Akhirnya Jihan siuman setelah seharian hanya tertidur cukup lama. Dia meraba perban yang membalut kepalanya, mungkin dia merasa aneh karena ada benda asing menempel di sana.
"Nak, akhirnya kamu sadar. Ibu cemas dari tadi, mengkhawatirkan keadaan kamu."
Jihan tersenyum lirih melihat wajah Ibunya.
"Maafin Jihan Bu, Jihan oleng dan pas tikungan itu Jihan tidak bisa mengendalikan motornya akhirnya nabrak pohon di pinggir jalan dan aku mungkin terlempar. Saat itulah Jihan pingsan dan tak ingat apa-apa lagi."
"Syukurlah, kamu akhirnya bangun Nak. Tadi teman-teman kamu juga sempat datang bahkan nungguin kamu, cuma mereka harus pulang dulu, katanya besok datang lagi."
"Kepala Jihan rasanya berat banget Bu, juga agak nyeri. Barangkali karena efek obat atau apa. Apa kata dokter Bu, Jihan tidak mengalami luka cukup serius kan?"
"Alhamdulillah, kata dokter aman. Kamu hanya butuh istirahat yang cukup."
"Oh iya Bu, motor Jihan siapa yang urus?"
"Ada teman kamu, baik, ganteng lagi."
"Siapa Bu?"
"Ada pokoknya, Ibu lupa tanyain nama, padahal tadi Ibu ngobrol cukup lama. Kok bisa lupa tanya namanya ya. Trus ada satu lagi teman kuliah kamu, kalau ndak salah namanya Viona, dia yang ngasih tahu Ibu, datang ke rumah ngabarin kalau kamu kecelakaan. Ibu panik bukan main, bahkan tak henti-hentinya Ibu membaca ayat-ayat Al-Quran agar kamu tidak kenapa-kenapa."
"Trimakasih ya Bu, maaf sudah membuat Ibu khawatir."
"Ya sudah kamu makan dulu, kamu pasti sudah lapar."
Jihan mengangguk mengiyakan ucapan Ibunya, dengan segera makanan di sendok telah berpindah ke mulutnya. Ibunya akhirnya bisa bernafas lega setelah bisa berbicara lagi dengan anaknya.
Namun Jihan penasaran siapa yang telah menolongnya. Bahkan membawanya ke rumah sakit dan mengurus motornya yang tergeletak pasrah di jalan. Seingat dia, tak ada satu orang pun teman laki-lakinya yang akrab dengannya. Ciri-ciri yang disebutkan Ibunya juga tak membantunya sama sekali. Dia tak tahu orang itu siapa.
Tiba-tiba saja dia teringat dengan Rio. Sebelumnya dia bertemu Rio di makam Andrea dan karena Rio juga akhirnya dia jadi tidak fokus memperhatikan jalan kemudian terjatuh di sana.
"Jihan, ada apa? Kamu melamun, apa yang sedang kamu pikirkan sayang?" Tanya ibunya bingung setelah melihat Jihan terdiam cukup lama dan berhenti mengunyah makanannya.
"Ah Ibu maaf. Jihan hanya kepikiran tentang orang yang sudah menolong Jihan. Ingin mengatakan terimakasih karena telah menyelamatkan nyawa Jihan."
"Dia akan ke sini nanti setelah urusan motor kamu selesai. Mungkin besok pagi dia kembali ke sini."
"Baiklah Bu."
.
.
.
Jihan kembali melamun dan itu berlangsung cukup lama, Ibunya tentu bertanya apa yang sedang dipikirkan anaknya itu. Sampai sampai dia bengong dan kelihatan sedih, seperti sedang mengingat sesuatu yang membuat hatinya sedih. Namun ibunya tak berani lagi untuk menegur, mungkin ada sesuatu yang dipikirkan Jihan dan belum saatnya untuk dia ceritakan. Begitulah pikir Ibunya.
"Bu..."
Jihan memanggil Ibunya yang sedang merapikan pakaian di kursi tunggu.
"Ya, ada apa? Apa ada yang kamu butuhkan?"
"Ah tidak Bu, itu anu--"
"Apa sayang, ayo katakan saja."
"Sebenarnya ada hal yang ingin Jihan ceritakan. Sesuatu yang membuat Jihan akhirnya hilang fokus dan celaka tadi."
"Apa itu?" Tanya ibunya semakin penasaran. Karena tidak biasanya Jihan seperti itu. Kecuali ada hal-hal yang membuat dia ketakutan atau sesuatu yang membuatnya sedih.
"Rio Bu--" Jawabnya terputus, ekspresinya seketika membeku di depan Ibunya.
Ibunya yang mendengar nama itu disebut cukup terperangah. Jadi anak itu lagi? Mengapa dia harus muncul lagi?
"Apa dia mengganggumu? Dia menyakitimu?"
Ibunya meraba seluruh tubuh Jihan untuk mencari tahu di bagian mana pria itu menyakiti anaknya.
"Tadi aku ketemu dia di makam Andrea. Ternyata yang selama ini bawa bunga ke makam Andrea itu adalah dia. Tapi kenapa dia harus kembali Bu?" Tangis Jihan pecah di pelukan Ibunya.
"Aku tidak mau ketemu dia lagi Bu, aku benci laki-laki itu. Kenapa bukan dia saja yang mati, kenapa harus Andrea Bu. Kenapa??" Jihan terus menangis bahkan kini tengah terisak karena harus bertemu lagi dengan orang yang sudah menyakitinya cukup dalam.
"Sayang tenanglah! Kamu jangan begini, Ibu jadi khawatir akan kondisi kamu. Istirahatlah, aku tahu kamu sangat membenci dia, tapi kamu tidak boleh seperti ini." Jawab Ibunya berusaha menenangkan putrinya itu.
"Bu, ayo kita pergi dari sini Bu! Jihan tidak ingin bertemu Rio Bu, Jihan benci Rio."
Karena lelah menangis, Jihan tertidur dalam pelukan Ibunya. Rupanya rasa trauma itu masih menghantui putrinya, Ibunya mengira bahwa dia telah sembuh namun diam-diam putrinya masih mengingat kejadian waktu itu. Bertahun tahun yang lalu.
Masa lalu telah memenjarakan ingatan Jihan. Itu sebabnya Terkadang rasa trauma masih kerap timbul dan membuat siapa saja yang mengalaminya akan merasakan frustrasi luar biasa. Kuatkan hatimu Jihan...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™
mak ji adli mkassarki??(
2021-02-11
0
Mita Sumita
segitu dlmnya trauma jihan kpda rio
2020-08-05
0
𝔸𝕣𝕒𝕓𝕖𝕝𝕒
terus
2020-06-28
0