursi rodanya keluar kamar. “Aku nggak mau, Bi,” protes Rindu.
Bi Salmah kali ini tidak menyerah, ia tetap mendorong kursi roda Rindu menuju luar rumah. Ia tak ingin Rindu terus terjebak di dunianya yang kelam. Bi Salmah peduli, karena memang mereka sudah bersama sejak Rindu masih mengenakan popok.
Bi Salmah mendorong kursi roda Rindu sampai di taman kota Malang. Taman luas yang ditanami banyak pohon rindang, di ujung taman, ada patung berbentuk beberapa ekor singa yang menjadi lambang kota. Taman selalu terlihat ramai karena letaknya yang strategis, dekat dengan stasiun kota baru.
Rasanya teduh sekali. Dulu, kalau hari libur tiba, justru Rindu yang ngotot ingin ditemani datang ke taman. Banyak hal menarik di sana, termasuk rumah buku, sebuah perpustakaan mini yang terletak di tengah taman. Penjaga perpustakaannya sangat tampan. Bi Salmah selalu terkikik kalau Rindu sudah membisikkan kata-kata kagum pada penjaga perpustakaan itu. Tapi Rindu yang sekarang sama sekali tak pernah peduli pada penjaga perpustakaan atau pun taman. Saat Bi Salmah mendorong kursi roda sampai ke depan pintu rumah buku, Rindu justru menggeleng. “Nggak mau ke sini,” katanya lirih. “Kita jalan terus aja.”
Mendengar Rindu bersuara saja membuat Bi Salmah senang. Wanita tengah baya itu dengan semangat mendorong kursi roda Rindu, menyusuri jalan taman. Kalau hari kerja begini, taman tak begitu ramai. Mungkin hanya ada beberapa orang anak yang membolos dan nongkrong di taman. Seragam yang mereka kenakan batik biru, Bi Salmah kenal betul dengan seragam itu.
“Non lihat, mereka itu sekolah di Nusa Bakti juga.” Bi Salmah menunjuk ke arah siswa yang membolos itu. “Non kenal mereka?” tanya Bi Salmah. Tapi Rindu hanya menggeleng. “Putar balik arah, Bi.”
Sebelum Bi Salmah menuruti permintaan Rindu, justru dua orang pemuda yang membolos itu lebih dulu menghampiri. “Hei, Rindu.”
Rindu tak merespon ketika dua pemuda dengan penampilan serampangan itu menghampiri. Bahkan Rindu berharap bisa lekas pergi. Ia meminta agar Bi Salmah segera membawanya meninggalkan taman. Tapi kedua pemuda itu masih berdiri di depan Rindu. Membuat Bi Salmah segan untuk meninggalkan mereka begitu saja.
“Lama nggak denger kabarmu,” kata Rey. Rindu mengenalnya, ia teman sekelasnya. Bandel dan paling rajin membuat catatan hitam di sekolah.
“Oh, kakimu kenapa?” Rey menarik selimut yang menutupi kaki Rindu, dan saat itu juga Rindu memekik, “Jangan!” tapi terlambat. Rey sudah membuka selimut itu lebih dulu. Sebelah kakinya yang buntung itu terlihat, jelas di hadapan Rey dan Joe. Rindu tersengal saat itu juga, ingin menangis rasanya. Padahal Rey dan Joe tak mengatakan apa pun. Bahkan kedua temannya yang terkenal badung itu malah tercekat melihat kondisi Rindu yang mengenaskan.
“Aku mau pulang, Bi.”
“Eh, i-iya… Non.” Bibi mengangguk dan buru-buru mendorong kursi roda Rindu. “Maaf, Aden-aden. Saya permisi,” ucap Bi Salmah santun. Mengerti dengan maksud Bi Salmah, kedua pemuda itu menyingkir, memberi jalan bagi Rindu dan Bi Salmah untuk lewat.
***
Bi Salmah tak pernah menyangka jika niat baiknya justru berujung buruk bagi Rindu. Gadis itu menangis histeris sesampainya di rumah. Ia berteriak. Melempar semua barang yang bisa dijangkaunya.
“Maaf, Non. Maafkan Bibi…” Bi Salmah memeluk tubuh Rindu yang masih menangis. “Bibi tahu Non malu sama kondisi sekarang. Tapi Non Rindu nggak boleh sembunyi terus menerus.”
“Pergi, Bi. Pergi.” Ini sudah kesekian kalinya Rindu mengusir Bi Salmah dari kamarnya. Tapi wanita itu tetap saja tidak bersedia. “Jangan begitu, Non. Itu sama aja nyiksa diri sendiri.” Bi Salmah pun sampai menitikkan air mata. Tapi untuk saat ini, Rindu masih tak bisa berpikir jernih. Ia tetap berusaha membuat pembantunya itu meninggalkannya seorang diri.
Hingga Bi Salmah menyerah, dan menuruti kemauannya. Keluar dari kamar Rindu.
Menyedihkan. Air mata Rindu seperti tak pernah ada habisnya. Menggenang di pelupuk mata. Gadis itu menggerakkan kursi rodanya menuju jendela, ia menutup tirai dan duduk termenung. Dalam keremangan, ia hayati rasa pilu yang mengoyak jiwanya. Mungkin takdir hidupnya memang membusuk di kamar remang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments