Maka jelaslah kesetiaan mereka pada Warok Jangkrik. Sejak ia menjadi kawan Ki Darmala, mereka pun kerap ikut mengawal dan mendapatkan tambahan uang. Masyarakat di luar hutan juga merasakan kebaikan Warok Jangkrik. Bila hasil panen dan kebun melimpah, dirinya akan membagikannya kepada warga desa secara gratis. Padahal, dulu betapa takutnya mereka kepada Warok yang garang itu, tapi sekarang semuanya sudah berubah. Bahkan, Desa Sendang Galuh merasa aman dan tidak pernah terjadi perampokan lagi.
"Hei Darwo, sudahlah berhenti. Mukamu terlihat pucat, mari minum," ajak Jangkrik 6, menghentikan lari Darwo menuju pinggir lapangan.
"Kakang Juda, aku takut dimarahi guru. Aku baru sampai hitungan 187," kata Darwo.
"Tak apa. Minumlah. Guru yang menyuruhku, jadi ia tidak akan marah. Tapi lain kali jangan makan ubi kalau mau latihan. Justru kamu akan terasa cepat lelah karena perutmu kembung. Kamu mengerti?" jelas Juda.
"Baik, Kang, memang sial aku hari ini. Gara-gara ubi itu, hehe," jawab Darwo. Tidak lama setelah itu, Darwo yang sedang minum, melihat seorang berkuda dari kejauhan. Debu mengepul di belakangnya, mengarah ke padepokan itu.
"Kang Juda, apa kamu lihat orang berkuda itu?" tanya Darwo.
"Ya, aku lihat. Sepertinya itu Ki Darmala. Hmmm... mari kita beritahu guru," ajak Juda. Mereka pun bergegas ke pendapa tempat gurunya sedang beristirahat. Sesampainya di pendapa, mereka memberitahukan bahwa mereka melihat Ki Darmala menuju padepokan. Warok Jangkrik pun bergegas ke luar halaman padepokan lalu menyambut Ki Darmala yang telah tiba.
"Wahai sobatku, sore hari yang indah ini kulihat kamu makin gagah saja," Warok Jangkrik menyambut dengan memuji Ki Darmala.
"Ah, kamu Jangkrik, masih saja suka bergurau. Padahal, tentu saja kamu pun melihat ubanku ini yang makin banyak," balas Ki Darmala.
"Hmm... uban itulah yang membuat kita makin gagah, Ki Darmala. Ibarat kelapa yang sudah tua, menghasilkan santan yang lebih baik. Hehe. Marilah masuk, sobat, baru saja para Jangkrik selesai latihan," ajak Warok Jangkrik.
Mereka pun menuju pendapa. Sementara itu, murid-murid menyiapkan minum dan sedikit camilan untuk Ki Darmala yang sudah mereka kenal itu. Secangkir kopi panas dan ketan serut kelapa memang sangat sedap dipandang. Ketan itulah kesukaan Ki Darmala. Padi ketan yang ditanam di tengah hutan itu menghasilkan ketan yang lembut dan empuk, hingga Ki Darmala pun tak pernah bosan bila berkunjung ke padepokan, itulah yang dicari.
"Mantap betul ketan ini. Beda dengan yang di luaran, rasanya kasar dan pera. Hmmm... hasil panenmu pasti laku keras di pasar ya, Warok?" puji Ki Darmala.
"Ya, Kang, lumayanlah. Kalau bukan karena Kakang yang mempunyai ide untuk membuat padepokan ini, mungkin anak buahku ini masih berjibaku dengan dunia perampokan. Sekarang mereka sudah mandiri, bisa mencari nafkah yang halal buat anak istri. Dari hasil sawah, ladang, dan ternak, lumayanlah, Kang. Semua ini juga berkatmu. Bila aku tak pernah bertemu dengan dirimu, mungkin sekarang aku pun masih berkubang dengan barang haram," jawab Warok Jangkrik.
"Kamu salah, Jangkrik. Aku hanya perantara saja. Yang mentakdirkan itu Yang Maha Kuasa. Dialah yang mempertemukan kita. Kamu harus banyak mengucap syukur kepadanya dengan banyak beramal dan ibadah. Jangan lupa itu, Jangkrik. Itulah bekal buatmu nanti di akhirat. Karena semua yang kita punya tak ada arti di hadapannya, kecuali kita gunakan untuk kebaikan kepada sesama. Nah, kulihat kamu sudah membuat langgar, apa kamu dan murid-muridmu rutin menggunakannya?" tanya Ki Darmala.
"Ya, Kang. Sedikit-sedikit aku pun sudah mulai belajar mengaji. Yah, walau cuma ayat pendek, tapi bisa dipakai untuk menjadi Imam," jawab Warok Jangkrik.
"Bagus, Warok. Aku bangga jadi sahabatmu. Kamu sudah mulai memikirkan hari akhiratmu. Kulihat murid-muridmu pun berwajah cerah," puji Ki Darmala.
"Ah, para Jangkrik itu masih saja ada satu dua yang suka berjudi dan minum arak, jiwa bengal para Jangkrik masih saja ada, walau lebih banyak yang benar-benar lurus. Tapi kalau soal merampok, mereka sudah tak berani lagi, Kang. Bisa kupilin leher mereka satu per satu," gurau Warok Jangkrik.
Ki Darmala tertawa mendengar hal itu. Warok Jangkrik memang suka bertindak tegas dan sangat galak menghadapi tingkah laku para Jangkriknya. Pernah suatu hari dirinya memergoki muridnya yang sedang berjudi dan minum arak, lalu ia menghukumnya dengan berendam di kolam ikan sehari semalam. Tidak ada yang berani membantah. Selain hormat, mereka pun tahu siapa guru mereka itu yang mempunyai kesaktian tak jauh dari Ki Darmala. Selama melanglang buana dunia perampokan, gurunya itu tak pernah gagal walau lawannya seorang sakti mandraguna sekalipun. Baru dengan Ki Darmala saja gurunya kalah, tapi itu pun hanya beda selapis kesaktiannya dengan Ki Darmala.
"Haha, kamu yang harus sabar, Warok. Memang tak mudah mengubah batu menjadi bongkahan kecil. Tapi air pun bisa menghancurkan batu, kamu tahu itu, Warok?" kata Ki Darmala.
"Ya, Ki. Begitulah seharusnya. Memang tak mudah. Tapi sedikit demi sedikit aku berusaha mengubahnya. Dan aku pribadi pun demikian, Ki Darmala. Aku juga berjuang untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi," jawab Warok Jangkrik.
"Ya, ya, Warok. Kamu betul, aku pun juga begitu. Tak ada yang sempurna. Kita hanya berusaha untuk menjadi lebih baik dari yang lalu. Nah, kedatanganku ke sini juga karena sesuatu. Kita punya tugas lagi, Warok. Ki Demang Bantar Mulya meminta kita mengawal keponakannya yang ingin pulang untuk menikah. Mereka akan membawa beberapa peti uang kecil dan perhiasan," jelas Ki Darmala. Warok Jangkrik mengerutkan keningnya heran.
"Hmm... apakah semua itu bantuan dari Ki Demang?" tanya Warok Jangkrik. Ki Darma pun menganggukkan kepalanya.
"Luar biasa Demang Chandra. Tak tanggung-tanggung membantu keponakannya," puji Warok Jangkrik.
"Ya... keponakannya itu sepertinya meminta bantuan pamannya, karena memang ia dari keluarga yang kekurangan," kata Ki Darma.
"Baiklah, Ki. Aku bersedia ikut. Kapan kita ke sana?" tanya Warok Jangkrik.
"Besok pagi kita sudah harus berada di Gedung Kademangan. Dari situ kita akan menuju Kademangan Jati Gandar, tepatnya di Desa Gujar," jawab Ki Darmala. Agak terkejut Warok Jangkrik setelah mengetahui jarak yang akan ditempuh.
"Hmm. Jarak yang sangat jauh, Ki. Ini di luar daerah yang biasa kita kawal. Aku pernah ke daerah itu dulu sekali. Kita akan menjumpai hal yang kita belum pahami. Kita harus benar bersiap untuk hal itu," ucap Warok Jangkrik.
"Kamu betul, Warok. Kita tak tahu apa yang akan kita hadapi. Tapi mudah-mudahan saja lancar. Kita tak usah berprasangka apa-apa dulu. Aku pun sebenarnya tak berminat dengan tugas ini. Tapi karena yang meminta Ki Demang, mau tak mau lah. Tapi jangan cemas dengan biaya. Demang Chandra sudah memastikan itu," jelas Ki Darmala.
"Baik, Ki. Aku akan tiba besok pagi sekali. Aku akan membawa serta lima Jangkrik. Apakah cukup?" tanya Warok Jangkrik.
"Ya, kukira cukuplah lima muridmu saja. Ingat, ini adalah sebuah perjalanan yang jauh. Kamu harus mempersiapkan murid-muridmu itu," kata Ki Darmala.
"Baik, Ki. Apa kamu akan pulang dahulu atau menginap di sini?"
"Aku pulang dahulu, Warok. Besok kita berjumpa di kademangan."
Maka, mereka pun mempersiapkan diri masing-masing untuk sebuah perjalanan yang panjang: pakaian ganti, senjata-senjata utama dan rahasia, serta bekal uang perjalanan. Sementara itu, Ki Darmala pun sampai di rumah dan juga mempersiapkan diri. Istrinya, Kinasih, sibuk. Sementara Senjaya masih saja bermain dengan kucing-kucingnya.
Sebenarnya, ia anak yang rajin dan patuh kepada orang tuanya. Tapi keengganannya berlatih beladiri membuat orang tuanya kecewa. Baginya, hal itu hanya akan membuat permusuhan dan menyakiti sesama manusia. Tidak ada hal baik dari beladiri, begitu menurutnya. Ada sedikit pujian atas Senjaya: karena ia giat dan rajin bekerja di sawah ladang, membuat tubuhnya kekar dan kuat. Walau tak bisa beladiri, tenaganya besar. Namun, sekembalinya di rumah, ia jarang keluar bermain dengan kawan-kawannya. Ia lebih suka bermain dengan kucingnya, sehingga ia pun kurang bermasyarakat.
"Hei Senjaya, tidurlah, Nak. Besok ayahmu akan pergi jauh. Butuh waktu enam hari pulang pergi. Andai saja kamu bisa beladiri, Ibu pun jadi tak cemas bila ditinggal ayahmu. Cobalah kamu berubah, Nak, demi ibumu ini," Kinasih mencoba menasihati anaknya yang tak bisa beladiri itu.
"Tapi, Bu. Selama ini kan kita baik-baik saja kalau ditinggal ayah bertugas?" jawab Senjaya.
"Kamu tak boleh bilang begitu. Walau kita menginginkan keadaan yang demikian, tapi kita harus tetap punya bekal buat menghadapi hal yang tidak kita inginkan," tegas Kinasih.
"Yah, bagaimana lagi, Bu. Ibu kan tahu aku tak cocok dengan kegiatan itu. Lagipula aku pernah melihat dua orang berkelahi dengan ilmunya, lalu seorang terbunuh. Dari situlah aku menganggap berlatih beladiri hanya akan menyakiti sesama," kilah Senjaya.
"Alasan itu lagi yang kamu pakai, Senjaya? Sekarang Ibu tanya. Bagaimana bila nyawaku yang terancam, atau malah nyawa kamu yang terancam, hah?" tanya Kinasih.
"Ya, tak tahu lah, Bu. Selama ini kita baik-baik saja kok. Mengapa kita harus memikirkan hal yang belum terjadi?" balas Senjaya.
"Ibu pun demikian, Senjaya. Ibu juga tak mau hal itu terjadi. Tapi bila memang terjadi bagaimana? Sementara kamu pun tak bisa melindungi dirimu sendiri. Kamu lihatlah kawanmu yang seumuran sudah pandai beladiri, karena mereka sadar kalau itu akan menjadi bekal mereka untuk menyelamatkan orang lain atau diri sendiri," jelas Kinasih.
Mendengar ribut-ribut itu dari ruang tamu, Ki Darmala pun menghampiri bilik anaknya lalu duduk di samping Senjaya.
"Senjaya, yang dikatakan Ibumu itu benar. Beladiri memang ilmu tentang kekerasan. Tapi kita bisa menggunakannya dengan baik. Memang ada yang menggunakannya dengan jalan yang sesat, dan banyak pula. Nah, tugas kita lah memperbaiki yang sesat itu. Tentu tak mungkin hanya dengan kata-kata. Menghadapi mereka yang berilmu tinggi, kita harus bisa melawannya, bukan untuk sewenang-wenang membunuh lawan, tapi untuk menyadarkannya dari jalan yang sesat," terang Ki Darmala.
"Tapi, Yah, bila mereka tak mau sadar juga bagaimana?" tanya Senjaya.
"Senjaya, manusia hanya bisa mengingatkan. Ayah pun bukan orang yang mulia. Ayah juga bukan orang yang sempurna. Terkadang dengan terpaksa sekali aku membunuh perampok karena mereka tak mau menyerah, hingga aku pun melawan hingga tetes darah penghabisan. Begitulah dunia ayah, dunia persilatan yang sesungguhnya. Kita sekarang hidup di zaman ini. Kita harus bisa membela diri kita dan juga membela kehormatan dan keselamatan orang lain. Bukankah itu termasuk juga pahala di sisi kita, Senjaya? Nah, kamu pikirkanlah apa yang aku dan ibu katakan. Semuanya demi kebaikanmu juga. Sekarang tidurlah. Sudah hampir tengah malam," nasihat Ki Darmala.
Kemudian, Senjaya pun menganggukkan kepalanya. "Baik, Yah." Ki Darmala dan Nyai Kinasih pun keluar bilik anaknya dengan sebuah pengharapan akan anaknya yang mau berubah. Sebenarnya, ia memikirkan hal itu di pembaringan. Nasihat orang tuanya mengiang-ngiang di kupingnya, hingga membuatnya sulit tidur. Senjaya berpikir keras, tapi hatinya pun masih meragukan dirinya sendiri.
"Apa aku bisa belajar beladiri? Apa aku harus berkelahi? Kenapa dunia ini seperti punya dua sisi bagai uang koin? Yang satu buruk dan yang satu baik?" Senjaya bergumam dalam hatinya seakan diombang-ambing oleh kenyataan itu.
Tapi akhirnya, ia pun tertidur pulas dan bermimpi. Dalam mimpinya, ia bertemu dengan seekor kelabang raksasa. Badannya bersisik-sisik besar berwarna hitam, sementara kepalanya berwarna merah dengan capit yang besar dan menyeramkan. Senjaya pun bergidik melihatnya. Ia pun lari terbirit-birit saking takutnya. Tapi apa lacur, kelabang itu berlari lebih cepat lagi dengan kaki-kakinya yang banyak. Senjaya pun meremang bulu kuduknya. Tak pernah ia melihat binatang sebesar itu. Macan yang pernah ia lihat di hutan ternyata masih jauh lebih kecil. Betapa takutnya ia dikala kelabang raksasa itu menyergap dan mencengkeram dirinya dengan kakinya yang banyak itu. Senjaya meronta-ronta, tapi tak ada yang mendengar. Nasib sudah. Ia berpikir mungkin ini akhir hidupnya, dimakan kelabang raksasa hidup-hidup.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 163 Episodes
Comments
Reogkhentir
Awal mula Sanjaya mau berlatih ilmu beladiri karena sebuah mimpi yang hampir merenggut nyaeanya
2024-06-18
3
Jimmy Avolution
terus
2024-06-18
3
Mpit
tobatlah para jangkrik 😔
2024-05-04
2