Keping Kelima

“Semalam Kakak kemana?” Guntur baru keluar kamar ketika Gema telah selesai dengan mandinya. Adiknya itu masih mengenakan piyama, rambutnya berantakan.

Gema diam, adiknya itu memang tidak seperti kelihatannya, kekanakan tapi dia sangat peka. Padahal kemarin Gema sudah memastikan kalau Guntur sudah tidur, ia pelan-pelan mengendap dan keluar kamar.

“Ada apa?” tanya Guntur. Gema tak acuh. Ia mengusap kepalanya yang basah karena keramas dengan handuk.

“Kak!” Guntur kesal.

“Semalam Kakak buang air, penting ya buat dibahas?” Gema melempar handuknya ke arah Guntur. Adik kembarnya itu menerimanya dengan sigap, lalu menggerutu.

Aroma nasi goreng menguar, Gema bergegas menuju dapur dan menemukan Mamanya sudah mengisi nasi goreng di atas piring. Guntur mengejar, melupakan beberapa hal yang mengganjalnya belakangan ini.

“Kelihatannya enak.” Gema meraih sendok dan menyiapkan nasi goreng ke mulutnya, padahal sarapan pagi ini belum di pindah ke meja makan. Masih di atas meja dapur. Guntur tak mau kalah, ia pun meraih sendok, namun sebelum sampai menyentuh nasi goreng, tengan Gema sudah menjewer daun telinganya hingga merah.

“Anak bau! Mandi dulu sana!”

“Kakak sialan!” Guntur membalas dendamnya dengan menjambak rambut Gema yang memang lebih panjang darinya. Pagi itu kepala Niar dibuat puyeng dengan keributan si kembar. Biasanya, untuk membuat mereka tenang Mama Niar terpaksa memukul pantat kedua bujangnya itu dengan sapu lidi. Kalau sudah begitu, pemandangan akan selalu sama, si Kakak akan berteriak-teriak sambil lari tunggang langgang, sementara si adik cuma meratap minta maaf. Kebiasaan ini tidak bisa hilang sejak mereka masih kecil.

Setelah keduanya tenang, Mama baru mengijinkan keduanya makan. Tak ada suara perdebatan, tapi denting suara piring yang ditimbulkan oleh Gema dan Guntur begiu dominan. Barangkali, berisik saat makan adalah satu-satunya kesamaan yang dimiliki mereka, selain raut wajah dan postur tubuh pastinya.

“Kalian ini sudah besar. Tapi kenapa kelakuan tidak pernah berubah?” Mama telah selesai dengan makanannya, wanita itu memang hanya mengambil sedikit nasi untuk sarapan. Dua pemuda itu merasa tersindir, bulan lalu mereka memang usia mereka genap 20 tahun.

“Kalau Papa kalian tahu pasti…” suara Mama menggantung, saat itu Gema langsung menghentikan makannya. Ia meletakkan sendok ke meja dengan keras hingga muncul suara gebrakan. Dua pasang mata sontak menatapnya.

“Jangan pernah bahas Papa lagi.” Gema berdiri, meninggalkan ruang makan meski nasi di piringnya masih ada separuh. Kalau sudah menyangkut Papa, Gema memang suka kesal. Pemuda itu masih marah meski telah lama ia tidak bertemu dengan Papa.

Mama dan Guntur sama-sama melirik ke arah Gema. Pemuda itu melangkah menuju arah luar. Mungkin akan membuka toko, biasanya Gema suka membantu membereskan toko sebelum dibuka.

Tapi saat sampai di ambang pintu, mendadak perut bagian atasnya terasa nyeri. Begiu nyeri hingga membuatnya hampir merosot jatuh jika tak berpegang pada bingkai pintu. Guntur melihatnya, ia langsung berdiri menghampiri. “Maag kakak kambuh lagi, ya?”

Gema buru-buru memasang wajah baik-baik saja. “Sakit sedikit, sebentar pasti hilang.”

***

Rindu menjatuhkan kotak bronis yang telah kosong begitu saja. Ia menjilat sisa coklat yang menempel di ujung jarinya, merasakan manisnya. Rasa manis itu sedikit membuatnya nyaman. Meski saat mengingat siapa yang memberikan kue itu, masih membuatnya jengkel.

Anehnya, saat mendengar suara teriakan pemuda itu memanggil nama Bi Salmah, Rindu buru-buku keluar.

“Suaramu sangat mengganggu.” Ia mendengus. Sementara pemuda yang berdiri di teras itu memasukkan kedua tangannya ke saku celana, berlagak cool, meski pagi ini penampilannya masih terkesan asal-asalan. Rambutnya mencuat sana-sini, entah rambutnya tidak disisir atau memang model rambutnya memang dibuat berantakan.

Saat Gema mendengus, Rindu merasa kesal. Sungguh, melihat Gema saja membuat Rindu uring-uringan. “Melihatmu juga sangat mengganggu. Cewek yang cuma bisa malas-malasan di beranda rumah sambil melamun.”

Satu bahasan yang tak Rindu suka. Gema hanya membuat Rindu makin jengkel padanya. “Bukan urusanmu.”

“Jelas urusanku. Aku tiap hari datang ke sini, dan harus melihat muka murungmu yang menyebar aura negatif. Bikin nggak semangat kerja, tau nggak?” Gema pun tak tahu, kenapa ia harus melakukan ini. Sungguh, hatinya seakan tergerak dengan sendirinya.

“Tahu apa kamu?” Melotot tajam, Rindu merasa dadanya mulai menyesak.

“Yang aku tahu, kamu cewek yang nggak berguna!” cibir Gema, mendekatkan posisi wajahnya pada Rindu. Gadis itu mengeratkan genggamannya, sementara giginya bergemeretak. Rasa marah nyaris membuat kepalanya meledak. Satu hal yang membuat Rindu jengkel adalah ketika melihat seringai Gema yang seakan puas melihat reaksi Rindu.

“Tutup mulutmu!” Rindu menunjuk wajah Gema yang langsung ditepis oleh pemuda itu.

“Siapa kamu nyuruh-nyuruh?” Gema tertawa hambar dan sedikit mundur.

“Kamu nggak ngerti apa-apa.” Rindu menggeleng, kedua matanya mulai berkaca. Gema tak berniat membuat gadis itu sampai menangis, tapi ia lebih tidak suka melihat Rindu hanya duduk di kursi roda.

“Mungkin. Setidaknya lebih baik daripada orang yang mengerti tentang hidupnya tapi malah nggak ngelakuin apapun.” Gema mengatakannya dengan datar. Tanpa emosi, tanpa seringai seperti sebelumnya. Seketika hening mendominasi sekeliling mereka, Rindu hanya menatap Gema dengan tatapan nanar. Gema mencoba tidak menunjukkan ekspresi sama sekali, ia buru-buru membalik tubuh dan pergi. Tapi sebelum pemuda itu benar-benar pergi, Rindu menahannya dengan berteriak, “Aku kehilangan kakiku, kamu pikir mudah menerimanya?”

Gema menoleh. “Kamu masih punya nyawa, kan?”

Rindu buang muka.

“Aku lebih milih kehilangan nyawa saat itu.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!