“Kenapa tuh?” tanya Rindu kemudian. Gema menjatuhkan pandangannya pada bawaannya, dan melihat kuenya yang hancur. Melihat Rindu tadi, membuat Gema lupa untuk menggantung kue hancur itu di motor. Padahal Gema tidak berniat menunjukkan kue nahas itu pada Rindu.
“Sori, tadi aku jatuh di jalan.” Gema mengangkat kreseknya, dan Rindu menghela napas melihat wujud bawaan Gema. Rindu meraihnya, melihat isi kotak kardus itu dan menemukan bronis bolu wijen pesanannya sudah berantakan.
“Haduh, kayak anak kecil aja kamu,” cibiri Rindu. “Ceroboh.”
Gema mengangguk, tak menyangkal jika mendapat cap ceroboh.
Gema menarik kotak bolu di tangan Rindu dan berkata, “Nanti aku kirim yang baru. Ini aku bawa balik saja.”
Sementara Rindu buru-buru menggeleng. “Nggak usah.” Lagipula Rindu yakin kalau hanya bentuknya yang berantakan, sementara rasanya masih sama enaknya. Rindu meraih kembali bolunya, memasukkannya ke dalam tas. Ngomong-ngomong, Gema baru sadar dengan penampilan Rindu yang berbeda. Ia memakai seragam putih abu-abu dan menyandang tas pagi ini. Oh, ya Tuhan... Gema seketika tersenyum senang.
“Kamu sudah mulai sekolah?” Gema justru yang lebih antusias.
“Iya.” Rindu melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. “Ini sudah jam 6.30.”
Gema mengerti, sebelum Rindu berangkat, ia pun pamit undur diri. Rindu mengangguk.
“Gema tunggu.” Rindu menahan Gema sekali lagi.
Gema baru melangkah beberapa jengkal ketika Rindu memanggilnya, ia menoleh. “Kenapa?”
“Kamu melupakan sesuatu,” ucap Rindu membuat Gema mengerutkan kening.
“Apa?”
“Bolunya belum aku bayar.”
Dari tempatnya berdiri, Gema tersenyum lebar. “Nggak usah. Kue hancur itu nggak layak jual.”
“Hei, nggak bisa gitu. Mama kamu bisa rugi.” Canda Rindu, ia menahan diri agar tidak tertawa.
“Biar gajiku yang dipotong.” Kemudian Gema terpingkal. Dan kali ini Rindu pun tak bisa menahan senyumnya, senyum yang begitu ringan. Meski jarak mereka tak begitu dekat, namun Gema masih bisa melihat Rindu menyunggingkan senyum paling ikhlas. Coba kalau Rindu bisa sering-sering tersenyum seperti ini, pasti akan manis sekali. Sayangnya gadis itu lebih sering manyun.
“Oke, makasih,” kata Rindu. Gema mengangguk, kemudian melambai sebagai isyarat pamit.
“Gema tunggu...” panggil Rindu lagi. Gema menyahut cepat, “Apa lagi?”
“Nanti sore, bisa ketemu di jembatan?” Tempat yang menjadi favorit Rindu. Yang selalu menyimpan banyak inspirasi, dan tentu saja senja di sana mengingatkan pada sosok Gema. Pipi Rindu memerah saat menyampaikan ajakan itu pada Gema, malu bukan main. Apalagi saat Gema tak kunjung menjawab ajakannya. Gema masih diam hingga beberapa jenak, tapi sesaat kemudian ia tersenyum sembari mengangguk mantap. “Oke, deh.”
“Jangan telat ya?”
“Iya.”
Rindu sekali lagi dibuat tersipu saat melihat senyum Gema. Seperti di hempaskan ke ladang penuh bunga, Rindu merasa sangat bahagia. Sepertinya setelah ini ia bisa berangkat ke sekolah dengan penuh semangat.
***
Guntur cukup terkejut melihat Gema yang pulang dengan muka pucat. Keringat mengucur dari keningnya, sementara sebelah tangannya mencengkeram perut bagian atas.
“Kak.” Guntur cemas, ia baru akan membantu menahan tubuh Gema agar tidak jatuh, tapi Gema lebih dulu menahan tangan Guntur.
“Kakak nggak apa-apa,” kata Gema, lalu tersenyum meski sekilas, karena detik berikutnya Gema kembali meringis kesakitan.
“Kak jangan keras kepala.” Guntur sedikit gemetar melihat keadaan Gema.
“Kamu buruan ke toko ya, Kakak mau istirahat dulu.” Gema menepuk bahu Guntur, lalu melangkah terseok menuju kamar. Namun tubuhnya menolak, Gema lebih dulu tersungkur sebelum sampai di kamar. Seketika Guntur memekik, berteriak memanggil nama Kakaknya yang sudah tergeletak lemas. Kedua matanya memanas, Guntur mencoba mengguncang tubuh Gema, tapi pemuda itu tidak bangun juga.
Guntur mencoba untuk tenang saat meraih ponselnya, mencari kontak Papanya. Hanya Papa yang bisa diandalkan di saat seperti ini.
***
Kata dokter kondisi Gema makin memburuk. Guntur terisak saat mendengar sendiri dokter mengatakan bahwa Gema sudah tidak ada harapan untuk bisa sembuh. Bukan hanya Guntur yang menumpahkan banyak air mata saat itu. Papa juga. Sesaat setelah Gema jatuh pingsan dan dilarikan ke rumah sakit, sebenarnya Guntur ingin menelpon Mamanya. Mengabarkan kalau Gema dirawat di sana. Ini pasti akan seperti sambaran petir di siang hati, tanpa aba-aba Mama diberi kabar bahwa Gema mengidap penyakit kronis dan usianya tak akan lama lagi. Tidak, akan lebih baik kalau Niar tidak diberi tahu. Tapi ini justru yang terbaik, Papa meraih ponsel Guntur dan menggeleng. “Mama nggak usah tahu dulu,” ucap Papa, lirih.
Guntur memandang Papanya, lekat. Papa mengerti tatapan penuh tanya itu, barangkali Niar akan merasa dirinya tak dianggap jika tidak diberitahu. Tapi biarlah Mama Niar menjadi orang yang terakhir kali tahu.
“Kenapa nggak boleh bilang sih, Pa?” tanya Guntur lirih. Ayah dan anak itu tengah duduk di sisi ranjang Gema. Berjam-jam keduanya tidak melakukan apa pun, hanya duduk, sambil mengamati Gema yang belum bangun juga.
“Kalau Mama kamu tahu, pasti akan lebih gawat,” komen Papa. Mungkin apa yang Papa katakan benar. Mama pasti akan depresi berat kalau sampai tahu. Tapi, cepat atau lambat Mama pasti tahu, penyakit Gema tak akan bisa selamanya disembunyikan.
Guntur merasa bahunya ditepuk pelan. “Papa bakal bawa Kakakmu ke luar negri,” kata pria itu. Guntur mengangguk. Apa pun itu, asal untuk kesembuhan Gema, ia akan setuju. “Berjanjilah kalau Kakak akan sembuh.”
“Papa usahakan yang terbaik.”
Mata Gema mendadak terbuka. Menyadari ia ada di tempat yang tidak seharusnya, ia bergegas melompat dari ranjang. Papa dan Guntur tercengang seketika.
“Kak, kamu udah bangun? Syukurlah.” Guntur mengelus dadanya, sedikit lega. Gema menatap marah pada Guntur. “Kamu yang nelpon Papa?” tanya Gema sinis, membuat Papanya sendiri itu tersinggung. Lelaki itu berdeham dan Gema tersadar kalau obrolan itu terlalu keras. Gema tak peduli, ia tak suka jika Papa membantunya, dalam hal apa pun, apalagi sampai membayar biaya rumah sakit. Tidak jika Papa masih menggunakan uang kotornya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments