Keping Ketiga Belas

“Kak...”

Suara itu menyadarkan Gema. Ia mengerjap dan merasakan bahunya diguncang. Gema baru menyadari ia tertidur di kursi teras. Pantas saja ia merasa dingin.

“Kenapa tidur di sini?” tanya Guntur. Ia sudah rapi, dan sudah menyandang tas ranselnya.

“Semalem gerah.” Gema mengusap kedua matanya, lalu bangkit. Punggungnya agak nyeri, tidur di kursi membuat tulang punggungnya kaku.

“Ini jam berapa?” Sepertinya matahari belum muncul, pikir Gema.

“Jam enam,” sahut Guntur. Dan rupanya dugaan Gema tidak salah. Kalau begitu, Guntur yang ngelindur. Gema mengamati penampilan Guntur, lalu menyeringai. “Tumben udah rapi.”

Guntur mendengus saat Gema menyindirnya dengan seringai jahil. “Semalam aku nggak bisa tidur.”

Mendengar jawaban serius itu, Gema mengemas kembali seringaiannya. Sepertinya ini bukan saat yang tepat untuk bercanda. Adiknya terlihat sewot.

“Kenapa?” tanya Gema dengan air muka serius.

“Ada yang ganggu pikiranku.”

Gema mengerutkan kening. Sepertinya memang ada yang tidak beres dengan adiknya.

“Apa itu?”

“Kamu Kak.” Guntur menatap Gema lekat. Saat itu Gema hanya bisa diam, tercekat. Setelah beberapa saat berpikir, Gema tidak menemukan jawaban. Pemuda itu menunjuk dirinya sendiri sembari melayangkan pertanyaan,”Kok Kakak, sih?”

Guntur menghela napas dan duduk di samping Gema. “Apa Kakak pengen cerita sesuatu?”

“Cerita apa? Ngomong yang jelas dong.”

Guntur menatap Gema dengan mata yang tak bisa diartikan. Guntur diam, menunggu hingga Kakaknya mau bercerita. Tapi nyatanya Gema juga terdiam. Justru menguap-nguap lebar, seperti tidak ada apa pun, seakan semuanya baik-baik saja.

Melihat Gema yang terlihat begitu kokoh, Guntur merasa dadanya menyesak, kenapa ia tidak bisa seperti Kakaknya yang tegar?

Dan ketika kedua matanya mulai memanas, Guntur tidak bisa melakukan apa pun kecuali melarikan diri, sebelum Gema mengejeknya dengan sebutan, "Adik cengeng."

“Hei, mau ke mana?” Teriakan itu sudah tidak berguna. Guntur sudah berlari melewati gerbang dan Gema hanya bisa bengong keheranan. “Kenapa dia?”

***

Guntur tidak keluar untuk makan malam hari ini. Saat Mama Niar mengetuk pintu kamar dan mengingatkan bahwa ini sudah waktunya makan, Guntur hanya bilang sudah makan di luar. Guntur sibuk dengan laptopnya, menancapkan modem dan menghubungkannya dengan internet. Kalau Gema tidak mau mengatakan apa pun, barangkali Guntur bisa mendapatkan jawabannya dengan browsing internet. Gejala apa saja yang dialami Gema yang selama ini Guntur curigai sebagai penyakit kronis. Guntur kira selama ini Gema sakit maag karena Kakaknya itu sering kedapatan sakit di perutnya, tapi tidak ada riwayat sakit maag yang sampai memuntahkan darah.

Perasaan takut ini, apa hanya ia yang bisa merasakannya? Guntur menggeleng, saat salah satu situs terbuka. Saat yang ia baca sesuai dengan gejala yang dialami Gema, sering sakit perut di bagian atas dan juga kadang muntah darah, itu dua gejala yang Guntur lihat dari keluhan Kakaknya.

Mendadak rasa takut itu membuat Guntur gemetar. Baru kali ini ia merasa begitu lemah, dan ia sadar takut kehilangan Gema.

“Gun…”

Guntur tersentak. Ia mengangkat kepalanya dan melihat Gema yang kepalanya sudah menyembul dari pintu kamar yang tidak tertutup sempurna. “Mama masak ayam panggang, kamu serius nggak mau?”

Guntur menggeleng dan itu sangat aneh di mata Gema. Mungkin Guntur sakit, pikir Gema yang saat itu langsung masuk kamar dan menghampiri adiknya lalu meletakkan telapak tangannya di kening Guntur. Normal, Guntur sama sekali tidak demam, tidak ada juga gejala flu.

“Hari ini kamu aneh banget, kenapa sih?” Gema duduk di ranjang, di sebelah Guntur yang tengah memangku laptop dengan kondisi menyala.

“Kakak yang kenapa?” Guntur menyahut tanpa menatap balik lawan bicaranya. Ini jelas bukan Guntur yang biasanya. Selama ini Guntur selalu mengomel tiap kali Gema bicara tanpa menatapnya. Namun kali ini Guntur sendiri yang melakukannya.

“Kok malah balik tanya?” tanya Gema, tangan kanannya menarik-narik kaos Guntur agar adiknya itu memalingkan wajah ke arahnya. Tanpa peduli, Guntur melanjutkan kata-katanya. “Kalau Kakak masih nganggep aku sodara, pasti Kakak cerita.”

“Cerita apa?” Gema masih tak mengerti.

Guntur berdiri, ia meletakkan laptopnya yang masih terbuka di ranjang lantas menatap sinis pada Gema yang masih bertampang bodoh. “Pikir sendiri!” Guntur setengah berteriak saat mengatakan itu, ia bergegas keluar kamar, ingin segera enyah dari hadapan Gema sebelum ia benar-benar histeris di sana.

Guntur hampir menabrak Mama Niar saat keluar kamar. Tanpa meminta maaf, Guntur kembali melanjutkan langkahnya dengan terburu-buru. Detik berikutnya, terdengar pintu ruang tamu yang dibanting.

Sementara itu, di kamar, Gema terbelalak membaca artikel yang terpampang di layar laptop Guntur. Dengan cepat Gema mematikan laptop itu dan melipatnya sebelum beranjak, ia harus bicara dengan adiknya.

Nyatanya saat keluar kamar, Gema hanya melihat Mama yang terheran melihat Guntur yang keluar rumah dengan muka marah. “Ada apa, Ma?”

“Nggak tahu tuh, Guntur ngambek. Berantem sama kamu?”

Gema menggeleng.

***

Guntur kembali ketika semua sudah tidur. Guntur membangunkan Mama yang tertidur di ruang tamu, dan memintanya kembali ke kamar. Rasa bersalah itu membuatnya merasa tidak nyaman. Terlebih ia sampai membuat Mamanya tertidur di sofa karena menunggunya.

Setelah kembali ke kamarnya sendiri, Guntur melihat Gema sudah pulas di ranjangnya. Guntur menghampiri Kakaknya, mengambil posisi duduk di samping ranjangnya dan ikut menghempaskan tubuh di ranjang Gema. Hari ini, ia tidak ingin tidur di ranjangnya sendiri.

Gema membuka matanya dalam keremangan, ia merasa tubuhnya dipeluk. Kalau saja bukan Guntur, mungkin ia sudah menendang seorang ‘laki-laki’ yang berani memeluknya saat tertidur.

“Kak… sudah tidur?” tanya Guntur.

Gema tersenyum. Menyingkirkan tangan Guntur dari tubuhnya, geli sendiri berdempetan dengan Guntur. “Belum,” sahutnya, lalu menyalakan lampu tidur di meja samping ranjang.

Guntur membuka mata dan sedikit mengangkat kepala. “Kenapa?”

“Kakak nunggu kamu pulang.” Gema mengusap matanya yang mulai lengket, ngantuk berat. Tadi ia mencoba tidur tapi sama sekali tidak bisa karena teringat Guntur yang tidak ada di kamar mereka. Padahal waktu sudah menunjukan pukul 21.00.

“Kenapa?” tanya Guntur.

“Tentu saja Kakak khawatir.”

Guntur tak lagi bersuara, ia ingin menanyakan soal penyakit Gema, namun urung. Ia masih memberi waktu pada Gema untuk menceritakan dengan kesadarannya sendiri.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!