Keping Kesembilan Belas

“Oh, jadi itu yang namanya Rindu...” Guntur mengangguk-angguk. Ia masih ingat dengan undangan makan malam dulu. Di mana Mama sampai beli baju baru dan memaksa Gema memangkas rambutnya. Karena itu, model rambut Gema dan Guntur jadi berbeda. Dulu, rambut keduanya sama-sama bermodel harajuku. Agak panjang dan sedikit terkesan berantakan. Tapi sekarang model rambut Gema rapi, Guntur saja tidak tahu apa nama model rambut Kakaknya. Mama membawa Gema ke tukang cukur, bukan ke salon yang bisa memberikan tawaran banyak model rambut yang keren. Tapi, dulu Mama yang ngotot dan mengatakan calon mertua itu lebih menyukai rambut rapi daripada rambut keren.

“Itu pacar Kakak, ya?” Guntur bertanya jahil. Guntur sempat mengira kalau Kakaknya itu akan bersikeras menyangkal, tapi nyatanya tidak. Pemuda itu hanya tersenyum tipis dan melenggang menuju motornya.

Saat duduk di boncengan Gema, Guntur kembali beraksi. “Cieee... cieee... Kakak punya pacar. Aku kalah.” Guntur mencolek punggung Gema. Pemuda di depannya mulai risih, ia hanya diam dengan sesekali menggeleng.

“Nggak salah?”

“Bukan. Rindu bukan pacar Kakak.”

“Bukan atau belum?” Guntur masih saja memberondong Gema dengan celoteh jahil. Yang diledek mulai jengkel, ia menarik gas motornya kuat-kuat hingga motor mereka melaju dengan kecepatan tinggi. Guntur baru diam setelah Gema ngebut. Gema tahu, adiknya itu paling takut kalau naik kendaraan yang ngebut. Saat melihat Guntur yang meringkuk di balik punggungnya, Gema menyeringai.

***

“Mungkin besok Papa bakal ke sini lagi.” Suara Guntur mengudara di antara keremangan kamar. Gema nyaris saja tertidur jika tidak mendengar ucapan itu.

“Ngapain?” tanya Gema, lalu menguap. Sudah malam, biasanya kalau sudah masuk kamar, Guntur yang teler duluan. Tapi hari ini tumben sekali, meski lampu sudah dimatikan, Guntur masih sadar.

“Jemput Kakak,” sahut Guntur. Seketika Gema menarik selimut sampai menutupi kepalanya. “Lalalala… nggak mau bahas ini.”

“Jadi orang susah amat diatur?” protes Guntur, kali ini terlihat jelas nada kejengkelan di suara Guntur. Sementara lawan bicaranya tak pernah peduli dengan ucapan Guntur yang menyentak. Gema memang selalu cuek, saking cueknya sampai-sampai ia tak memikirkan siapa pun, termasuk dirinya sendiri, dan juga perasaan Guntur.

“Berisik aja sih?” suara Gema terdengar, ia menggumam di balik selimut. Meski pelan, Guntur cukup peka untuk mendengarnya. Dan itu sangat menjengkelkan.

“Kak!” suara Guntur makin meninggi. Sungguh respon Gema tadi membuatnya frustasi. Berkali-kali ia menjambak rambutnya sendiri, sibuk berpikir bagaimana cara membujuk Kakaknya agar melakukan yang ia minta.

“Apa sih?”

“Satu permintaanku, berusahalah buat sembuh!” Guntur memohon. Ia bahkan sampai menyalakan lampu meja untuk bisa melihat Kakaknya. Tapi sayangnya wajah Gema yang berbaring di ranjang sebelah itu tertutup selimut.

Meski sudah tidak semangat mengobrol dengan adiknya, Gema masih berusaha menimpali kalimat adiknya, sebab Guntur itu tipe orang yang akan terus memberondongnya kalau Gema hanya menanggapi ucapannya dengan diam. “Operasi sudah nggak berguna kalau Kakak sudah stadium lanjut.”

“Kakak putus asa?”

Nah, kan? Gema bilang juga apa, sudah dijawab pun Guntur masih memberondongnya dengan pertanyaan.

“Bukan putus asa, Kakak Cuma nggak mau menghabiskan sisa waktu yang hanya sedikit ini di rumah sakit. Kakak pengen melakukan hal yang Kakak suka, melakukan hal berguna buat orang lain, menyayangi seorang cewek, dan meninggalkan kesan baik buat Mama.”

Wajah Guntur memanas. Napasnya pun menyesak. Kalau sudah begini, apa yang bisa Guntur lakukan? Pasrah? Membiarkan Gema melakukan hal yang ia suka dan jadi saksi? Tidak. Guntur tidak mau.

“Tapi aku nggak mau Kakak mati!” teriak Guntur, dengan suara bergetar. Memangnya siapa yang mau mati? Bahkan Gema pun kalau bisa, ingin bernegosiasi dengan Tuhan, ingin diberi nyawa lebih dari satu, atau umur yang sangat panjang. Tapi, siapa yang memberi izin soal itu? Manusia tak punya daya apa pun.

“Ajal nggak ada yang tahu, Gun. Dokter ngasih vonis kanker hati stadium lanjut, Kakak tahu setahun lalu. Dulu dokter bilang umur Kakak tersisa hanya 3 bulan. Tapi Kakak bisa bertahan sampai sekarang.” Gema mengenang saat ia merasa dunianya berakhir, saat vonis itu turun, Gema juga merasa terpukul. Tapi, akan lebih menyedihkan jika ia menghabiskan waktunya yang sedikit ini hanya untuk merutuki hidup dan menyesalinya. Bukankah dunia ini terlalu indah?

Gema mencoba untuk memotivasi dirinya sendiri, berusaha bangkit dan berusaha berdiri tegak di atas apa pun yang bisa ia pijak. Berusaha terus semangat, meski ia sangat lelah. Dan ternyata berhasil, bahkan ia tak menyangka bisa hidup lebih lama dari vonis dokter.

“Kak, kalau umur Kakak lebih panjang, Kakak bisa bersama Rindu.” Satu nama yang Guntur ingat, ia tahu nama itu begitu istimewa di hati Gema. Dan semoga saja nama itu juga yang bisa menggerakkan hati Gema. Entah kenapa setelah mendengar pernyataan Guntur barusan, Gema merasa ada aliran listrik yang bergerak hingga ke dadanya, membuat jantungnya berdegup lebih keras, menghentak.

Giliran Gema yang terdiam. Mengingat Rindu membuatnya merasakan pedih. Menyadari, hal yang menyedihkan dari sebuah pertemuan adalah fakta bahwa perpisahan mengikuti di belakangnya.

***

Rumah Rindu sudah dekat, Gema sebisa mungkin mengendalikan motornya agar tidak oleng, tapi rasa sakit di perut bagian atasnya begitu hebat, tidak bisa ditolerir. Tanpa bisa dicegah, tubuh Gema limbung dan jatuh. Beruntung tidak terjadi sesuatu yang gawat. Gema tidak sampai terluka parah, hanya lecet karena sikunya bergesekan dengan aspal, masalah kedua karena kue-kue pesanannya hancur tertindih tubuhnya ketika jatuh tadi. Gema meringis sambil mengusap sikunya yang sedikit pengalirkan darah, meniup-niupnya pelan. Ia baru berniat kembali ke toko, tapi melihat Rindu yang sudah menunggunya di beranda rumah, Gema memutuskan untuk menyapa gadis itu terlebih dahulu. Mencoba menyembunyikan ringis dan menahan sakit di pertutnya, Gema menyerukan nama, “Rin...” Gema melambaikan tangan. Rindu menahan diri untuk tidak terlihat berbunga-bunga. Itu akan sangat memalukan kalau disadari Gema.

“Lama banget?” tanya Rindu ketika Gema sudah berdiri di depannya. Sebelah tangannya menenteng tas kresek yang berantakan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!