Skandal untuk Shayna Arashita

Shayna baru menyadari jika mansion yang ia masuki semalam merupakan bangunan mewah yang minimalis dan elegan. Mansion yang didominasi warna hitam dan putih itu memiliki halaman yang begitu luas. Bahkan jarak antara bangunan utama menuju pintu gerbang bisa memakan waktu sekitar lima belas menit, dan parahnya butuh waktu lebih lama jika tersesat. Itu sungguh pilihan buruk jika ingin keluar dari mansion tersebut seorang diri, sementara kau baru saja pertama kali kesana.

Oh ayolah, pertama kali bukan pilihan kata yang tepat. Karena bagi Shayna itu adalah kunjungan pertama dan terakhir kalinya. Ia sungguh tidak sudi untuk menemui pria itu lagi. Hidupnya bisa gila dalam sekejap, karena berdekatan dengan pria itu sangat menguras emosi. Sebenarnya hampir sama ketika menghadapi Emma, tapi pria ini jauh lebih parah. Sementara Shayna tidak suka menguras energinya terlalu banyak hanya untuk menghadapi seseorang. Ia tidak suka kekerasan, ia tidak suka meluapkan emosinya dengan berapi-api. Itu seperti bukan dirinya saja.

Sebenarnya sejak kecil Shayna dibesarkan dalam ketidakutuhan keluarga. Ibunya telah lama meninggal sejak ia berusia 6 tahun dan akhirnya ia hanya tinggal bersama kakak dan Ayahnya.

Namun kakaknya juga pergi meninggalkannya, karena menurut cerita Ayahnya, kakaknya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di Amerika. Shayna tidak begitu yakin dan ingat sebenarnya, karena saat usianya menginjak 12 tahun, ia mengalami amnesia.

Ayahnya tidak terlalu banyak menceritakan tentang bagaimana masa lalunya saat kecil, dan Shayna pun seolah dipaksa tidak untuk mengungkit bagaimana ia hidup di masa lalunya. Ayahnya selalu memberi dukungan dan segala fasilitas untuknya demi musik yang ia sukai. Namun pada akhirnya, ia pun harus meninggalkan ayahnya seorang diri di Bali, Indonesia, karena musik yang ia tekuni.

Ada beberapa kondisi dimana Shayna merasa kurang nyaman dengan hidupnya. Ia seolah tidak menemukan jati dirinya yang asli. Ia hidup dalam kepingan puzzle yang tidak utuh. Ia mencoba menemukan puzzle-puzzle yang tercecer, namun ia tidak tahu bagaimana untuk memulai dan mencarinya. Akhir-akhir ini, ia selalu dihantui oleh mimpi-mimpi buruk di kala malam dan itu cukup mengganggunya. Sebenarnya begitu. Namun sekali lagi, ia tidak ingin menceritakan penderitaannya kepada siapapun. Termasuk ayahnya. Melihat roman wajah ayahnya yang menua saat ia pulang saja sudah menjadi alasan bagaimana ia ingin melindungi ayahnya. Ia tidak ingin membuat ayahnya khawatir karena dibebani oleh ceritanya yang tidak penting. Itulah bentuk pelindungan sederhana darinya agar ayahnya tetap merasa sehat. Bukankah pikiran sangat mempengaruhi kesehatan seseorang?

Sementara musik adalah media yang tepat bagi Shayna untuk memulihkan jiwanya yang tidak utuh. Ia lebih banyak berdiam diri dan menulis sebuah lagu, untuk ia nyanyikan sendiri, atau untuk dinyanyikan oleh temannya yang satu profesi. Itu ia lakukan karena hobi. Musik juga telah mengubah hidupnya. Sampai ia mencoba mengikuti ajang pencarian bakat yang diselenggarakan di Amerika dan itu menjadi titik balik kehidupannya yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Ide itu murni dari ayahnya saat ia masih berkarir full di Indonesia dan Asia, belum ke ajang internasional. Iseng namun mengubah takdir hidupnya.

Awalnya memang sangat berat meninggalkan seorang ayah yang usianya mulai menginjak angka 60 tahun. Namun setelah mengalami perdebatan yang sangat panjang, Shayna mengalah. Ayahnya tergolong keras kepala dalam hal mendukung apa yang menjadi kebutuhan Shayna. Jika Shayna menyukai musik, maka ayahnya sangat mendorong agar anaknya bisa berprestasi disana tidak hanya menjadikannya sebuah hobi saja.

Ayah Shayna adalah seseorang yang jam kerjanya sangat tinggi walau sudah masuk usia senja. Tubuhnya masih berdiri tegap dan masih mampu mengurus bisnis-bisnisnya. Dari situlah Shayna belajar tentang sebuah kerja keras dan rendah hati.

Mengingat hal-hal tentang ayahnya, hati Shayna menjadi begitu hangat. Ia jauh merasa lebih baik dibandingkan sebelumnya. Hari itu ia harus melakukan take suara untuk proses rekaman lagu di album kedua Shayna. Ia langsung menuju ke gedung One Star Records, karena ia yakin managernya yang unik tengah menunggunya. Ponselnya penuh dengan panggilan tidak terjawab dari Emma sejak semalam, jadi Shayna bisa menebak bagaimana managernya akan mengomelinya.

Ada kejanggalan saat Shayna memasuki gedung label rekaman tersebut. Hampir setiap orang yang berpapasan dengannya menengok dan ia menjadi sebuah tontonan baru yang sayang jika tidak dibicarakan. Memang mereka berbisik, namun ketika yang melakukannya hanya satu atau dua orang, itu bukan suatu hal besar. Namun yang terjadi saat ini adalah hampir semuanya, mereka berbisik dan membicarakan Shayna. Wanita itu tetap berjalan walau hatinya sangat penasaran apa yang telah terjadi.

Baru saja ia tiba di depan lift untuk menekan tombol, lift telah terbuka. Salah satu diantaranya adalah Emma yang keluar dan ia segera meraih tangan Shayna, membawanya ke sebuah tempat. Emma sengaja mengambil langkah lebar-lebar dan tetap menarik tangan Shayna hingga keduanya telah tiba di salah satu toilet wanita di lantai satu.

“Oh my, untuk apa kita kesini?"

"Shayna, semalam kau kemana? Kau bahkan tidak pulang ke rumahmu dan kenapa kau tidak mengangkat teleponku! Dan oh my, aku bisa gila dalam sekejap! Lihat ini."

Emma memperlihatkan sesuatu pada Shayna melalui ponselnya. Seketika ia mengernyitkan alisnya membaca sebuah headline news hari itu. Sementara Emma sudah memijat pelipisnya sedari tadi.

"Gara-gara berita ini, kantor agensi heboh, dan aku mencarimu kemana-mana, kupikir kau sudah datang dan tahu. Bahkan sepertinya berita ini menyebar dengan begitu cepat. Kekuatan internet memang luar biasa!"

"Emma, kau tahu kan, aku tidak seperti yang diberitakan."

Shayna mengembalikan ponsel tersebut dalam kondisi hati yang lebih buruk dari sebelumnya. Ia begitu lemas.

Ternyata ada yang memanfaatkan insiden yang terjadi di pesta ulang tahun Daniel semalam. Berita negatif yang menyudutkan posisi Shayna yang membuat kehebohan hingga menyebutnya sebagai jalang yang mencoba menggoda pengusaha sukses-siapa lagi jika bukan Leonard! Shayna benar-benar geram mengingat posisinya sangat tidak diuntungkan disana!

Emma mengangkat bahunya.

"Tadi pagi lagumu turun di chart Billboard dan ada perusahaan iklan yang membatalkan kontrak kerjasamanya. Ini sungguh fantastis karena dampak dari berita itu baru beberapa jam yang lalu."

Oh Tuhan, cobaan apalagi ini?

Tanpa kata, Shayna mencoba berpikir keras. Apakah ia harus melakukan konferensi pers dan mengklarifikasi berita tadi? Ini sangat mengancam posisinya mengingat ia akan launching untuk album keduanya.

"Biarkan saja, Emma. Bukankah hal seperti ini juga wajar? Nanti juga beritanya akan tenggelam, right?"

Shayna mencoba berpikir positif. Sedari kemarin pikirannya sudah kacau karena satu jenis minuman bernama tequila.

"Sebaiknya kita ke studio rekaman. Kupikir kru yang lain sudah menunggu."

"Tidak, Shay. Tidak ada rekaman untuk hari ini."

"Apa?"

Mereka membatalkannya. Emma mengangkat kedua tangannya dan mengedikkan kedua bahunya.

“Oh, my. Aku tidak tahu kekuatan netizen begitu besar."

"Yah, kurasa kau baru saja melupakannya."

Bersamaan dengan itu, seseorang tengah berusaha menghubungi ponsel Shayna. Wanita tersebut segera mengeluarkan ponselnya dari tas kecilnya. Nomor asing. Sesaat ia memandang ke arah Emma walau tahu Emma juga bukan cenayang walau sekedar menebak siapa yang meneleponnya. Telepon terputus, dan beberapa saat berdering lagi. Saat itulah, Shayna mengangkatnya.

"Ya, hallo."

"Lama sekali mengangkatnya!"

Shayna bahkan harus menjauhkan ponselnya dari telinganya. Lawan bicaranya berteriak seolah memang mereka saling mengenal. Shayna mengernyitkan alisnya, mencoba menebak dari suara dan gaya bicara orang tersebut.

“Ini siapa?"

"Hei, ternyata selain liar kau juga punya ingatan yang buruk ya."

"Kau!"

Seketika yang terbayang adalah wajah Leonard. Seorang pria yang baru saja ia tinggalkan beberapa jam yang lalu. Sayang, Shayna sangat tidak menyukai sebutan itu untuknya.

"Bagaimana kau bisa tahu nomorku?"

"Apa perlu kujawab?"

"Oh my God."

Tanpa sadar Shayna menutup wajahnya sendiri dengan sebelah tangannya. Melihat ekspresi wajah Shayna yang tiba-tiba berubah, sangat mengusik perhatian Emma. Mereka kini telah berjalan beriringan keluar dari toilet tanpa Emma mengindahkan pandangannya dari wanita di sebelahnya.

"Lalu untuk apa kau menghubungiku? Bukankah aku sudah bilang, aku tidak ingin berurusan lagi denganmu!"

"Kurasa kau sudah melihat headline news hari ini. Bagaimana, apa kau sudah merasakan dampak buruk yang terjadi setelahnya hem?"

"Apa? Apa katamu?"

Shayna bukan tipe pemarah, atau tipe yang mudah tersulut emosinya secara tiba-tiba. Namun kini saat berhadapan langsung dengan seorang Leonard, ia bahkan tidak bisa tenang. Jantungnya memompa lebih cepat dari biasanya.

Emma tampaknya benar-benar paham betul siapa Shayna, sampai ia sendiri merasa penasaran apa yang telah membuat Shayna menjadi geram.

"Oh baiklah, sekarang aku paham. Ini semua karena permainanmu. Benar begitu?"

Shayna tidak menyadari bahwa kalimat tersebut sukses membuat si lawan bicara tertawa, namun dalam wajah yang datar. Bisa kau bayangkan bagaimana ekspresinya? Tentu saja hanya Leonard yang tahu!

"Walau pelupa, kau masih sedikit pintar."

Shayna menarik nafasnya lalu menghembuskannya perlahan.

"Baiklah, apa kau pikir aku akan berlutut dan memohon padamu untuk menghentikan semuanya? Tidak. Tidak akan!"

Shayna menutup teleponnya. Nafasnya tidak teratur karena bercampur emosi dan kepalanya juga masih pening karena efek semalam.

"Apa yang terjadi?"

Suara Emma mencoba mencairkan suasana hatinya.

"Ini semua karena ulah Leonard! Oh Tuhan, aku tidak tahu ada jenis manusia seperti dia di dunia!"

"Apa katamu? Tuan Leonard sendiri yang membuat skandal itu? Dan kau hanya diam saja?" seru Emma tidak kalah emosi. Ia mengulurkan tangannya pada Shayna.

"Berikan ponselmu, biar aku yang bicara padanya!"

⁕ ⁕ ⁕

Malam itu, suasana salah satu di club milik Javier tampak ramai seperti biasa. Club yang didesain dengan tiga lantai itu memiliki interior klasik namun begitu elegan, dengan dominan warna abu-abu, putih dan hitam. Lantai dasar dikhususkan untuk cafe, sementara lantai dua khusus untuk tempat clubbing lengkap dengan kamar, dan lantai tiga khusus untuk perjudian.

Tempat tersebut sudah terkenal dengan dunia malam dan pusat perjudian yang didatangi orang-orang dari berbagai kalangan dan kasta, baik dari Amerika ataupun negara tetangga dan wilayah Asia.

Javier sudah sejam yang lalu duduk di kursi kebesarannya. Kursi tersebut terbuat dari kulit cokelat murni dan terdapat variasi berupa bingkai kayu pada tampilannya. Walau terdengar sederhana, namun untuk harganya tidak main-main. Javier memang khusus memesan kursi kebesarannya tersebut walau seharga ratusan juta. Angka yang fantastis untuk sebuah kursi saja, right?

Baiklah, ini bukan masalah kursi. Namun tampaknya Javier tengah menunggu seseorang. Pandangannya menyapu ke sekeliling dengan menghisap cerutunya. Ia duduk menyilangkan kakinya sementara jas hitamnya tersampir begitu saja di kedua bahunya. Tidak ada yang menarik perhatiannya, bahkan ia sendiri tidak tertarik turun ke lantai bawah untuk clubbing seperti biasanya.

Di center area judi sudah ramai dengan permainan yang dilakukan oleh seorang pria yang berasal dari Tiongkok, dan lawannya adalah salah satu dari anak buahnya, Robert. Robert bukan termasuk yang ahli, namun kemampuannya cukup diperhitungkan selain Javier dan Leonard di organisasinya. Malam itu, Javier tidak ingin melakukan apapun walau hanya bermain judi.

"Rupanya kau benar-benar menyendiri disini."

Seseorang menjejeri Javier duduk. Tidak seperti biasanya seorang Javier duduk seorang diri tanpa wanita di sisinya. Ia menyilangkan kakinya, meniru seperti apa yang dilakukan oleh Javier. Sesaat ia menyapu pandangan di sekelilingnya.

" Bukankah itu Mr. Chen Minghao?"

"Penglihatanmu tajam juga."

Javier kehabisan minuman di botolnya, ia memanggil salah seorang pelayannya untuk meminta wisky lagi.

" Kau mau juga?" Ia menawarkan minuman pada Leo.

"Vodka."

Javier meneruskan pesanan Leonard pada pelayan tersebut dengan suara lantang. Lalu beberapa saat kemudian, pelayan tersebut pergi menyiapkan pesanan keduanya.

"Untuk apa dia kesini?" Leonard menghisap cerutunya. Ujung matanya kembali menatap Javier.

" Apa dia sengaja untuk menantangmu?"

"Ya, dia sengaja datang dari Tiongkok untuk menantangku."

Javier terkekeh lalu menghisap cerutunya lagi.

"Benar-benar punya nyali dia."

"Dan kau mengacuhkannya?"

Javier tertawa terbahak walau tidak ada yang lucu.

"Aku hanya ingin mengulur waktu, Leo."

“Shit, kau sudah menyulut api pada dewa judi Tiongkok."

Leonard segera mengambil minumannya dan membasahi kerongkongannya ketika pesanannya telah tiba.

" Transaksi senjata api untuk Mr. Jack sudah selesai. Dan ada beberapa kendala untuk penyelundupan heroin ke Itali, tapi sudah kuselesaikan."

"Cih, Itali lagi."

Javier menenggak habis pada wisky yang ia tuang ke dalam gelas. Lalu pandangannya tertuju pada obyek dua orang wanita yang salah satunya masih familier di ingatannya. Javier lupa namanya, namun orang tersebut yang menampar Leonard di pesta Daniel. Sementara wanita yang bersamanya menunjuk ke arahnya dan berjalan mendekat.

Namun prediksi Javier salah, mereka berhenti tepat di hadapan Leonard.

"Kau benar-benar lelaki brengsek!"

"Ckckck, siapa mereka Leo? Apa kau menghamili mereka dalam waktu bersamaan huh?"

Javier menyikut lengan Leonard yang masih tenang dengan cerutunya. Ia bahkan tidak bergeming walau seorang wanita telah memakinya tepat di hadapannya.

"Baiklah, kurasa aku harus menemui tamuku disana."

Javier beranjak dari tempatnya duduk, ia sempat menatap pada keduanya. Dan ia yakin, salah seorang diantaranya adalah orang yang sama dengan yang menyanyi di pesta Daniel. Ia masih mengingatnya, karena wanita tersebut berwajah oriental dengan wajah yang cantik. Namun ia tidak punya waktu untuk wanita saat ini, ia ingin menghargai tamunya yang sengaja datang dari Tiongkok demi menemuinya.

"Javier, kau dimana? Aku butuh bantuanmu saat ini."

"Oh sial, apalagi?"

Javier sempat mengobrol dengan lawan bicaranya di ponselnya, hingga akhirnya ia tanpa sadar melangkahkan kakinya keluar dari ruangan tersebut dengan memasuki lift pribadinya menuju lantai dasar. Ia melupakan sesuatu, tamunya dari Tiongkok.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!