Keping Kedelapan

“Dokter Adrian cerita karena dia teman Papa.”

Gema hanya mendengus.

“Ikut Papa pulang, Papa bakal cari dokter terbaik untuk operasi.”

“Tapi aku nggak mau pakai uang Papa.” Itu sumpah Gema sejak Papanya terlibat suap. Dan itu pula alasan utama Mama berpisah dari Papa, Papa terlalu serakah sejak menjadi pejabat.

“Masih saja sok suci.”

“Daripada bangga dengan uang kotor,” cibir Gema yang langsung berbuah tamparan. Anjar sudah kehabisan kesabaran, lelaki itu meledakkan emosi pada akhirnya. Gema hanya diam meski tangan besar Papanya itu sudah membuat sudut bibirnya robek. Gema juga masih mematung saat lelaki itu pergi tanpa permisi, Gema masih diam hingga mobil Alphard putih itu tak terlihat lagi.

Gema menghela napas panjang. Saat hendak masuk ke rumah, ia menangkap sesuatu di bawah asbak yang terletak di atas meja teras. Gema mengernyit saat menyadari bahwa ada kartu ATM yang ditinggal Papanya di meja. Gema baru saja akan membuang benda itu ke tempat sampah saat mendengar suara ponselnya berdering. Pesan dari Papa.

Pin : 140814

Gema tersenyum hambar, sepertinya Papa memang menyiapkan kartu ATM itu untuknya, sampai-sampai menjadikan tanggal lahirnya sebagai pin. Tapi Gema sudah bertekat tidak menggunakan uang Papa lagi. Gema menggeleng mantap, sebelum akhirnya benar-benar membuang kartu ATM itu ke tempat sampah.

***

Bi Salmah berhenti mendorong ketika sampai di sekitar lapangan rampal. Tempat bertemu Gema kemarin. Pemuda itu barangkali belum sampai. Atau masih main futsal di lapangan. Bi Salmah menyayangkan, kenapa Gema belum muncul juga. Padahal Rindu sudah terlihat antusias saat meminta Bi Salmah mengantarnya tadi.

Bi Salmah heran saja, karena kemarin sepertinya Rindu kurang merespon ucapan Gema. Atau itu hanya akting saja?

“Bibi temani dulu sampai mas Gema datang ya, Non.” Bi Salmah mendorong kursi roda Rindu sampai di kursi beton dekat pohon pucuk merah yang tumbuh besar dekat pagar lapangan. Bi Salmah duduk di sana setelah mengebas permukaan kursi yang penuh debu.

“Bi Salmah bisa pulang sekarang,” kata Rindu. Ia menatap ke langit, ini memang sudah sore tapi senja belum turun, berarti bukan Gema yang datang terlambat, melainkan ia yang terlalu cepat datang.

“Tapi—“

“Nggak apa-apa, kok,” sela Rindu. Sebentar lagi senja juga turun, Rindu yakin Gema juga tak lama lagi datang. Bi Salmah pun akhirnya mengangguk setuju.

“Yakin nggak apa-apa? Kalau begitu, Bibi pulang dulu…”

Rindu mengangguk.

Dan dugaan Rindu memang tepat, selepas Bi Salmah pulang, mendadak ada yang berteriak, “Doorrr!” di belakang Rindu. Gadis itu mendengus dan terlihat tidak terkejut. Ia memutar posisi kursi rodanya menghadap Gema.

“Kenapa nggak kaget?” Gema tertawa melihat wajah Rindu yang seperti mengatakan, capek deh.

“Sayang sekali, aku bisa denger langkahmu yang mengendap-endap.”

Gema menggaruk hidung sembari menggumam,“Hooo…”

“Jadi, kamu mau nunjukin apa?” Rindu memang selalu to the point. Tidak bisa basa-basi sedikit saja.

“Mau nunjukin ini, aku pakai baju baru…” Gema berkacak pinggang dengan gayanya yang over-pede. Dan helaan napas Rindu pun terdengar sampai telinga Gema. Pemuda itu menahan diri agar tidak menertawakan kelakuan konyolnya. “Gimana, cocok nggak?”

“Nggak cocok.” Sinis Rindu, dan ia harus menahan dirinya agar tidak muntah saat melihat wajah sedih Gema yang dibuat-buat.

“Aish, ini sebenarnya baju adikku.” Gema terkekeh.

“Udah, itu aja?” Rindu menatap Gema dengan malas. “Kalau udah aku mau pulang.” Rindu baru akan memutar roda pada kursinya saat Gema menghadang jalannya. “Heee… kenapa buru-buru?”

“Kamu buang waktuku,” ucap Rindu.

“Halah, kayak orang sibuk aja. Padahal kerjaanmu cuma bengong aja tiap hari.” Kemudian pemuda itu bersiul. Dan itu berhasil membuat Rindu mati kutu. Rindu tidak bisa menyangkal, karena kenyataannya Rindu hanya membuang waktunya di mana pun itu, tiada bedanya dengan sekarang.

“Oke, aku serius nih… aku pengen ngajak kamu ke jembatan depan sana, di jalan Setia Budi.” Gema langsung mengambil posisi di belakang Rindu dan mendorong kursi rodanya. Gema mendorong cepat kursi roda Rindu, menyeberang saat lampu merah menyala dan tiba di jembatan daerah jalan Setia Budi. Di bawah jembatan, Rindu bisa melihat rel kereta api. Tentu saja karena di depan sana ada stasiun kota baru. Pusat stasiun di kota Malang.

“Sebentar lagi pasti ada kereta lewat, kereta senja.”

Rindu menoleh pada pemuda yang berdiri di sebelahnya. Wajahnya bersinar tertimpa sinar senja. Rindu baru menyadari bahwa senja mulai turun. Ah, indahnya. Keindahan yang membuat Rindu merasa hatinya lebih nyaman. Ah, perasaan apa ini sebenarnya?

Mendadak Gema menoleh, dan saat itu Rindu tertangkap basah telah menatap Gema dengan tatapan tidak wajar. Tapi Gema tidak membahas hal itu. Ia justru menunjuk ke arah rel kereta dan Rindu mengikuti arah yang ditunjuk Gema. “Ada kereta.”

Suara peluitnya terdengar. Gerak kereta juga membuat bising area sekitar. Tapi bising yang membuat Rindu menyukainya. Mendadak gadis itu jadi ingin naik kereta.

“Keren, kan?” tanya Gema.

Rindu mengangguk. Pemandangan kereta di senja hari memang tak pernah ia temui. Saat Kereta dari selatan itu terlihat tersiram sinaran senja, tanpa sadar Rindu menggumam takjub.

“Indah. Rasanya aku pengen mengabadikan pemandangan ini.”

“Kamu suka fotografi?”

Rindu menggeleng. “Aku suka gambar.”

“Kamu bisa menggambar?”

“Dulu aku selalu mendapat nilai A di pelajaran kesenian, apalagi menggambar.”

“Tunggu di sini sebentar ya…” Gema berlari entah ke mana, meninggalkan Rindu yang masih bengong di jembatan. Rindu menoleh dan melihat Gema sudah menyeberang jalan. Sial, Rindu mengumpat saat sadar ia ditinggal seorang diri di jembatan. Seorang gadis dengan satu kaki di jembatan dekat stasiun kereta, bisa-bisa Rindu disangka peminta-minta. Lebih baik ia segera pergi sebelum di amankan petugas.

Rindu baru saja hendak meninggalkan jembatan saat suara teriakan memanggil namanya terdengar. “Rindu!”

Ia menoleh dan menemukan Gema berlari ke arahnya. Pemuda itu menenteng buku gambar. “Kenapa mau pergi? Aku kan bilang tunggu sebentar,” gerutunya kesal. “Ini, untukmu.”

Rindu bengong saat Gema menyodorkan buku gambar untuknya. Ada juga pensil 2B di atas buku gambar itu. “Ini buat apa?”

“Buat mandi!” sinis Gema, kesal. “Ya buat gambarlah. Katanya pengen mengabadikan pemandangan kereta senja.”

“Tapi…”

“Aku pengen lihat.”

Rindu menerima buku gambar itu pada akhirnya, ia menggunakan pensil yang juga sudah diraut itu untuk membuat sketsa kereta senja. Ini pertama kali setelah Rindu berhenti menggambar, sejak kecelakaan itu. Rasanya memang kaku, tapi menyenangkan juga. Rindu bisa menggambar dengan cepat. Dan Gema masih berdiri di sebelah Rindu, memantau pergerakan jemari gadis itu yang bergerak lincah di atas buku gambar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!