"Kamu ini aneh, Senjaya. Di mana-mana, bila ayahnya seorang pendekar sakti, pastilah anaknya mengikuti jalan ayahnya, seperti buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya. Seharusnya kamu pun begitu, Senjaya," kata Ayuni. Saking asyiknya berbicara, mereka tak sadar sisa makanan yang dibawa telah habis. Tiba-tiba, dari jauh seorang lelaki tegap dan tinggi menghampiri mereka.
"Hai Ayuni, kenapa kamu berlama-lama di sini? Siapa pria itu?" Ayuni mengenal pria itu, tapi ia tak suka dengan nada bicaranya yang agak membentak.
"Kakang Randu, tak usahlah kamu mengagetkan kami," tegur Ayuni.
"Bukan begitu, Ayuni. Kamu tak boleh sembarangan berbicara dengan pria asing. Kalau ayahmu tahu bisa dimarahi kamu. Lagipula ayahmu mencarimu. Sebaiknya kamu pulang," kata Randu. Senjaya menatap heran pria itu, tapi ia diam saja tak berbicara apa-apa.
"Siapa bilang pria ini asing? Aku mengenalnya, dan Ayah pun mengenalnya. Kamu jangan sembarangan berbicara, Kang Randu," balas Ayuni. Randu pun melihat sinis ke arah Senjaya.
"Siapa kamu, anak muda? Tak sopan kamu berbicara dengan anak gadis Demang Chandra," bentak Randu. Senjaya tersentak kaget.
"Oh, aku Senjaya, anak Ki Darmala. Apa kamu mengenalnya?"
"Ya, aku mengenalnya. Jadi, kamu lah anak Ki Darmala yang lemah dan tak bisa silat itu?" Ayuni tak suka dengan pertanyaan itu.
"Kang Randu, bisakah kamu bertanya dengan baik? Tanpa menyakiti perasaan orang?" Mendengar jawaban Ayuni, Randu heran jadinya. Kenapa ia membela pria itu?
"Baiklah, Ayuni. Bila kamu mengenalnya. Tapi tak patut kamu berlama-lama bercengkrama dengan pria yang bukan apa-apa kamu itu. Lebih baik kamu cepat pulang. Ayahmu menunggu," kata Randu, lalu membalikkan badannya dan bergegas pergi. Ayuni yang melihat Senjaya menatap keheranan, menjelaskan tentang orang itu.
"Tak usah kamu pikirkan, Senjaya. Orang itu memang angkuh. Ia seorang pengawal kademangan yang dipercaya oleh ayahku. Sikapnya aneh. Mentang-mentang Ayah mempercayainya, seenaknya saja ia mengawasi kegiatanku. Entah apa maksudnya. Padahal Ayah tak pernah menyuruh dia mengawasiku tiap hari. Kadang aku tak betah di rumah. Oh, ya Senjaya, bolehkah kapan-kapan aku main ke rumahmu? Aku ingin mengenal ibumu," tanya Ayuni. Makin melayanglah hati Senjaya. Entah sekarang ia sudah ada di langit yang keberapa. Senang betul ia mendengar pertanyaan itu.
"Boleh, Ayuni. Tapi rumahku buruk. Nanti kamu gatal-gatal pula di dalam rumahku," canda Senjaya.
"Lho, kok gitu, Senjaya? Aku tak pernah melihat orang dari rumahnya. Bagiku, asal orangnya baik, pastilah aku suka berkunjung," jawab Ayuni.
"Ya, gimana Ayuni saja. Kalau dirimu mau ke rumahku, aku dan ibuku akan senang sekali," kata Senjaya.
"Baiklah, Senjaya. Aku pulang dulu. Nanti kalau aku mau ke rumahmu aku beritahu lagi. Apa kamu besok ada di sini?"
"Ya... tiap hari pasti aku ada di sini berkubang lumpur. Oh, ya Ayuni, kuucapkan terima kasih atas makanannya," ucap Senjaya.
"Hehe, sama-sama, Senjaya. Sampai ketemu besok," balas Ayuni, lalu pergi meninggalkan Senjaya. Senjaya memperhatikannya terus hingga Ayuni menghilang dari penglihatan.
"Luar biasa bidadari itu. Sepertinya malam ini aku tak akan bisa tidur," Senjaya bergumam dalam hati. Hari pun mulai sore. Senjaya bergegas untuk pulang. Tapi entah mengapa ia ingin mandi dulu di air terjun. Sudah lama sekali ia tak ke sana. Hingga ia pun berbelok ke arah air terjun yang besar itu. Jaraknya dekat dengan Hutan Bedari.
Di bawah air terjun itu terdapat kubangan besar dengan beberapa batu sebesar kerbau. Airnya jernih sekali hingga ikan pun terlihat jelas. Suara deru air terjun membahana. Di kanan kiri tumbuh pohon-pohon yang tinggi, pemandangan yang indah.
Senjaya pun menurunkan kakinya ke dalam kubangan itu. Ia membuka bajunya dan berenang hanya memakai celana. Tak ada siapa-siapa di situ. Hanya Senjaya seorang.
"Ah, segar sekali air ini. Huhh... badanku pun ikut segar jadinya. Hmmm... Ayuni... kenapa kamu tiba-tiba mengganggu pikiranku? Belum pernah aku seperti ini, jadi seperti orang mabuk jadinya... haha..." Begitulah Senjaya, seperti orang yang dimabuk kepayang. Sambil berenang, ia selalu memikirkan Ayuni yang cantik itu. Seperti itulah rasanya berkenalan dengan seorang gadis. Rasanya seperti terbang di pelangi yang indah. Selagi menikmati suasana sambil berenang ke sana kemari, tiba-tiba Senjaya mendengar suara gemersik rumput yang menyibak dari dalam hutan. Dirinya pun menoleh ke arah suara itu. Tapi ia tak melihat apa-apa.
"Ah, mungkin ada orang lewat," pikir Senjaya, lalu kembali berenang ke sana kemari. Tapi suara itu terdengar kembali. Kali ini diikuti dengan suara seperti bilah bambu yang dipukul-pukul dan suara mendesis, "Trak tak tak tak. Ssssttt..." Senjaya menoleh kembali ke arah itu.
"Hai, siapa itu? Keluarlah. Jangan bersembunyi. Kalau mau mandi, kemarilah. Air ini segar sekali. Mumpung hari masih sore," panggil Senjaya ke arah suara itu. Tapi tak ada yang menyahut.
Tiba-tiba Senjaya tertegun bukan main. Dari dalam hutan yang gelap, rumput menyibak. Keluarlah sosok bayangan yang besar dan panjang, menjalar cepat ke arahnya. Sosok itu mendesis, "Trak tak tak tak. Ssssssttt..." Setelah keluar dari kegelapan hutan, terlihatlah dengan jelas sisiknya yang besar hitam berkilauan memantulkan cahaya matahari. Ruas-ruas kakinya yang banyak mengeluarkan bunyi bagai suara bambu yang dipukul. Kepala yang merah itu bergoyang mengikuti irama tubuhnya. Sungguh pemandangan yang mengerikan. Hati Senjaya mengecut bukan main.
"Tidak mungkin. Ohh tidak... itu kelabang raksasa yang ada dalam mimpiku. Tidak mungkin jadi kenyataan," gumam Senjaya. Ia pun berenang sekuat tenaga ke tepian. Kemelut hatinya mendesak untuk segera menyelamatkan diri. Tapi takdir berkata lain. Kelabang itu lebih cepat menjalar memasuki kubangan dan merenggut tubuhnya dengan kakinya yang banyak. Senjaya melawan sekuat tenaga. Ia meronta dalam air.
Tapi sia-sia, cengkraman itu sangat kuat. Kubangan itu bergetar hebat menyibakkan air. Lalu Senjaya kehabisan napas dan akhirnya tak sadarkan diri. Kubangan itu pun menjadi tenang kembali.
Lalu kelabang itu menyeret Senjaya ke tepian. Tubuh itu ditelungkupkan oleh kelabang itu, hingga tubuh Senjaya dalam keadaan tengkurap. Kelabang pun mendesis hebat. Ia menjulurkan sungutnya yang hanya satu itu ke arah tengkuk Senjaya. "Clab..." Senjaya pun menggelepar sebentar lalu pingsan. Sungut itu menyisakan lubang di tengkuknya. Kelabang mendesis kembali dan menggerakkan tubuhnya. "Trak tak tak tak. Sssssst..." Lalu dari tepi sisiknya keluar seekor kelabang hijau sebesar keris. Menjalar ke tengkuk yang berlubang itu, lalu masuk ke dalamnya. Terlihat tonjolan kelabang hijau itu menjalar di dalam kulit menuju punggung Senjaya. Lalu kelabang hijau itu berhenti pas lurus di tulang belakangnya. Sejenak kelabang itu bersinar kehijauan di dalam kulit, lalu sebentar kemudian redup. Dan tonjolan kelabang hijau itu pun hilang, seakan terbenam di tubuhnya. Lubang di tengkuknya pun sirna.
Kelabang raksasa kembali mendesis panjang. Lalu merambat ke dalam kegelapan hutan, meninggalkan Senjaya yang dalam keadaan pingsan.
Malam itu, bulan sabit berwarna kemerahan. Cahaya yang merah bagai darah membias di permukaan air di kubangan itu, seakan-akan menandakan peristiwa yang barusan terjadi. Malam pun makin larut. Senjaya masih dalam posisi tengkurap pingsan. Dari kejauhan terdengar suara serigala melolong menggetarkan suasana di sekitar air terjun. Suara itulah yang membangunkan Senjaya.
Perlahan-lahan ia membuka matanya. Lalu ia berusaha bangun dan duduk bersila. Ia berusaha kembali mengingat apa yang baru saja terjadi dengan dirinya. Mengapa ia ada di tempat itu hingga larut malam. Dan tersentaklah ia dikala ingatannya kembali pulih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 163 Episodes
Comments
🇮 🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
maknya pasti nyariin
2024-08-05
2
🇮 🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
aduh geli
2024-08-05
2
🇮 🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
eh kok belut sih. kelabang 😨
2024-08-05
2