Bab 10

"Tidak, sekarang ada hal yang lebih mendesak." Alena mengusap perutnya yang sudah mulai terasa perih.

"Aku lapar," cicit lagi Alena membuat beberapa pengawal tersenyum seraya membawa Alena pada sebuah tempat yang cukup mewah, makanan nampak tersaji di atas sebuah batu marmer besar berwarna putih mengkilat.

Hawa di sekitarnya terasa sejuk, namun tak kala Alena meletakkan tangannya di atas marmer tersebut seketika tangannya terasa hangat yang nyaman. Alena kembali terkesima pada sebuah batu hiasan di tengah Marmer tersebut, batu itu berkilau dan sangat indah.

"Luar biasa, apa batu ini bercahaya?" Alena terus menatap sebuah batu di tengah marmer besar itu, batu itu nampak berkilau semakin indah.

"Benar Nyonya, coba anda pegang batu itu." Alena mengangguk dan menyentuh batu tersebut dengan hati-hati. Warna batu itu berubah menjadi jauh lebih terang dan cahaya hampir memenuhi seisi ruangan.

"Wah, anda memiliki hati yang sangat murni Nyonya. Sebenarnya, batu ini dapat mendeteksi seseorang yang licik dan memiliki maksud buruk." Tutur pengawal tersebut. Alena yang baru pertama melihat hal menakjubkan seperti itu hanya dapat terkesima dan tak dapat lagi berkata-kata.

"Silahkan nikmati makanan anda Nyonya." Beberapa pelayan nampak menjauh, begitupun pengawal yang semula bersama Alena.

.

.

"Tuan!" Seorang pengawal berteriak pada sosok pria tinggi yang berada di tengah arena pedang.

"Kenapa?" Pria itu mendekat seraya menyerahkan pedang di tangannya.

"Ny-nyonya, dia memiliki hati yang sangat tulus." Ucap pengawal itu, Mattias hanya mampu terkekeh seraya mengelap keringat di wajahnya.

"Bagaimana sekarang, apa kalian masih ragu pada Alena?" Tanya Mattias pada bawahannya, mereka menggelengkan kepala bersamaan.

"Itulah kenapa, aku yakin di masa depan akan ada cara untuk menghidupkan kembali wilayah Altair." Mattias melangkah masuk ke dalam sebuah kuil.

"Seandainya dewa memang ada, aku ingin berterima kasih atas segala kesempatan yang telah engkau berikan kepada ku. Aku berjanji akan menjalani hari dengan baik, dan melakukan tugas ku sebagai manusia." Mattias terdiam menatap sosok yang tengah berdo'a di depan patung Dewi keselamatan.

"Aku tahu aku bukan manusia yang suci, tapi berkati-lah kami dalam perjalanan ini. Beri kami keselamatan dan kebaikan yang melimpah." Alena masih menangkup kedua tangannya, sedangkan Mattias masih memperhatikan dari arah pintu.

"Itu saja ya, aku akan melindungi keluarga dan Altair mulai sekarang!" Alena mengepalkan tangannya dengan bersungguh-sungguh.

Blush!

Wajah Mattias seketika memerah mendengar pernyataan Alena, sungguh di luar dugaan Mattias sebelumnya. Meski dia belum tahu apa tujuan Alena yang sebenarnya, tapi dia sangat senang mendengar kesungguhan Alena saat ini.

"Eh, Tuan Duke?" Alena menyadari keberadaan Mattias dan langsung mendekati pria yang kini nampak gugup itu.

"Kau akan melindungi Altair, atau tanah Altair?" Tanya Mattias, keduanya jelas memiliki arti yang berbeda.

"Kenapa bertanya seperti itu? Itukan sama saja." Alena menggandeng tangan Mattias dan membawanya keluar kuil.

"Menurut mu itu sama?" Mattias nampak berpikir, Alena menganggukkan kepalanya tanpa ragu.

"Ah, baik bila menurut mu sama. Kita akan sampai besok pagi. Ayo kita kembali berangkat!" Mattias membawa Alena pada kereta kuda yang hendak mereka gunakan.

.

.

.

Sesuai dengan rencana yang ada, mereka sampai di wilayah Altair sekitar pagi buta. Tak ada yang menyambut mereka dengan bahagia, atau sekedar mengucapkan selamat datang.

Bukan karena tak ada yang ingin menyambut, namun tempat itu justru terkesan seperti kuburan yang tak berpenghuni. Di dalam kastil hanya nampak beberapa pekerja yang hilir mudik dan menunduk, tapi mereka tak mengucapkan sepatah katapun.

"Kenapa sangat sunyi?" Alena berbisik saat mereka sampai di dalam kastil, bahkan busikan itu sampai bergema karena saking sepinya.

"Warga di sini memilih pindah ke tempat yang lebih layak mereka huni, aku juga sama sekali tidak keberatan dengan itu." Mattias membawa Alena ke lantai dua kastil di mana tempat tinggal merek sekarang.

"Tadi, di sini ada banyak pekerja. Kenapa mereka tidak menyambut kita? Ah tidak, kenapa mereka tidak menyambut mu yang seorang Duke?" Alena menatap sekeliling kastil yang tertata rapi dan bersih.

"Aku tidak suka orang yang banyak bicara!" Alena tertegun.

"Ups!" Alena refleks menutup mulutnya saat Mattias mengatakan hal itu, Mattias tersenyum dan membawa Alena pada sebuah ruangan.

"Kamu menjadi satu pengecualian, meski kamu berbicara 24 jam sekalipun. Aku sama sekali tidak keberatan, yah itu juga bila kamu tidak lelah." Mattias kini merasa lebih terbuka pada Alena.

"Haha, bercanda? Ini tempat apa?" Alena melihat sebuah ruangan besar yang super mewah.

"Ini adalah tempat pesta teh di adakan, bukankah para Nona dan Lady di ibu kota sangat menyukai pesta semacam itu?" Mattias kembali menutup ruangan itu, dan membawa Alena pada ruangan lain.

"Ini kamar mu," Mattias memperlihatkan sebuah kamar mewah yang di hiasi dengan aksesoris serba merah muda.

"Astaga, siapa yang memberi ide konyol ini pada mu Tuan Duke?" Alena menggelengkan kepalanya merasa enek melihatnya.

"Apa tidak suka?" Mattias menatap sekeliling kamar itu, dia sudah mencari informasi ini sampai harus mengintrogasi Elektra.

"Lebih dari itu, oh ya tadi bilang apa?" Alena mengingat ucapan Mattias saat memperkenalkan ruangan ini.

"Apa?" Mattias nampak kebingungan dengan pertanyaan Alena.

"Ini kamar siapa?" Tanya lagi Alena dengan mata yang sedikit menyipit.

"Ini kamar untuk mu." Ucap lagi Mattias meluruskan ucapannya, sekaligus menjawab pertanyaan Alena.

"Bukan kamar kita?"

Blush!

Mendengar itu wajah Mattias seketika memerah, hidungnya bahkan terlihat seperti tomat matang yang siap di petik.

"Ya ampun gemasnya!" Alena mencubit hidung Mattias saking gemasnya, Mattias terkesiap dan menutup kedua pipinya seraya memalingkan wajah.

"Aku tidak mau tidur sendirian, aku akan tidur di kamar kita!" Dengan tegas Alena kembali menolak, Mattias tertegun dan akhirnya mengalah. Dia melangkahkan kakinya menuju lantai satu dan melangkah kembali ke bagian belakang Kastil.

"Ini kamar ku." Mattias membuka sebuah pintu kayu yang terikat besi, Alena tertegun tak kala melihat isi ruangan itu.

Jelas sekali dalam ruangan itu tak terlihat seperti kamar, justru lebih terlihat seperti gudang senjata. Alena menatap ranjang kecil yang terletak tak jauh dari dirinya.

"Ini kamar kita sekarang." Alena tersenyum tulus seraya duduk di tepi ranjang, Mattias tertegun. Lidahnya seolah kelu tak dapat mengutarakan satu patah katapun.

"Kemarilah!" Alena menepuk-nepuk ranjang besi itu, Mattias menurut. Wajahnya juga sudah tak dapat terkendali lagi.

'Astaga, apa ini benar Monster yang di bicarakan banyak orang? Imut sekali.' Gumam Alena dalam hati, Alena menyentuh tangan Mattias hingga membuat sang empu langsung melotot merasakan tangan lembut itu menyentuh tangannya.

Terpopuler

Comments

Ani

Ani

monsternya berubah jadi kelinci imut /Smile//Smile//Smile//Smile/

2024-02-17

3

!M@m@#

!M@m@#

ahhhh author suka banget sama jalan ceritanya /Drool//Drool/

2024-02-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!