Jihan berangkat ke kampus jam 8 pagi. Ada kuliah jam 9 nanti, karena ia selalu datang sebelum kelas di mulai. Baru saja Jihan memarkir kendaraannya, butiran hujan yang besar-besar telah menyambutnya pagi itu. Jihan berusaha melindungi kepalanya dengan tangan dan berlari ke arah halte kampus untuk berteduh.
Suatu kebetulan, di halte itu ada Dama. Dengan perasaan ragu, Dama memutuskan menyapa Jihan. Terlihat kemeja Jihan sedikit basah, rambutnya yang hitam panjang juga nampak klimis kena air hujan.
"Jihan ya?" Tanya Dama basa basi.
"Iyah. Siapa ya?" Jihan kembali bertanya karena ia asing dengan pria di depannya apalagi hanya berdua seperti itu.
"Dama. Satu tingkat di atas kamu."
"Oh...."
Jawaban singkat Jihan membuat suasana semakin kaku. Dama seolah kehabisa bahan untuk dibicarakan, sementara Jihan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suasana kampus masih sepi. Dama terpaku di tempatnya. Sesekali ia memandangi Jihan tanpa sepengetahuan orangnya. Ia melihat Jihan begitu dingin, begitu pendiam dan terlebih lagi begitu menjaga jarak dengannya.
Hujan tak ada tanda-tanda untuk berhenti. Jihan nekat menerobos hujan lebat itu dan berlari mendapati koridor kelasnya yang terletak sekitar 50 meter dari parkiran. Tanpa kata, tanpa menghiraukan ada Dama di sana.
Cewek ini begitu sulit. Membuatku semakin penasaran untuk mengenalnya. Aku tertarik pada matanya, matanya yang seperti tertutup tabir. Sesungguhnya mata itu indah, tapi entah kenapa di balik keindahan itu, bagiku seperti terlukis kesedihan yang begitu mendalam. Siapa kamu sebenarnya Jihan. Mengapa kamu begitu berbeda dengan perempuan mana pun yang kukenal. Kau bahkan tak melihatku, padahal aku ada di sana, di sampingmu.
Dama membathin di tempatnya. Baru kali ini ia merasa benar-benar dikacangi. Jika semua perempuan yang ia dekati bisa ia taklukkan dengan sempurna, berbeda dengan Jihan. Ia begitu menutup diri dan menghindar kontak mata apalagi kontak fisik. Jangankan ada kontak fisik, Jihan melihat ke arah Dama saja bagi Dama itu sebuah kemajuan. Tapi bukan Dama namanya jika ia menyerah.
***
"Vio... Jihan itu memang sedingin es ya?" tanya Dama pada Vio.
"Bukan sedingin es lagi, tapi beku seperti di antartika sana. Di kelas aja nih ya, ia ngomong panjang saja kita semua sekelas sudah takjub banget. Secara ia memang jarang bicara yang panjang, apalagi ngobrol santai kayak mahasiswa kebanyakan. Tapi anak itu terbilang cerdas sih, semua mata kuliah yang ia ikuti tidak ada nilai B semuanya A. Kamu segitu penasarannya ya sama dia?" tanya Vio sejurus kemudian.
"Aku juga nggak tahu, tapi baru kali ini aku hadapin cewek yang benar-benar membuat aku mati kutu karena kehabisan topik pembicaraan. Tadi pagi aja nih, aku sama dia terjebak hujan dan akhirnya berteduh di halte, aku nanya tapi dijawab irit banget. Aku jadi salah tingkah sendiri dibuatnya. Kamu beneran gak tahu Jihan kenapa gitu, sampai sedingin itu. Sialan... Kok aku jadi sepenasaran ini sih!" umpatnya.
"Nantilah coba aku cari tahu, tapi aku gak janji ya. Makanya cari tahu sendiri sana kalau penasaran. Oh iyah satu lagi, Jihan memang sangat menahan diri terhadap laki-laki. Di kelas, ia selalu menghindar jika harus duduk dan kursinya berdekatan dengan laki-laki, sebisa mungkin ia akan Mengangkat kursinya dan pergi dari sana."
"Apa mungkin ia ada trauma ya? Tapi karena apa? Akhh pusing aku mikirinya." Ucap Dama sembari menggosok rambutnya seperti orang putus asa.
*
*
*
"Jihan, aku anter pulang ya?" seru Rio.
"Emang harus ya? Aku sudah terbiasa pulang sendiri." jawabnya.
"Makanya sekarang harus terbiasa pulang sama aku."
Jihan tersenyum, Rio memang tipe orang yang tak bisa ditolak. Jihan mengangguk dan bersedia diantar pulang.
"Jihan tidak apa-apa naik motor begini? Kan panas, kulit kamu bisa terbakar loh."
Jihan yang berada di belakang punggung Rio hanya tersenyum. Dalam hatinya justru inilah yang sangat diinginkan. Naik motor berdua, menikmati semilir angin dan sesekali memeluk Rio dari belakang jika sewaktu-waktu motornya melaju cepat.
"Kenapa diam? Kamu masih di sana kan?" goda Rio.
"Masih. Memangnya aku mau ke mana, diterbangin angin? Makanya bawa motornya jangan kebut-kebut."
"Kalau takut kamu pegangan dong."
Mendengar itu Pipi Jihan. bersemu merah. Ia menepuk pundak Rio karena merasa malu.
Sejak hari itu, Jihan merasa hari-harinya begitu indah. Rio setiap hari mengantar jemput dirinya. Teman-teman di sekolahnya pun ramai membicarakan tentang hubungan mereka. Jihan hanya tersenyum jika ada yang bertanya lebih jauh padanya.
"Kalian sudah jadian?"
"Wah sejak kapan?"
" Kok aku ga tau?"
Sejumlah pertanyaan mampir ke telinganya. Jihan merasa malu karena tidak tahu harus jawab apa. Memang benar, Rio rajin mengantar jemput Jihan tiap hari, bahkan sering makan bersama di kantin, tapi apa itu semua cukup menjadi bukti kalau mereka pacaran?
Jihan tidak peduli dengan statusnya bersama Rio. Pacar atau bukan apa bedanya. Mereka sering jalan bareng, tertawa bareng, bahkan Rio seringkali memberinya kado kecil yang membuat Jihan merasa begitu spesial.
Sayangnya, Jihan begitu polos, Jihan tidak pernah tahu apa yang sedang direncanakan Rio di belakangnya.
*
*
*
Note: Tulisan miring di atas sebagai penanda cerita sedang flashback ya. Mohon masukannya bagaimana seahrusnya cerita ini dituliskan. Trimakasih. Selamat membaca. Jangan lupa baca cerita ku yang lain judulnya "Complicated Love"
l
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Alby Upy
pa jangan2 Rio taruhan y sama temsn2nys
2020-09-17
0
Mita Sumita
jgn2 rio
2020-08-05
0
Ika Aprianti SSC🌹
ok...mulai agak suka
2020-08-04
0