Cerita Fajar di Mansion Leonard

Entah sudah berapa lama Shayna tertidur. Ia tidur dalam posisi miring, namun ia merasakan kalau ada sesuatu di belakang punggungnya. Ada hembusan nafas yang menghangatkan puncak kepalanya, dan ada sepasang kaki yang melilit kakinya yang ramping.

Oh Tuhan! Apa ini?

Shayna mencoba bergerak namun badannya serasa tertindih sesuatu. Ia baru menyadari bahwa bantalnya adalah sebuah lengan yang berotot. Ia mengeluarkan seluruh tenaganya, hingga akhirnya tubuhnya berhasil terlepas dari seorang lelaki yang memeluknya dari belakang.

Oh Tuhan! Apa yang sudah terjadi semalam?

Ia memeriksa tubuhnya. Beruntung piyamanya masih utuh dan melekat di badannya. Ia masih ingat jika semalam ia dibawa ke mansion Leonard walau bagaimanapun ia memberontak.

Pria tersebut selalu punya alasan licik untuk memenuhi keinginannya yang egois. Lalu entah bagaimana pria tersebut memiliki stok piyama perempuan di mansionnya dan selalu pas di badannya.

Apa karena Leonard selalu membawa wanita ke mansionnya? Bisa jadi, karena ketika ditanya, ia hanya tinggal seorang diri di rumahnya yang sangat besar itu. Keluarganya? Entahlah, Shayna belum tertarik untuk bertanya.

Selama beberapa saat Shayna penuh dengan pikirannya sendiri.

Saat ini Shayna berhasil lepas dari kuasa Leonard. Tubuh Leonard menggeliat sesaat, lalu tertidur lagi. Sejenak Shayna merasa terhipnotis betapa polosnya seorang Leonard saat tertidur seperti ini.

Lalu sejak kapan tepatnya Leonard berpindah ke kasurnya? Bukankah semalam ia telah mengunci pintu kamarnya? Oh sial!

Lebih baik Shayna beranjak dari tempatnya dan mengganti piyamanya dengan segera. Tunggu dulu, dimana bajunya yang semalam basah? Ia melihat jam di atas nakas kamar itu.

Oh tidak, ini terlalu pagi untuk membuat keributan kepada maid di bawah sana hanya untuk menanyakan dimana mereka menyimpan bajunya.

Shayna mengubah rencananya. Ia memilih berjalan mendekati pintu yang menghubungkannya dengan balkon di kamar tersebut. Angin segar langsung terasa begitu ia membuka pintu tersebut.

Shayna masih menatap pemandangan kota New York dari balik balkonnya. Hari sudah mulai beranjak pagi, ia masih takjub dengan apa yang ia lihat saat ini. Sinar matahari pagi memang selalu membuatnya hangat. Ia baru pernah merasakan sensasi yang luar biasa hanya dengan memandang dari balkon kamar milik si brengsek Leonard.

Sejak kecil, Shayna menyukai mentari. Tepatnya kapan, Shayna sendiri lupa. Karena sebagian ingatannya tercecer. Dia hanya tahu jika saat menatap mentari yang baru muncul dari peraduannya selalu mengingatkannya pada sosok mendiang ibunya. Ayahnya selalu bercerita dengan sangat antusias bahwa mendiang Ibunya adalah sosok yang hangat seperti mentari pagi.

Sejak hari itulah, memori Shayna terhipnotis untuk selalu menunggu mentari terbit, karena dengan cara inilah ia dapat melepas rindu yang amat dalam pada mendiang ibunya. Kadang ketika menikmati moment tersebut, Shayna berharap ingatannya segera pulih secara utuh agar ia benar- benar dapat mengingat semuanya, tentang dirinya, ayahnya, kakak lelakinya, mendiang ibunya dan segala hal, termasuk mimpi buruk yang selama ini mengusiknya.

Tanpa sadar air mata sudah berada di pelupuk matanya. Begitulah, serapuh itulah sebenarnya hati Shayna, karena hanya mengingat kedua orangtuanya ia dapat menangis tanpa sebab.

Apalagi dalam kondisi dimana jarak memisahkan, dan Shayna hanya seorang diri di kota besar yang asing ini. Ia menghapus air matanya dan tersenyum menatap mentari.

"Apa kau selalu bangun sepagi ini?" Suara berat dan rendah itu membuyarkan ketenangannya.

Shayna menoleh dan melihat wajah Leonard yang baru bangun tidur. Rambutnya berantakan, dan ia tengah menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.

Penampilan seperti itu seharusnya bukan hal keren untuk ukuran seorang pria, namun mengapa Shayna berdebar?

Leonard memperpendek jarak di antara keduanya. Setiap langkah yang ia lalui membuat Shayna merasa sesak nafas secara tiba-tiba. Ia membalikkan tubuhnya dan berusaha menghindari tatapan Leonard.

Jantungnya terus berdegup kencang tanpa bisa ia kendalikan. Sial sekali. Apa yang telah terjadi padanya?

"Kenapa kau bangun di pagi buta seperti ini hem?"

Kini jarak Leonard begitu dekat dengan Shayna, sangat dekat. Bahkan pria tersebut mengalungkan kedua tangannya di pinggang Shayna dan memeluknya dari belakang.

Hembusan nafas Leonard terasa nyata tepat di sisi telinga kanan Shayna dan membuatnya meremang. Perlahan, ia mulai mendaratkan dagunya di atas bahu kanan Shayna disana.

"Kupikir aku sudah memelukmu dengan erat, agar kita bisa tidur sepanjang hari."

Pria itu tersenyum dan mengecup leher Shayna. Rupanya mengerjai Shayna menjadi hobi baru untuk Leonard.

"Argh, hentikan itu!" pekik Shayna dan membuat pelukan itu terlepas. Ia kini berbalik dan memandang Leonard dengan kesal.

Sejujurnya ia merasa malu. Ia yakin saat ini wajahnya telah bersemu merah karena darahnya mendidih secara tiba-tiba.

"Hei, wajahmu memerah."

Leonard menunjuk pada pipi Shayna dengan tepat hingga menyentuh kulitnya yang putih tanpa cacat.

"Ap-apa katamu? Tidak mungkin. Bagaimana mungkin wajahku memerah."

Shayna mengelak sembari menutup kedua pipinya. Sosoknya kala itu membuat Leonard kembali terhipnotis ketika sinar mentari menyiramnya dengan cantik.

"Kau sungguh lucu."

"Sejak kapan kau masuk ke kamar? Aku sudah menguncinya dan kenapa kau memelukku seperti itu?!"

Shayna berusaha mengubah topik pembicaraan. Dan walau Shayna memarahinya dengan nada tinggi, Leonard amat menikmati setiap perubahan ekspresi wanita itu. Baginya itu suatu kepuasan tersendiri melihat aksi Shayna yang menurutnya sangat menggemaskan dan lucu.

"Aku pemilik mansion ini, apa harus kujawab bagaimana aku bisa masuk?"

Shayna tidak puas dengan jawaban itu, ia hanya mengernyitkan kedua alisnya.

"Baiklah, aku memelukmu karena aku tidak bisa tidur. Aku punya masalah dengan tidurku, tapi semalam aku merasa kualitas tidurku jauh lebih baik dari sebelumnya."

Leonard sengaja memberikan jeda pada kalimatnya, ingin melihat bagaimana reaksi Shayna ketika ia menceritakan sisi sensitif dari dirinya.

Sementara itu, Shayna hanya terdiam. Ia juga merasakan hal yang sama. Ia merasa kualitas tidurnya semalam jauh lebih baik, mimpi itu tidak datang mengusiknya.

"Kenapa kau diam? Apa kau merasakan hal yang sama?" Leonard menangkup kedua pipi Shayna dan menuntunnya agar menatapnya lurus.

"Aku bisa mendekapmu setiap malam kalau kau mau. Mengurungmu di mansionku dan kita melewati malam-malam berdua sampai pagi. Bagaimana, deal?"

Leonard merendahkan pandangannya hingga kedua matanya sejajar dengan pemilik manik mata hitam di depannya.

Leonard sebenarnya bukan orang yang terlalu peka terhadap wanita. Ia tidak pernah memperlakukan mereka dengan istimewa. Ia mengencani mereka jika ingin dan tanpa ketertarikan, lalu meninggalkan mereka tanpa komitmen apapun.

Namun hal yang tidak ia sadari ketika bersama Shayna, ia bahkan sudah tidak berpikir lagi untuk mengambil hutang dari wanita itu. Keegoisannya melebur seketika. Seperti malam tadi. Jika ia tidak menahannya, ia sudah menyerang Shayna kapanpun ia mau. Namun, mendekap wanita tersebut ternyata jauh lebih nyaman daripada sekedar menuruti keegoisannya. Sekilas ia seperti bukan Leonard saja.

"Mengurung?" gumam Shayna tanpa ia sadari.

Lalu detik selanjutnya ia tertawa,

"Kau pikir aku hewan peliharaanmu? Dengar Tuan Leonard, aku bukan wanita yang bisa seenaknya kau atur. Dan sebaiknya kau mencari wanita untuk kau nikahi, sehingga tidak perlu lagi menggangguku."

Ada kalimat Shayna yang membuat Leonard merasa tertarik.

Menikah? Tanpa sadar, Leonard menyunggingkan senyumnya; menelaah lebih jauh tentang arti menikah yang dikatakan oleh wanita liar tadi.

"Untuk apa menikah jika tanpa menikahpun kita bisa melakukannya sekarang?" Leonard meletakkan kedua lengannya di atas bahu Shayna dan tersenyum jahil.

Ia benar-benar merasa aneh dengan dirinya karena sangat ingin sekali menggoda wanita di depannya itu. Ekspresinya sungguh lucu dan menggemaskan!

"Melakukan apa heh? Dasar mesum!"

Refleks, Shayna menghentakkan kakinya di atas kaki Leonard hingga pria tersebut mengerang kesakitan.

Dia menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Sekali lagi, paginya rusak karena pria ini.

"Dengar, sepertinya orang sepertimu tidak tahu arti pernikahan yang sesungguhnya."

Shayna nyaris menepuk jidatnya sendiri, menangkap kebodohan yang dimiliki oleh Leonard tentang sebuah arti pernikahan.

"Menikah dengan free seks itu jelas dua arti yang berbeda. Menikah bukan hanya tentang seks, Tuan Leonard yang terhormat. Namun lebih dari itu. Hmm, maksudku, jika kau menikah dengan seseorang yang benar-benar kau cintai, maka kau harus setia pada pasanganmu sampai maut memisahkan. Yang kutahu pernikahan itu suci, karena keduanya telah berjanji dihadapan Tuhan untuk saling menjaga satu sama lain."

Percayalah, Shayna menjelaskan dengan penuh hati-hati dan membayangkan jika suatu saat ia akan benar-benar menikah dengan seseorang yang ia cintai dan mencintainya.

Namun disisi lain, ada seseorang yang menertawai semua itu. Dia adalah Leonard. Pria yang tertawa terbahak atas penjelasan klise yang dijabarkan oleh Shayna. Sungguh polos wanita ini.

"Hei, aku sedang tidak melawak tahu!"

"Okay, Shay. Aku akan diam."

Leonard mencoba mengontrol tawanya. Walau itu agak sulit. Bagaimanapun penjelasan tadi masih teringang di benaknya dan kembali memicunya tertawa.

Sesungguhnya itu adalah moment pertama kali melihat Leonard tertawa. Shayna baru sadar jika selama ini ia tidak pernah melihat pria itu tertawa.

Leonard lebih sering menampilkan wajah arogan, keegoisan dan penuh intimidasi. Sayangnya alasan Leonard tertawa seperti itu karena menertawai dirinya. Itu lebih membuat Shayna jengkel dan marah dibandingkan harus mengagumi ketampanan Leonard yang meningkat karena pria itu tertawa.

"Lalu bagaimana dengan orang yang bercerai? Apa gunanya pernikahan?"

Kejengkelan Shayna mereda ketika mendengar pertanyaan tersebut. Apakah pria ini mulai tertarik dengan apa yang baru saja ia jabarkan?

"Kenapa kau bertanya begitu? Aku belum pernah menikah, tapi masalah dalam pernikahan pasti lebih kompleks, lebih dari yang kita kira. Kita tidak bisa menjudge dari luar tentang apa yang terjadi pada seseorang, sampai mereka memutuskan selingkuh atau bahkan bercerai. Sebenarnya perceraian bukankah solusi terbaik dari menyelesaikan suatu masalah, namun kita juga tidak bisa memaksakan salah satu pihak untuk bertahan sementara ia tidak bahagia dengan pernikahannya, bukan?"

"Namun banyak juga yang akhirnya dapat melalui semua itu dan berhasil menjaga pernikahan mereka hingga akhir tanpa harus bercerai kan? Lalu kenapa kita tidak mencontoh yang berhasil?"

Sesaat Leonard bergeming. Tiba-tiba ia teringat akan kedua orangtuanya yang tidak mampu menjaga pernikahan mereka hingga akhir. Itu adalah titik dimana ia merasa hancur melihat keduanya berpisah dan menyisakan trauma yang mendalam untuknya berhubungan lebih jauh dengan seorang wanita hingga saat ini.

"Bagaimana denganmu? Apa kau ingin menikah?"

“Waah, apa sekarang topik pernikahan membuatmu tertarik?"

"Jawab pertanyaanku."

Shayna menjawabnya dengan tersenyum.

"Tentu saja. Bahkan aku sudah memimpikan akan menikah dengan orang yang kucintai dan mencintaiku suatu hari ini."

Shayna melanjutkan kembali kalimatnya,

"Kenapa? Pertanyaanmu sangat konyol. Mana ada orang yang tidak ingin menikah?"

Leonard masih terdiam. Itu membuat Shayna merasa tidak nyaman.

"Sudahlah, aku mau pulang. Aku bisa gila lama-lama disini."

Shayna beranjak meninggalkan Leonard. Namun pria tersebut menarik lengan Shayna dengan begitu kuat, hingga wanita itu berada tepat di pembatas balkon, sementara kedua lengan Leonard mengurungnya di kedua sisinya.

"Siapa. Siapa pria yang kau cintai dan mencintaimu? Siapa pria yang ingin kau nikahi? Siapa!?"

"Ada apa denganmu, apa aku mengatakan hal yang salah sampai kau marah begini?"

"Kenapa kau berpikir akan menikah dengan orang lain, sementara kau ini milikku!?"

"Aku bukan milikmu."

"Ya, kau milikku!" desis Leonard seraya mencengkeram kedua rahang Shayna, sementara wanita tersebut hanya menatapnya dalam diam. Ia pikir semalam ia mengigau atau mengkhayal, rupanya Leonard benar-benar mengklaim dirinya adalah miliknya.

"Bagaimana kau mengklaim aku milikmu, sementara aku hanya ingin menikah sekali dalam hidupku. Menikah denganmu seperti menggantungkan nasib di atas tali, aku tidak akan tahu kapan akan terjatuh dan pernikahan itu hancur."

Kalimat terakhir dari penjelasan Shayna cukup membuatnya teringang akan pernikahan yang dijalani oleh kedua orangtuanya. Bahkan dua orang yang saling mencintai bisa saja berpisah dan berakhir dengan perceraian.

Sementara dengan statusnya sebagai seorang mafia, ia yakin pasangan yang akan mendampinginya menjalani kehidupan yang tidak biasa.

Jadi untuk apa menikah? Rasanya baru kemarin Leonard menganut paham anti-pernikahan selama bertahun-tahun. Lalu kenapa sekarang hatinya bertanya dan dibingungkan dengan kata pernikahan?

Leonard melepaskan kuasanya dari rahang Shayna. Melihat raut wajah Leonard yang tiba-tiba saja berubah, membuat Shayna penasaran.

Shayna mengangkat kedua alisnya, mencari sebuah jawaban dari perubahan Leonard.

"Kenapa diam? Apa argumenku benar?"

Leonard hanya menatap Shayna dalam diam dan kembali datar. Namun tatapannya yang tajam seolah mampu menembus relung hati Shayna dan membuat detak jantungnya kacau seketika. Ia merasakan kakinya mulai lemas serasa tak bertulang.

“Yah, kau benar." Leonard bersuara lirih. Lalu suaranya mengintimidasi lagi.

"Lalu apa kau berpikir akan menikah dengan si pria berlesung pipi itu?"

"Pria berlesung pipi?"

Ah, seketika Shayna teringat pada Daniel. Oh astaga, bagaimana si pria brengsek ini berpikir demikian?

"Daniel?"

Oh, baiklah kali ini Shayna sukses membuat wajah Leonard begitu sangat dekat sekarang. Shayna ragu apakah ia masih mampu berdiri dengan kedua kakinya yang sudah melemas. Detak jantungnya semakin kencang. Rupanya kehadiran Leonard sanggup mengacaukan benteng pertahanan dirinya.

"Kau berani menyebut namanya di depanku hem?"

Sungguh, ekspresi Leonard yang marah sangat lucu. Moment itulah yang tidak ingin Shayna lewatkan begitu saja. Tiba-tiba ia sangat ingin menggodanya.

"Tentu saja. Kenapa? Daniel, Daniel, Daniel. Apa kau merasa terganggu? Aku bahkan bisa mengucapnya lebih banyak la--"

Kalimat Shayna terputus bersamaan dengan Leonard menutup mulutnya dengan bibirnya. Untuk kesekian kalinya, pria tersebut mencium Shayna dengan tiba-tiba dan begitu memaksa.

Tidak lama, Shayna berhasil melepaskan kuasa dari pria tersebut setelah beberapa saat. Udara dingin di pagi buta itu memunculkan uap ringan dari kedua mulut mereka masing-masing.

"Jangan coba-coba memikirkan pria lain selain diriku."

"Kau sungguh pria paling egois yang pernah kutemui, Leo."

Shayna menundukkan pandangannya. Ia hampir saja menangis karena ia semakin tidak mengerti dengan dirinya di saat seperti ini.

Leonard mengacaukan segalanya. Mengacaukan ketenangannya selama ini.

"Aku hanya tahu apa yang kubutuhkan. Menjadikanmu milikku adalah salah satu bentuk keegoisanku."

Leonard menempelkan kedua dahi mereka, lalu dengan perlahan ia mengangkat dagu Shayna untuk menatap kembali manik mata indah di hadapannya. Dalam hitungan detik, ia telah berhasil menguasai diri Shayna. Kali ini ciumannya lebih lembut dan setiap sentuhannya seolah memohon kepada wanita itu untuk menerima kehadirannya.

Mentari masih tetap sama bersinar di pagi hari. Dan Shayna masih menyukai bagaimana cara mentari menyapanya dengan kehangatannya. Namun ada yang berbeda di pagi itu. Untuk pertama kalinya Shayna menerima ciuman Leonard tanpa adanya paksaan. Jika tidak percaya, Sang Mentari-lah saksinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!