Berdebatan pagi itu membuat Gema jengkel. Akhirnya pemuda itu memilih menghindar, ia keluar rumah dan bergegas menuju toko.
Gema melihat Mama Niar yang tumben sekali membuat kue donat. Barangkali kue itu yang terbuat dari tepung kentang yang dibeli Gema kemarin. Ia tidak pernah melihat Mama membuat kue donat sebelumnya, barangkali akan ditambah ke daftar menu di toko.
“Ini menu baru, Ma?” tanya Gema, mengamati Mama yang mengoles donat dengan mentega, setelah itu menaburinya dengan misis. Terlihat sangat enak, tapi Gema tidak berani mencicipi.
“Ini bukan buat dijual,” Gumam Mama, meski masih fokus dengan kegiatannya.
“Lalu?” Gema hanya mencomot misis di meja dan memakannya sedikit.
“Bisa ajak teman kamu itu ke rumah?” tanya Mama, tersenyum manis sebelum melanjutkan. “Gantian, Mama yang undang dia makan kue.”
Kemudian Gema terbatuk. Mukanya memerah, malu. Tapi ia tidak tahu harus memberikan respon seperti apa. Mau menolak, tapi Mama sudah sampai membuatkan suguhan. Gema sepertinya tidak punya pilihan lain kecuali menjemput Rindu sore ini.
***
Dan Gema bersyukur karena Rindu tidak pernah ada acara di sore hari. Jadi saat mendadak Gema datang, Rindu ada di rumah, baru saja selesai mandi. Itu bagus, pikir Gema.
“Ada undangan dari Mama.”
“Dalam rangka apa?” tanya Rindu. Gema angkat bahu. “Nggak tahu ya.”
“Kok nggak tahu? Aneh,” cibir Rindu. Tanpa menunggu respon lanjutan, Gema nyelonong masuk ke rumah Rindu. Meminta izin meminjam Rindu pada orang tuanya. Sesuai dugaan, Papa dan Mama Rindu dengan senang hati memberikan izin pada Gema yang bersedia mengajak Rindu keluar.
Tak lama, Gema sudah kembali menghampiri Rindu yang masih di beranda rumah. Pemuda itu dengan cepat mendorong kursi rodanya keluar rumah. Ia sudah ditunggu taksi di depan. Rindu sedikit menggerut, meski sebenarnya ia sama sekali tidak keberatan kalau hari ini ‘diculik’ oleh Gema.
Jarak rumah mereka tak begitu jauh, tak memakan waktu lama saat perjalanan menuju rumah Gema. Ini pertama kali Rindu menginjakkan kaki di rumah Gema yang tidak begitu besar, tapi terkesan damai. Ada beberapa tanaman mawar di depan rumah, menyambut kedatangan Rindu. Ah, sebenarnya bukan hanya bunga-bunga mawar yang menyambutnya, seorang wanita tengah baya berwajah ramah juga menunggunya di teras rumah. Senyum dan tatapannya teduh, membuat Rindu yakin kalau wanita itu pasti sangat lembut.
“Makasih sudah mau datang, ya. Ayo masuk.” Mama menggantikan Gema mendorong kursi roda Rindu. Rindu mengangguk, masih malu-malu. Kemudian mereka langsung menuju ruang makan. Hari ini Mama Niar hanya menyiapkan kue, bukan makanan-makanan berat.
Mendadak Mama menatap sekeliling. “Guntur tadi mana ya?” tanya Mama. Gema memastikan Guntur tidak bergabung dalam acara ini, sebelum menjemput Rindu tadi, ia sengaja mengantar adiknya itu ke rumah Papa. Gema masih ingat kata-katanya sebelum ia meninggalkan Guntur di rumah Papa, “Bilang sama Papa, Kakak nggak bakal mau meski dipaksa.”
*
Gema mungkin keras kepala, tapi Guntur juga tak mau kalah. Semalam, sejak Gema mengantarnya menemui Papa, Guntur tidak mengatakan apa pun pada Papa, hanya menginap sehari. Pagi ini Guntur bahkan bangun lebih awal. Meminta Papa mengantarnya ke toko sebelum jam tujuh pagi—sebelum toko dibuka. Kebetulan Mama sudah ada di dapur saat itu. Dengan semangat ia membantu Mama di dapur toko, tak peduli meski Mama mengomel dan memaksa Guntur segera berangkat ke kampus.
“Kamu bisa telat.” Mama berkacak pinggang. Ingin sekali menjewer telinga Guntur yang sejak tadi sok sibuk di dapur, meski tak banyak kegiatan yang bisa ia lakukan, lain dengan Gema yang sudah terbiasa.
“Guntur kan udah bilang mau cuti dulu, Ma.” Guntur mendekat pada Mama yang tengah membuat adonan, wajahnya penuh tepung.
“Ngapain cuti segala?” tanya Mama, wanita itu sempat menoleh pada Guntur meski tangannya masih mengaduk adonan.
“Kenapa Mama protes kalau Guntur yang cuti? Mama diam saja kalau Kakak yang cuti.”
Kali ini Mama Niar diam, kalah telak. Dan akhirnya, wanita itu hanya bisa pasrah, tak ingin adu pendapat dengan anak bungsunya, matanya bergerak-gerak mencari anaknya yang lain. Mungkin Gema masih mandi.
Tak lama, Gema yang dinanti sudah muncul. Rambutnya yang pendek itu tertata tegak.
“Pagi, Ma.” Sapa Gema saat sampai di dapur. Saat matanya menemukan sosok Guntur, ia memicing.
“Hari ini aku yang antar pesanan.” Guntur menepuk bahunya. Lain dengan Gema yang langsung menggeleng tak setuju.
“Nggak bisa. Ini sudah jadi tugas Kakak.” Gema mengamati meja dapur yang terbuat dari keramik. Di sana sudah tersusun beberapa kardus berisi kue-kue pesanan pelangan dan daftar alamat pelanggan baru. Dengan sigap, Gema meraih kertas alamat itu. Sementara itu Guntur juga tak mau kalah. Ia buru-buru memasukkan dus-dus kue ke dalam kantong kresek.
“Hei, pelan-pelan. Ah, dasar nggak becus.” Gema memukul kepala Guntur dengan gulungan kertas. Adiknya itu meringis berlagak kesal.
“Berikan pada Kakak kuenya. Keburu telat nganter nih.”
Lawan bicara Gema itu hanya menjulurkan lidah, “Sudah kubilang hari ini aku yang anter!”
“Nggak, Gun. Itu tugas Kakak.”
Dua anak kembar itu saling lempar pelototan tajam. Tak ada yang mau mengalah. Melihatnya membuat Mama Niar pusing sendiri. Dan ujungnya, dua bujang itu hanya bisa dihentikan ketika tangan Mama menjewer kuping kedua anaknya.
“Berisik. Mending kalian antar berdua.” Teriakan Mama mengakhiri keributan pagi ini. Gema dan Guntur sampai pontang-panting menuju garasi untuk mengambil motor. Mama orangnya sangat sabar, nyaris tidak pernah marah. Tapi kalau sudah marah, galak sekali. Jadi seperti herder.
Ini kali pertama Gema dan Guntur mengantar kue bersama. Di perumahan Araya, pada akhirnya Gema dan Guntur bisa kerja sama. Ketika Gema yang membawakan bungkusan, Guntur mengetuk pintu, ketika Gema yang menyerahkan kue, Guntur yang mencatat pembayaran.
Tapi, yang membuat Guntur heran adalah ketika sampai di salah satu rumah bergaya eropa dengan cat putih gading, Gema meminta Guntur tetap menunggu di luar Gerbang. Tidak mengantar bersama.
“Kenapa, Kak?” tanya Guntur. Tapi Gema tidak menjawab. Ia hanya mengambil satu tas kresek dan mengantarnya seorang diri. Gema hanya memandang dari kejauhan. Heran kenapa Kakaknya tidak mau ia ikut. Guntur bisa melihat Gema tengah bicara dengan gadis yang duduk di atas kursi roda saat itu. Mereka terlihat akrab. Guntur mulai sadar kalau gadis itu pasti bukan teman biasa. Sebab, Guntur bisa menemukan wajah cerah Gema saat bicara dengan gadis itu.
Guntur memalingkan wajah, mendadak ada sesuatu yang berat memenuhi dadanya, membuatnya sesak. Tanpa sadar ia meremas dadanya, dan rasanya masih saja sesak. Guntur tak tahu, sampai kapan ia wajah cerah Gema itu bisa bertahan. Sungguh, Guntur tidak akan keberatan kalau kondisi Gema bisa ditukar dengannya.
“Balik yuk.”
Guntur tersentak saat merasa bahunya disentuh. Guntur menoleh, dan menemukan Gema berdiri di belakangnya. Wajahnya masih terlihat senang. Begitu berartinya kah gadis di kursi roda itu, hingga Guntur juga merasakan aliran euforia dari senyum Gema?
“Tadi itu siapa, Kak?” tanya Guntur, ia berusaha tersenyum meski tak ingin.
“Namanya Rindu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments