"Ki Demang ini sungguh berhati mulia," ujar Ki Darma. "Ia tak melupakan sanak saudara, dan tak tanggung-tanggung dalam membantu."
"Tapi Ki Demang, perjalanan ini akan sangat jauh, memakan waktu tiga hari tiga malam," balas Ki Darma. "Aku butuh waktu untuk membicarakannya dengan istriku. Apa Ki Demang tidak terburu-buru?"
"Oh, tidak, Ki Darma. Kami tidak terburu-buru," jawab Ki Demang. "Begini saja, bila kamu bersedia, kami tunggu dua hari lagi di rumahku. Kami sangat berharap kamu bersedia, karena aku tahu siapa Ki Darma ini. Hanya kamu yang kami harapkan. Soal biaya, kamu tidak usah khawatir."
"Hmm, baiklah, Ki Demang. Apa pengawal kademangan akan ikut?" tanya Ki Darma.
"Sepertinya tidak, Ki Darma. Para pengawal kademangan rata-rata sudah berumur sekarang, mereka tak kuat berjalan jauh. Sebaiknya Ki Darma memanggil kawan-kawanmu untuk ikut serta, dan lagi-lagi soal biaya, kamu tak perlu risau," jelas Ki Demang.
Ki Darma berpikir sejenak. Namun, karena Ki Demang Chandra memang sudah dekat dengannya dan sering meminta bantuannya, ia pun menyetujuinya.
"Yah, sepertinya aku tertarik, Ki Demang. Tunggulah dua hari lagi. Persiapkanlah semuanya sebelum aku datang. Aku pun butuh waktu untuk memanggil kawan-kawanku. Pagi sekali aku akan sampai di rumahmu," kata Ki Darma.
"Baiklah, Ki Darma, aku tunggu dua hari lagi. Kesediaanmu sangat kami harapkan," ujar Ki Demang. Kemudian Sura Gading melanjutkan, "Betul, Ki Darma, sedikit banyak aku juga tahu siapa dirimu ini. Akan lebih aman bagiku bila kamu mengawal sampai tujuan."
Perbincangan itu berlangsung cukup lama hingga menjelang siang. Setelah itu, Ki Demang pamit bersama keponakannya.
Ki Chandra adalah orang berada. Ia memiliki puluhan petak sawah dan rumah besar yang juga berfungsi sebagai gedung Kademangan Bantar Mulya, yang dipimpinnya. Padukuhan Induk Bantar Mulya terletak tidak jauh dari Desa Sendang Galuh.
Setelah makan siang di rumahnya, Kinasih bertanya tentang perbincangan itu.
"Kakang, apakah kamu akan pergi lagi, Kang? Bukankah tiga hari lalu kamu baru saja bertugas?" tanyanya.
"Sebenarnya aku pun tak ingin, Kinasih. Tapi kalau bukan Ki Demang Chandra, pasti sudah kutolak. Badanku masih belum segar betul," jawab Ki Darma. "Tapi tak apa, hitung-hitung untuk masa depan anak kita juga. Lagi pula, aku akan dibantu Warok Jangkrik."
Ya, Warok Jangkrik adalah kawan dekat Ki Darmala. Ia adalah seorang mantan perampok terkenal di Hutan Bedari, sebuah hutan lebat di sebelah selatan Desa Sendang Galuh. Kelompoknya bermarkas di sebuah bukit.
Suatu hari, ketika Ki Darmala mengawal seorang saudagar melewati jalan setapak di Hutan Bedari, ia dicegat oleh Warok Jangkrik. Terjadilah pertempuran seru, di mana Warok Jangkrik dan anak buahnya dapat dikalahkan oleh Ki Darmala dan pengawalnya. Di ujung napas terakhirnya, Ki Darmala sempat memaafkan Warok Jangkrik, hingga pedang yang sudah terbentang di lehernya dilepaskan. Karena kebaikan Ki Darmala, Warok Jangkrik berjanji akan mengubah jalan hidupnya, meninggalkan kehidupan kelam dunia perampokan. Ki Darmala pun menawarkan pekerjaan sebagai pengawal lepas kepadanya.
Maka, mulai hari itu, Warok Jangkrik memulai hidup barunya sebagai kawan setia Ki Darmala dalam dunia pengawalan. Mereka melanglang buana bersama. Yang tadinya merampok, kini ia melawan perampok. Markasnya di sebuah bukit diubah menjadi sebuah padepokan kecil dengan beberapa murid yang dulunya juga anak buahnya sewaktu menjadi kepala rampok.
Ki Demang pun tahu riwayat Warok Jangkrik itu. Di mana ada Ki Darmala bertugas, pasti ada Warok Jangkrik. Maka, Ki Demang dan masyarakat pun memakluminya.
Pria itu berdiri di depan murid-muridnya. Umurnya yang sudah 40 tahun mulai menyiratkan kerut di wajahnya. Kumis tebal melintang menambah kesan garang di wajahnya. Berpakaian hitam dengan golok di pinggang, ia membentak-bentak muridnya yang sedang diajari beladiri. Namun, bagi murid-muridnya yang juga mantan anak buahnya itu, mereka sudah hafal betul watak gurunya yang dulu juga memimpin komplotan rampok. Hingga bentakan itu bagai cambuk untuk lebih giat lagi belajar beladiri.
Maka, hutan yang sepi itu pun jadi hingar-bingar oleh bentakan Warok Jangkrik dan murid-muridnya.
"Satu... hiyaa! Dua... hiyaaa! Tiga... hiyaaaa! Empat... hiyaaa! Lii... dutt prett dut!" Warok Jangkrik terkejut mendengar suara alam yang 'beracun' itu. Sekejap matanya melotot. "Jangkrik! Kurang ajar, siapa itu?!" Murid-muridnya yang tak tahan dengan ekspresi wajah gurunya tersenyum-senyum sambil menutup mulut. Lalu salah satu murid yang di tengah berteriak, "Jangkrik 6, Ki! Bukan main harumnya, Ki! Mau pingsan rasanya!" Murid itu menunjuk-nunjuk teman di sampingnya. Temannya pucat pasi tatkala gurunya menghampiri. Namun, selagi mendekat, Warok Jangkrik menghentikan langkahnya. "Hoekkk... bukan main. Makan apa kamu, hah? Apa kamu baru makan bangkai curut, hah?! Hoekkk!" Murid-muridnya pun makin terpingkal-pingkal, kecuali yang pucat satu itu.
"Maaf, Ki. Pas tendangan tadi sudah kutahan. Tapi apa lacur, ia keluar juga. Tadi aku makan ubi jalar tiga biji, Ki. Bukan bangkai curut," jelas si murid. Warok Jangkrik pun makin melotot hingga Jangkrik 6 makin pucat. Begitulah Warok Jangkrik memanggil muridnya yang berjumlah 10 orang. Ia menyebut muridnya dari Jangkrik 1 hingga Jangkrik 10.
"Sekarepmu mau makan apa. Tapi lain kali kalau makan ubi jalar, sekalian sebakul!" bentak Warok Jangkrik.
"Lho, kok sebakul, Ki?" tanya si murid.
"Ya, biar kamu di jamban seharian dan tak usah ikut latihan. Sekarang kamu harus kena hukuman karena kamu membuatku hampir pingsan... hoekk!" Jangkrik 6 makin pucat.
"Maaf, Ki. Jangan berat-berat hukumannya..." mohon Jangkrik 6.
"Ohh, kamu mau tawar-menawar, hah? Baik... tenang saja, Jangkrik 6, hukumanmu sangat ringan," kata Warok Jangkrik. Jangkrik 6 pun tersenyum. "Terima kasih, Ki Warok memang guru yang baik sekali."
"Oh, tentu... Nah, kamu lihat lapangan kecil itu? Larilah mengelilinginya. Mudah, bukan?" Jangkrik 6 pun makin tersenyum melihat lapangan yang kecil itu. "Oh, mudah sekali, Guru, tapi berapa kali, Guru?"
"Tiga ratus kali. Hehehe." Jangkrik 6 terkejut dan kembali pucat mematung. "Heh, kenapa diam saja? Cepat sana lari! Atau mau kutambah?!" Tanpa tendeng aling karena takut ditambahi hukumannya, murid itu pun langsung lari terbirit-birit.
"Hehehe, murid yang patuh. Nah, buat yang lain, kalian harus paham. Dalam latihan beladiri itu kalian harus diselipin..." Murid-muridnya meralat, "Disiplin, Guru!"
"Ya, itu maksudku. Nah, karena arena ini sudah tercemar oleh racun jahat, kalian boleh membubarkan diri," kata Warok Jangkrik. Para Jangkrik pun bertebaran dan beristirahat. Kemudian Warok Jangkrik memanggil muridnya, "Jangkrik 1, kemari kamu!"
"Ya, Guru. Ada apa, Guru?"
"Kamu ambilkan kendi. Dan kamu bawa ke pinggir lapangan kecil itu. Kalau sebelum tiga ratus ia sudah kelelahan, hentikan saja dan beri ia minum," perintah Warok Jangkrik.
"Baik, Guru," jawab Jangkrik 1.
Sambil menyeka keringat di lehernya, Warok Jangkrik beristirahat di pendapa padepokan. Angin semilir di sore hari itu membuat tubuhnya segar. Sementara para muridnya kembali ke pekerjaan masing-masing. Ada yang ke ladang, mengairi petak-petak sawah yang ada di belakang padepokan, menebarkan pakan ikan di kolam. Adapula yang bekerja di dapur. Warok Jangkrik memang mengubah kebiasaan anak buahnya yang tadinya suka merampok, sekarang mereka harus mencari rezeki dengan jujur dan kerja keras. Mereka pun dengan rela mengerjakannya. Padahal sewaktu dirinya bertobat, ia membubarkan komplotannya itu. Tapi mereka tak mau dan tetap bertahan di markas.
Mereka tetap ingin berjuang bersama pemimpinnya itu. Walau dirinya suka membentak dan galak, tapi mereka tahu pemimpinnya itu selalu baik dan adil dalam pembagian hasil rampokan: sama rata. Tak pernah sekalipun Warok Jangkrik mencelakai perempuan atau anak kecil. Bahkan, bila keluarga anak buahnya ada yang sakit, ia akan menjenguk dan memberi bantuan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Author GG
😂😂
2024-11-14
3
Jimmy Avolution
lanjut
2024-06-18
3
Amelia
hahaha ubi jalar jd alasan, padahal emang perut aja eror 😀😀
2024-05-08
2