Siapa Kau, Leonard?

Kediaman Shayna berada agak jauh dari pusat kota Manhattan. Butuh waktu sekitar sejam untuk menuju ke rumah Shayna yang terletak di bagian selatan kota dari posisinya semula. Diluar dugaan, rumah yang disebut oleh Shayna memang berupa pemukiman, dan bukan apartement. Washington Heights adalah nama daerah dimana Shayna tinggal.

Memang benar jika tempat tersebut merupakan sebuah pemukiman di New York City yang terletak di tepi utara borough Manhattan. Berdasarkan sejarahnya, pemukiman ini dinamai menurut nama Fort Washington, sebuah benteng yang dibangun di titik tertinggi pulau Manhattan oleh pasukan Kontinental pada Perang Revolusi Amerika Serikat demi mempertahankan daerah ini dari pasukan Britania.

Washington Heights sendiri berbatasan dengan Harlem di selatan sepanjang 155th street, Inwood di Utara sepanjang Dyckman Street, Sungai Hudson di barat dan Sungai Harlem di sebelah timur. Rata-rata pemukiman di kawasan ini memiliki harga yang jauh lebih rendah dibandingkan pemukiman di daerah Manhattan lainnya. Shayna sendiri tidak memilih untuk membeli apartemen, karena menurutnya tinggal bersosialisasi dengan tetangga sekitar jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan tinggal di sebuah apartemen.

Sayangnya, rumah yang ditinggali Shayna kini merupakan salah satu rumah tua bergaya amerika klasik, dengan cat putih yang mulai memudar dan ada beberapa anak tangga untuk menuju ke pintu utama. Harga rumah tersebut relatif murah dibandingkan jika ia harus menguras kantongnya untuk membeli rumah di daerah pusat Manhattan.

Alasan klise itulah yang membuatnya lebih nyaman dalam mengatur keuangan.

Walaupun karirnya di dunia musik sebelumnya berhasil meraup pundi-pundi uang, namun ia lebih tenang dengan masih menyisihkan banyak di dalam tabungannya. Ia tidak tahu kondisi seperti apa yang akan dijalaninya mengingat Amerika begitu asing untuknya. Ia harus banyak berhemat, walau sekecil apapun.

"Kau tinggal disini?" tanya Leonard, ketika mobil sudah terparkir di depan rumah Shayna.

"Apa ada yang salah?"

Shayna hendak melepas sabuk pengamannya, namun ia teringat dengan luka yang dialami oleh Leonard.

"Apa kau yakin baik-baik saja?"

Leonard tidak berkata apapun, namun melihat ekspresi Shayna yang menurutnya lucu, akhirnya ia berakting. Ia melumpuhkan diri di atas kemudi mobil dengan menjatuhkan kepalanya di sana. Ia berakting lemah dengan mengerang kesakitan sembari memegangi lengannya yang terkena sayatan pisau.

"Ap-apa yang terjadi?" Shayna hendak memeriksa lengannya, namun Leo mengerang.

"Argh!"

"Oh Tuhan, kau harus ke rumah sakit!" Shayna berkata panik.

"Aku bisa mati sebelum sampai di rumah sakit!"

Leonard kembali mengerang. Anehnya, Shayna yang panik percaya begitu saja dengan perkataan pria tersebut.

Leonard sempat melirikkan ujung kedua bola matanya menatap wajah di sebelahnya yang penuh dengan kekhawatiran. Ia sendiri tidak mengerti kenapa ia akhirnya berakting lemah di hadapan wanita liar itu. Padahal ia sendiri tidak merasakan sakit. Sayatan pisau tersebut memang mengenai lengan kanannya dan membuat bercak noda darah yang mencolok disana. Tapi itu semacam gigitan semut untuk Leo.

Namun sebaliknya, rupanya akting Leo tersebut sukses membuat Shayna khawatir. Seolah emosi dan amarahnya menguap begitu saja entah kemana. Shayna mendekatkan dirinya dan mencoba memeriksa lengan Leonard yang terluka. Dari jarak dekat itulah, aroma Shayna menguar begitu saja meresahkan Leonard.

"Kau benar-benar bodoh!" pekik Shayna lagi, dan sontak itu cukup mengagetkan Leo.

Shayna melihat jas hitam Leonard ternoda oleh bercak darah dan ia sudah memeriksanya sekilas kalau luka tersebut cukup dalam. Selanjutnya, Shayna keluar dari mobil.

Awalnya Leonard agak tercengang dengan tingkah wanita tersebut yang seolah acuh terhadapnya. Tetapi kenyataannya, Shayna hanya berjalan memutari mobilnya hanya untuk membuka pintu untuknya dari arah luar.

"Ayo keluarlah. Akan kuobati lukamu."

"Kau?"

"Ya, setidaknya bisa menghentikan aliran darahnya."

Shayna berusaha meyakinkan sekali lagi. Sebenarnya tidak perlu berusaha demikian pun, Leonard akan turun, karena itu tujuannya.

Kini keduanya tengah berjalan beriringan menuju rumah Shayna yang berjarak beberapa meter dari mobil yang terparkir.

"Bertahanlah, kumohon," lirih Shayna yang sebenarnya lebih mirip doa.

Namun karena jarak di antara keduanya begitu dekat, Leonard mendengar hal itu. Tanpa sadar, Leonard terkekeh.

"Apa kau begitu khawatir padaku?"

"Tentu saja! Bagaimana bisa ini disebut lelucon?"

Shayna jadi geram karena ditanya di situasi seperti ini. Ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat dengannya.

Shayna membuka pintu rumahnya dan dengan cekatan menyalakan saklar lampunya.

"Duduklah disana. Aku akan menyiapkan sesuatu untukmu."

Shayna menunjuk pada sebuah sofa panjang yang berada di ruang tamunya. Interior rumah Shayna begitu minimalist dan terkesan sederhana. Hanya ada sebuah lukisan pemandangan di salah satu dinding dan beberapa pajangan untuk meramaikan kesan monoton di sana. Tidak membutuhkan waktu lama, Shayna sudah kembali dengan kotak P3K-nya dan secangkir minuman di sebelah tangannya.

"Cuaca sedang dingin, kubuatkan secangkir teh untukmu," kata Shayna sembari meletakkan cangkir teh yang dibawanya dan kotak P3Knya.

Ia kemudian beranjak dari tempatnya, dan berusaha untuk membantu Leonard melepaskan jasnya.

"Jasmu kulepas ya, biar lukamu kuobati dengan mudah."

Leonard merasakan ada perbedaan nada dan perlakuan dari wanita liar itu. Shayna membantu melepaskan jas hitam yang bertengger kokoh di badan Leonard.

Aroma Shayna kembali mengusik indera penciumannya. Aromanya memang khas, dan Leonard tidak tahu pasti parfum apa yang dipakai oleh wanita tersebut, namun begitu menenangkan dan lembut. Wangi parfum yang bercampur dengan aroma asli dari tubuhnya.

Dari jarak dekat itulah, ia kini mampu melihat bagaimana pahatan wajah cantik yang dimiliki oleh Shayna. Putih, bening, tanpa cacat dan tanpa olesan operasi.

Ada anak rambut yang jatuh terjuntai begitu saja dari celah telinganya saat membantunya melepaskan jasnya, dan itu benar-benar membuat kesan anggun di matanya. Mungkin penglihatannya yang salah dan tidak normal, namun Leonard merasa tidak ingin mengalihkan pandangan dari wanita tersebut barang sedetikpun.

"Bagaimana bisa kau tinggal disini?"

"Apa maksudmu dengan bagaimana?"

"Kenapa tidak memilih apartement atau penthouse?"

Shayna menunduk dan tersenyum tipis.

"Aku lebih suka disini. Apa itu masalah untukmu?"

"Kau tinggal sendiri?"

"Iya, aku tinggal sendiri."

"Dimana orangtuamu?"

“Apa perlu kujawab?"

Shayna sudah selesai dengan menggantung jas hitam Leonard pada tiang di sudut ruangan. Ia membalikkan badannya kembali menghadap Leonard.

"Bagaimana dengan ini? Tapi aku harus memastikan lukamu dan menghentikan pendarahannya."

Kini ia merasa frustasi untuk melanjutkan aksinya. Ia hanya sanggup memandang tubuh di hadapannya tanpa berani melepas kemeja hitam yang melekat pas di tubuh Leonard.

Diluar dugaan, Leonard benar-benar melepas kemejanya. Namun yang membuatnya aneh, Leonard bahkan tidak melepaskan pandangannya saat melakukannya. Ini benar-benar membuat Shayna merasa tidak waras. Ia gugup dan ia juga menyadari bagaimana detak jantungnya berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Kacau.

Leonard sudah selesai melepas kemeja hitamnya. Kini ia hanya bertelanjang dada di hadapan Shayna. Wanita tersebut masih bergeming di tempatnya. Sesaat ia jadi tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak mengira jika kini harus terlibat situasi tidak mengenakkan seperti ini.

"Butuh berapa lama lagi untuk mengagumiku?"

Perkataan Leonard membuatnya sadar sekaligus membuatnya terlihat bodoh karena seolah-olah dia baru saja mengagumi pahatan indah dari tubuh di hadapannya. Ia akhirnya membalikkan badannya membawa air untuk membersihkan luka yang dialami oleh Leonard.

"Sebenarnya siapa kau Leonard?" tanya Shayna spontan.

Saat ini ia berada di dapurnya, mempersiapkan air untuk membersihkan luka Leo. Dapurnya sendiri bersebelahan dengan ruang tamunya, hanya ada sekat dari meja pantry.

"Aku yakin, dengan kejadian tadi, kau bukan orang biasa. Kau mengantongi pistol, dan lawanmu terlalu nekat untuk melakukan aksi pembunuhan dan pengeboman. Apa kau-"

"Apa sekarang kau mulai tertarik padaku?"

Dari tempatnya duduk, Leonard mengedipkan sebelah matanya dengan jenaka. Tidak biasanya ia menjadi seringan ini untuk menggoda seorang wanita.

"Ti-tidak! Lupakan kalau begitu!"

Shayna jadi kesal sendiri karena ia melupakan bahwa pria di hadapannya ini terlalu percaya diri. Untuk segala hal.

"Bagaimana bisa kau bertahan dengan luka seperti ini?"

Kini Shayna tengah duduk berhadapan dengan Leonard dan ia mulai membersihkan luka tersebut dengan air yang dibawanya. Selanjutnya, ia menghentikan pendarahannya dan membalutnya dengan perban.

Leonard tidak menjawabnya. Ia hanya diam menatap Shayna yang masih cekatan mengobati lukanya yang sebenarnya tidak seberapa untuknya. Bahkan ia bisa mengatasinya sendiri begitu sampai di mansionnya. Namun kali ini ia merasakan ada sensasi yang berbeda ketika berpura-pura lemah di hadapan seseorang. Ia bahkan tidak peduli jika orang tersebut akan menganggapnya benar-benar lemah. Ia hanya ingin mengerjai Shayna dan membuatnya agar merasa bersalah.

Apa untungnya? Sungguh ia merasa tidak waras dengan alasan tadi.

"Apa kau begitu khawatir?"

Shayna menghentikan gerakannya dan menatap balik manik mata biru di hadapannya.

"Apa selain Ibumu, orang lain tidak boleh khawatir padamu?"

Mendengar kata ibu yang terucap dari mulut Shayna, tanpa sengaja membuat raut wajah Leonard berubah. Baiklah, auranya yang berubah. Wajahnya tetap datar seperti biasa. Shayna yang menyadari hal itu, merasa tidak enak hati. Ia berdeham untuk mencairkan suasana.

"Apa aku tadi salah bicara?" tanyanya pelan dan hati-hati.

Leonard tidak menjawabnya, hanya mengibas pelan lengannya yang masih tergenggam oleh kedua tangan Shayna yang mungil.

"Lupakan, aku baik-baik saja."

"Baiklah, seharusnya aku mengatakan ini sejak tadi. Aku tidak tahu jika saat menolongku kau jadi terluka. Aku tidak memerintahmu melakukan itu! Tapi, bagaimanapun juga, aku berterimakasih. Aku berhutang padamu."

Shayna menarik nafasnya dalam-dalam sampai akhirnya menghela nafas dengan kasar. "Aaahhh... walau sebenarnya itu berat, puas kau?"

Melihat ekspresi tersebut, bertaruhlah siapapun akan tertawa. Leonard memang tidak pernah salah, wanita di hadapannya ini memang unik dan lucu.

"Kau-kau tertawa?"

Shayna menangkap ekspresi lain dari wajah datar Leonard.

"Tidak." Leonard membuang muka.

"Iya, kau tertawa! Kenapa, apa kau baru saja menertawaiku heh? Benar begitu?"

Shayna terus mencecar dan meninju lengan Leonard dengan kepalan tangannya. Tinjuannya bukan main-main, ia memang sedang melampiaskan amarahnya pada pria brengsek itu.

Tapi detik selanjutnya, gerakannya terhenti. Leonard berhasil menangkap kedua tangannya dan sedikit menarik tangan tersebut hingga keseimbangan Shayna goyah. Ia jatuh tepat di atas tubuh Leo.

Waktu seolah terhenti. Shayna berusaha menjaga posisinya agar tidak terlalu jatuh ke dalam pelukan Leonard. Pria tersebut masih mencengkeram tangan Shayna dan tidak canggung sedikitpun. Ada hal yang tidak bisa memberikan efek santai, yaitu detak jantungnya.

Kabar buruknya Leonard adalah salah satu tipe penantang. Ia menantang dirinya sendiri untuk menguji seberapa besar adrenalinnya akan terpacu.

Apakah detak jantungnya akan berpacu lebih cepat? Ia menarik tubuh Shayna hanya dalam satu kali tarikan dan selanjutnya ia mengecup bibir wanita itu.

Hanya sebuah kecupan yang lama. Namun ia masih belum merasakan apapun. Ia menyadari jika Shayna tercengang dengan aksinya yang tiba-tiba. Ia membelalakkan kedua matanya ketika Leo mendaratkan bibirnya. Lalu Leo memutuskan untuk menghentikannya. Shayna kini sudah berdiri. Ia mematung dan masih menatap kosong pada Leonard. Ia menyentuh bibirnya yang baru saja mendapatkan kecupan kilat.

"Kau!"

"Kenapa?" tanya Leo santai.

"Itu ciuman pertamaku!" Sial, keceplosan.

Seharusnya di negara seperti Amerika, mengatakan ciuman pertama adalah hal yang sangat tabu dan hanya akan dijadikan bahan ejekan di usianya sekarang. Bahkan hanya dengan menjaga kesucian pun dianggap konyol. Dan Shayna termasuk orang konyol tersebut.

Kali ini Leonard sukses dibuat tercengang. Ia memburu dan menatap lebih lekat wajah Shayna yang tampak frustasi. Tatapannya sangat mengintimidasi.

"Kurasa kau benar-benar amnesia dengan malam itu ya, Nona."

Kalimat yang sukses membuat alis Shayna berkenyit secara refleks. Ia memang tidak ingat sama sekali.

"Satu hal lagi. Kurasa kau juga belum bisa membedakan mana yang kecupan dan mana yang ciuman."

Entah kenapa mengerjai Shayna kini menjadi hobi barunya.

"Apa perlu kucontohkan ciuman yang sebenarnya, hem?" Leonard memiringkan kepalanya, melihat reaksi wanita itu.

"Dasar gila!" Shayna memukul perut Leonard dengan siku lengannya.

"Aku sudah selesai, kau bisa pulang sekarang."

Shayna membalikkan badannya, karena ia merasa sudah tidak ada yang lagi yang perlu dia lakukan.

Namun sayang, Leonard menarik lengannya. Tanpa sempat melakukan perlawanan, Leonard merasakan kembali aroma segar dari bibir Shayna.

Refleks, Shayna seolah memiliki cara tersendiri untuk menghentikannya. Ia mengggit Leonard dan membuat bibir pria itu berdarah.

“Benar-benar liar." Leonard mengusap bibirnya yang terluka.

“Aku bahkan bisa membunuhmu jika aku mau."

Oh ayolah mungkin ini adalah gertakan pertama yang dilontarkan Shayna seumur hidupnya. Ia hanya mengulang kalimat Leonard yang dulu pernah ditujukan padanya.

Diluar dugaan, pria di hadapannya justru tergelak. Seolah sadar bahwa itu adalah kalimatnya.

"Aku serius," ucap Shayna lagi, kesal karena Leonard justru menertawainya.

"Aku baru tahu kalau di dunia ini ada manusia sepertimu."

"Apa maksudmu?"

“Aku hanya memberimu contoh, Nona. Yang tadi ciuman. Sebelumnya adalah kecupan."

Kali ini Leonard memajukan badannya dan menatapnya lekat.

"So, apa itu artinya aku adalah ciuman pertamamu hem?"

Sial Leonard! Shayna yakin pria ini adalah jelmaan iblis!

Leonard tersenyum smirk dan berdiri tegap sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Shayna masih mengatupkan bibirnya, tak ingin bersuara, atau lebih tepatnya dia kehilangan kata-katanya.

Terserah pria brengsek ini akan menganggapnya apa, karena Shayna memiliki alasan.

"Apa itu semata-mata untuk kekasihmu atau suamimu?"

"Untuk apa aku menjawabnya?"

"Hei, aku jadi penasaran. Apa perlu kita mengulangi malam itu sekarang, hem?"

Leonard menaikkan satu alisnya dan tersenyum begitu jahil. Sayang, wajahnya yang datar jadi terlihat begitu tampan. Ini sangat mengesalkan bagi Shayna.

"Kau benar-benar manusia iblis!"

Secara refleks, ia melarikan diri ke dalam ruangan, memasuki kamarnya dan mengunci diri dari dalam.

"Hei! Apa kau sedang mengacuhkan tamumu? Inikah balasanmu untuk orang yang sudah menolongmu?"

Tampaknya percuma saja Leonard membujuk Shayna keluar dengan caranya yang seperti tadi.

Shayna masih berdiri di balik pintu kamarnya, menata degup jantungnya yang tidak karuan sedari tadi. Ia terpaksa menjauh karena merasa suara jantungnya terlalu kencang sekarang. Bisa saja Leonard mendengarnya. Itu sangat sangat tidak masuk akal.

"Baiklah, aku pulang. Kunci rumahmu."

Suara Leonard kini lebih dekat dari sebelumnya. Shayna jadi bisa memastikan bahwa pria tersebut berbicara tepat di balik pintu kamarnya.

"O ya, tadi kau anggap lukaku jadi hutangmu kan? Kau bisa melunasinya secara suka rela dengan menjadi brand ambassador di perusahaan jewelryku. Mudah bukan?"

Oh ini pasti sudah gila. Harusnya kalimatnya membuat Shayna jengkel. Namun yang terjadi, bagaimana bisa suara itu justru makin memperparah degup jantungnya?

Ia masih mendengar derap langkah Leonard hingga akhirnya tergantikan oleh suara pintu yang tertutup dan deru mobil yang melaju.

Leonard benar-benar telah pergi. Namun efek adrenalin Shayna masih tersisa. Lututnya terasa lemas, ia terduduk di lantai dengan bersandar pada pintu kamarnya.

Ia masih mencoba mengingat setiap insiden pertemuannya dengan Leonard. Tidak ada yang istimewa. Namun sepanjang hari ini membuatnya tidak waras. Tanpa sadar ia menyentuh bibirnya.

Perasaan campur aduk menyergapnya. Pengalaman pertamanya. Tapi bagaimana dengan Leonard? Shayna percaya manusia seperti Leonard pasti tidak menganggapnya special.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!