Terjebak Masa Lalu

"Siapa dia Ayah!"

"Lee, bagaimanapun, Ara adalah adikmu. Kau harus menyayanginya."

"Seharusnya kau yang pergi, bukan ibuku!!"

Leonard terbangun dari mimpinya yang panjang. Keringat dinginnya mulai bercucuran. Ia terbangun dengan nafas terengah-engah. Entah sudah berapa lama ia mengalami mimpi yang sama hampir setiap malam. Bagaimanapun dan kemanapun Leonard mencoba untuk pergi, kejadian itu masih mengusiknya melalui mimpinya.

Baginya Tuhan sangat tidak adil. Ia dan ibunya adalah korban, namun Tuhan masih mempermainkan hidupnya melalui mimpi itu yang menghantuinya hampir setiap malam. Bahkan Leonard sudah lupa bagaimana tidur dalam kondisi nyenyak sejak kejadian itu. Tragedi yang tidak pernah ia lupa sampai kapanpun. Hal itulah yang menjadi titik balik kehidupannya menjadi pribadi Leonard yang dikenal sekarang.

Leonard terduduk di tepi ranjangnya dan menopangkan kepalanya dengan kedua tangannya. Ia merasa kepayahan dan tertekan dengan kejadian di masa lalunya. Ia melihat kedua orangtuanya bertengkar hebat dan ibunya pergi meninggalkannya, sementara ia tidak bisa berbuat banyak. Takdir yang tidak bisa ia ubah.

"Saya hanya berpikir bagaimana jika project ini lebih dikhususkan sebagai rasa terima kasih dan perasaan cinta kepada sang Ibu? Karena menurut saya, Natal itu tidak hanya tentang keromantisan sepasang kekasih. Justru di Natal inilah, seharusnya orang-orang juga lebih memaknai kelahiran Yesus dari Bunda Maria kan. Bagaimana perjuangannya melahirkan dan membesarkan di masa-masa sulit itu. Apalagi setelah melihat bahwa project kali ini adalah cincin. Cincin yang berbentuk lingkaran melambangkan cinta yang tidak berujung dan selalu abadi, layaknya cinta tulus yang diberikan ibu kepada anaknya.

Maka, bukankah bagus jika pada Natal kali ini setiap anak berlomba-lomba mengungkapkan rasa cinta mereka kepada ibu mereka masing-masing? Saya rasa ini lebih menarik."

Sial, kenapa tiba-tiba ia teringat akan kalimat wanita liar itu? Ibu? Leonard bahkan telah meninggalkan masa lalunya, juga tentang ibunya. Walau sebesar apapun ia ingin mencari dimana keberadaan Ibunya, namun sudah tidak ada artinya. Ia telah bersumpah dan mengabdi kepada Javier dengan cara meninggalkan masa lalunya dan memberikan hidupnya untuk Dragon Blood. Itu adalah perjanjian awal yang dilakukan untuk siapapun anggota yang tergabung di organisasi Dragon Blood. Tidak ada yang melanggar, karena taruhannya nyawa.

Leonard meraih sebuah bingkai foto kecil di nakas kamarnya. Sebuah foto seorang wanita dengan seorang anak laki-laki yang tengah meniup lilin saat berulang tahun. Satu-satunya foto usang yang ia punya dan masih ia simpan sampai sekarang. Leonard tidak pernah lupa kapan foto itu diambil, itu adalah saat usianya berusia 7 tahun. Masa lalu yang ia punya dan tidak berani ia sentuh kembali kehidupannya.

⁕ ⁕ ⁕

“Ayah!!”

Shayna merasa kacau pagi itu. Ia terbangun dari mimpinya yang buruk. Mimpi itu sama, hanya menampilkan sosok ayahnya, dirinya saat kecil dan seseorang yang tidak ia kenal karena wajahnya samar-samar. Namun yang membuatnya merasa tidak bisa bernafas dan selalu berujung terengah-engah, karena sosok seseorang tersebut selalu berusaha ingin membunuhnya. Ia tidak ingat, bagaimana dan kapan kejadian itu terjadi, karena hal itu seolah bagian dari kehidupannya di masa lalu.

Shayna terduduk dan menelungkupkan kepalanya di atas lututnya yang ditekuk. Keringat dinginnya seketika keluar bercucuran. Nafasnya kacau.

Batinnya benar-benar terguncang. Ia tidak mampu menceritakan mimpi yang selalu sama ini kepada siapapun. Bahkan kepada psikiater atau ayahnya. Ia hanya ingin mencoba mengingat setiap puzzle dari memorinya di masa lalu dengan caranya sendiri, secara alami. Ia tahu semenjak insiden ia kehilangan sebagian ingatannya, segalanya tidaklah lagi sama. Ayahnya hanya akan semakin khawatir jika ia menceritakan bagaimana mimpi buruk itu selalu mengganggunya.

Shayna melirik pada jam dinding di kamarnya, subuh masih beberapa menit lagi. Namun ia tidak berencana untuk tidur lagi. Tenggorokannya benar-benar terasa kering. Ia mencoba beranjak dari tempat tidurnya, walau ia tahu rasa sakit di kepalanya benar-benar menyiksanya. Ia berjalan sempoyongan menuju dapur untuk mengambil air minum. Malam itu, Emma tidak menginap seperti yang dilakukan pada malam-malam biasanya. Jika ada Emma, ia merasa lebih baik.

Tubuh Shayna berhasil mencapai dapur walau beberapa kali ia menabrak dan nyaris terjatuh. Itu bukan yang pertama kalinya ia merasa kacau. Ada kalanya ia mengalami hal seperti itu di saat mimpi buruk itu datang dan mencekiknya. Ia meneguk beberapa gelas sekaligus lalu terduduk di atas lantai dapur. Ia kembali memeluk kedua lututnya.

Hatinya perih dan sedih, kepalanya benar-benar sakit. Ia sungguh tidak ingat sebagian memorinya di masa lalu. Ingin sekali ia tidak peduli dan belajar hidup mengalir seperti sekarang, namun di setiap malam mimpi itu kembali mencekiknya. Kadang ia merasa frustasi dan tertekan, namun di lain kesempatan ia berusaha agar baik-baik saja. Ia hanya mencoba melawan sekuat yang ia mampu.

Tepat di saat itulah, perhatiannya teralihkan pada suara deru mobil yang tiba-tiba saja berhenti tepat di depan rumahnya. Awalnya ia mengira itu adalah tamu tetangganya, namun karena suasana begitu sunyi ia jadi bisa mendengar derap langkah orang tersebut berjalan menuju ke rumahnya, lalu berhenti. Shayna mencoba berdiri lagi dan menghilangkan rasa sakit di kepalanya. Ia mencoba mengecek apakah benar ada tamu yang tiba-tiba ingin berkunjung sepagi ini? Bahkan ini bisa dibilang terlalu pagi untuk waktu berkunjung ke rumah seseorang.

Ia mengintip melalui celah pengintai di pintu kayunya. Sosok tersebut memang berhenti di depan rumahnya, namun orang itu tidak berencana untuk mengetuk pintu. Ia hanya bersandar di tembok lalu berencana untuk pergi dari sana.

Daniel? Akhirnya Shayna membuka pintu rumahnya, dan berhasil membuat Daniel membatalkan niatnya yang akan kembali ke mobil.

⁕ ⁕ ⁕

Daniel baru saja melakukan perjalanan bisnisnya sekaligus meminta bantuan ke Rusia. Kali ini perjalanannya bahkan masih belum membuahkan hasil yang berarti. Tidak ada titik terang sedikitpun untuk melacak pelaku pembunuhan adiknya. Ia benar-benar merasa frustasi saat ini. Sudah berhari-hari ia merasa kacau dan tidak teratur. Hidupnya sangat berantakan dan tidak terurus. Kehilangan seseorang membuat dirinya berubah seketika.

Ini bukanlah yang pertama bagi Daniel kehilangan seseorang. Namun kehilangan Chloe sebagai anggota keluarga terakhirnya benar-benar sangat membuatnya terpukul ketika ia telah kehilangan kedua orangtuanya terlebih dahulu. Ia menyayangi Chloe, bagaimanapun Chloe bertingkah di depannya. Karena adiknya ini memang manja dan suka seenaknya. Namun, siapa yang tidak sayang kepada adiknya sendiri?

Oh, Tuhan, Daniel benar-benar kacau. Ia menghentikan kemudi mobilnya dan menepi di tepi jalan. Saat ini ia berada di kawasan utara Borough Manhattan. Tempat itu mengingatkannya kepada Shayna yang tinggal di kawasan Washington Heights. Itu adalah sebuah pemukiman di New York City yang terletak di tepi utara borough Manhattan.

Daniel akhirnya memutuskan untuk melajukan kembali mobilnya dan mengubah alur tujuannya.

Ia mengurungkan niatnya untuk langsung pulang ke rumah hingga mobilnya akhirnya berhenti pada sebuah pemukiman di kawasan Washington Heights. Ia memarkirkan mobilnya tepat di depan sebuah rumah berwarna cat putih dengan gaya amerika klasik. Agak lama ia berada di dalam mobil dan hanya memandang lurus rumah tersebut. Sampai akhirnya ia turun dan memperpendek jarak antara dirinya dengan bangunan rumah klasik itu.

Daniel sudah berencana untuk mengetuk pintu, namun hal itu diurungkannya dan ia menyandarkan dirinya di tembok rumah Shayna yang terasa dingin kala itu.

Oh Tuhan, bagaimana bisa ia baru menyadari jika ini bukan waktunya berkunjung? Ini masih terlalu pagi dan Shayna pasti masih tertidur.

Namun sesuatu mengejutkannya. Ia mendengar suara kunci yang diputar dan pintu yang terbuka oleh sang empu. Shayna memanggilnya dengan suaranya yang khas. Suara yang ia rindukan akhir-akhir ini.

"Daniel?”

Daniel membalikkan badannya dan melihat sosok itu menyapanya masih mengenakan piyama berwarna biru pastel. Rambutnya terlihat acak-acakan dengan nafas yang terengah-engah.

Daniel mencoba tersenyum walau sekacau apapun suasana hatinya kala itu. Namun melihat sosok wanita hangat di hadapannya terasa melenyapkan segala kekacauan dalam dirinya.

"Apa aku membangunkanmu?"

Matahari telah terbit. Shayna merasa tersihir ketika sinarnya menyorot sosok Daniel pagi itu dengan hangatnya. Sehangat kepribadian orang tersebut.

"Shayna?"

"Ah, maafkan saya. Masuklah, Daniel. Aku bisa membuatkan sesuatu untukmu."

Daniel memutuskan untuk duduk di meja pantry sementara Shayna membuatkan kopi hitam untuknya sesuai permintaan pria tersebut karena Daniel hanya menyukai kopi hitam di pagi hari.

"Akhir-akhir ini sepertinya Anda sibuk, Daniel."

Shayna meletakkan kopi hitamnya di atas meja pantry. Daniel hanya tersenyum ketika harum aroma kopi tersebut langsung menyeruak memenuhi ruangan. Aroma yang menenangkan untuknya.

“O ya, bagaimana pekerjaanmu dengan DW Diamonds?"

"Ah, semuanya lancar." Shayna menjawabnya cepat.

Lalu ia teringat akan sesuatu, walau agak ragu mengatakannya, namun ia akhirnya memberanikan diri.

"Akhir-akhir ini saya tidak pernah melihat Anda. Apa terjadi sesuatu?"

Daniel mempertajam tatapannya. Ia tidak menyangka jika Shayna menyadari akan kehadirannya dan menanyakannya. Ia tersenyum kembali.

"Adikku tewas tepat sehari setelah ulangtahunku. Jujur, hal itu sangat membuatku terpukul sampai sekarang."

Daniel akhirnya berkata jujur atas apa yang baru saja ia alami. Peristiwa kematian adiknya masih teringang jelas di benaknya. Bagaimana pelakunya dengan sadis membunuh adik semata wayangnya.

"Adik? Maksud Anda Chloe?"

"Ya. Kau masih mengingatnya?"

"Ah, ya. Oh astaga." Shayna tercengang dan mengatupkan kedua tangannya di depan mulut.

Walau pertemuan pertama mereka agak kurang bersahabat, tapi ia menyukai Chloe dengan kepribadiannya yang terus-terang.

"Maafkan saya, Daniel. Saya tidak tahu."

"Aku memang tidak memberitahu siapapun perihal kematian adikku."

"Saya turut berbela sungkawa atas kematian adik Anda, Daniel."

Daniel tersenyum lalu bercerita,

" Dia adalah satu-satunya keluarga yang kupunya. Orangtuaku telah meninggal karena kecelakaan, lalu Chloe menyusul. Aku benar-benar merasa payah dan begitu terpukul."

Tidak biasanya Daniel menampilkan wajah sendu, seperti hari itu. Shayna masih bergeming ketika melihat wajah sendu tersebut menguasai aura kehangatan yang dimiliki oleh Daniel. Pria tersebut mengalihkan pandangannya dan mulai meniupkan minumannya. Tegukan hangat itulah yang benar-benar melegakan tenggorokannya.

"Dia memang suka seenaknya, tapi aku tidak tahu jika ada yang sampai mendendam padanya dan dengan tega membunuhnya."

"Ap-apa? Dia dibunuh?"

Daniel hanya mengangguk lemah.

"Apa kasus ini sudah dilaporkan pada pihak kepolisian? Saya pikir Chloe butuh keadilan disini."

Daniel hanya tersenyum lemah. Matanya sangat sendu dan Shayna tahu ada air mata yang terbendung disana.

"Aku sudah melakukan yang terbaik untuknya, namun belum ada hasil. Ini sungguh membuatku begitu frustasi, Shay."

Daniel menjelaskan dengan emosi kesedihan yang ia tahan. Shayna sungguh tidak tahu jika pria tersebut tengah mengalami masa sulit dalam hidupnya.

Kondisi Daniel saat ini mengingatkannya pada posisi dirinya ketika mendiang Ibunya yang meninggal saat ia masih kecil. Di dunia ini tidak ada yang menginginkan kehilangan seseorang.

Shayna tahu bagaimana perasaan bernama kehilangan dan itu sangat menyiksa.

Tanpa sadar, ia mendekatkan dirinya pada sosok pria pecinta kopi tersebut. Tangannya merengkuh tubuhnya yang terguncang karena emosi kesedihan yang dialaminya. Anehnya, emosi Daniel makin memuncak. Pria tersebut benar-benar menangis terisak di dalam dekapan Shayna. Hal itu membuatnya mengeratkan dekapannya secara refleks pada Daniel yang tengah rapuh.

"Semua akan baik-baik saja, Daniel. Semua akan baik-baik saja."

Kalimat yang klise, namun itu bagai penawar untuk hatinya yang tengah lemah saat ini. Daniel mencoba meresap kalimat ajaib tersebut, dan mulai mengontrol emosinya kembali. Dekapan Shayna begitu menenangkan, namun ia sendiri tidak mengerti bagaimana tiba-tiba air mata keluar tanpa ia sadari? Bahkan selama ini ia pikir tidak akan menangis walau pikirannya benar-benar penuh dengan kematian Chloe.

Anehnya ia baru menyadari mengeluarkan air mata membuatnya merasa lega.

"Oh Tuhan, apa kau seorang psikiater? Aku jauh lebih baik sekarang."

Daniel melepas dekapan Shayna dan mencoba membuat humor. Ia tertawa walau ia sendiri merasa leluconnya terasa hambar.

Shayna tersenyum mendengar lelucon tersebut.

"Baiklah, bagaimana kalau aku membuka jasa psikiater gratis setelah ini?” Ia tertawa renyah.

Waktu terasa berjalan agak lambat. Namun keduanya cepat menyadari jika Shayna baru saja berbicara bukan dengan bahasa formal seperti yang biasa ia lakukan ketika mengobrol dengan Daniel.

"Ah, maafkan saya Daniel." Shayna membungkukkan badannya karena ia benar-benar keceplosan.

"Aku lebih senang kau mengobrol denganku dengan gaya bahasa tadi, Shay."

"Apa?"

"Dan jangan membuka jasa psikiater gratis untuk siapapun, selain aku. Oke?"

Daniel meraih tangan Shayna dan menempelkannya di sebelah pipinya. Itu cukup membuat Shayna merasa salah tingkah dan tidak tahu harus mengucapkan apa.

Tepat saat Shayna akan mengucapkan sepatah katanya, Daniel menundukkan kepalanya, sementara tangannya meraih dagu Shayna dan mengangkat wajahnya.

Wajah Shayna begitu dekat dengannya, membuat akal sehat Daniel hilang sekejap. Namun Shayna mendorong tubuh Daniel dengan pelan, jarak itulah yang akhirnya mengurungkan niat Daniel untuk mencium wanita yang ia cintai tersebut.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!