[Zy, tolong temenin Gendis ya, pas baca cerita di diary yang gue tulis. thanks]
"Doni juga ngasih post-it lainnya ke gue, sekalian sama amplop cokelat itu."
"Gue nggak bawa post-it yang lainnya, karena banyak dan takutnya ketahuan Nover. Karena Doni nggak mau kalau Nover sampai tau, gue ngehasut lo untuk inget sama dia lagi."
"Lo nggak bakal gue kasih izin untuk simpen barang ini, tapi kalau lo mau baca diary ini, gue siap nemenin kapan pun lo mau," ucap Rezy lagi.
Gendis masih terlihat bingung dengan diary yang Doni kasih ke Rezy, ditambah Gendis masih pusing, karena keingetan Doni.
"Mau pakai cara gue dan teman-teman gue?"
Gendis menyimak ucapannya Rezy.
"Gue dan yang lain selalu mikir, kalau Doni itu sibuk buat ngejar cita-citanya. Anggep aja dia lagi sombong di sana, dan nggak bisa ngabarin kita."
"Dan untuk lo, anggep aja Doni pas lagi inget sama lo, dan nyuruh lo untuk baca diary ini."
Gendis membetulkan posisi duduknya, tapi masih menyenderkan punggungnya ke tembok.
"Nggak gampang kak, buat lupain kak Doni. Setiap kali Gendis mau lupain kak Doni, ada aja kejadian yang bikin Gendis inget lagi," ucapnya menjelaskan.
Gendis bingung ngejelasin ke Rezy, karena nggak ada bukti yang bikin Gendis keingetan sama moment ini. Satu-satunya bukti, ada di diary nya yang udah dikirim Gendis ke Italia.
Akhirnya, Gendis pun menyampaikan perasaan yang tengah dirasakan Gendis saat ini.
"Sebenernya, kejadian hari ini bikin Gendis trauma kak. Gendis sama kak Doni, pernah berteduh di warung makan. Kak Rezy inget nggak, waktu kejadian ulang tahun kak Doni, tas Gendis ketinggalan di mobil kak Rezy. Terus maag Gendis kumat ditambah hujan juga, dan mau nggak mau aku dan kak Doni harus berteduh di warung makan itu, dan kejadiannya persis kayak hari ini."
Mendengar penuturan Gendis, Rezy langsung kaget dan membuat satu kesimpulan, yang memang dibahas sama teman-temannya Gendis tadi.
"Gue sempet salah sangka sama temen-temen lo, usaha mereka buat bikin lo lupa sama Doni emang bener banget."
"Harusnya gue ikutin saran mereka untuk nggak nemuin lo, termasuk Nover. Dia juga harus jauhin lo sampai lo bener-bener lupain Doni."
Gendis cuma menundukkan kepalanya, dia memang harus mengikuti saran Rezy, tapi memang dasar perasaannya yang masih belum bisa untuk lupain Doni. Memory yang udah pernah dijalanin bareng Doni, belum bisa dibuang gitu aja, ditambah Rezy langsung ngasih kenangan terakhir dari Doni yang dititipin untuk Gendis.
................
Setelah kejadian Widi melabrak Rezy, lalu Rezy justru meminta Gendis untuk melupakan Doni. Gendis malah berbalik marah ke teman-temannya, yang juga menyuruhnya melupakan Doni. Padahal ide itu mereka pilih, untuk kebaikan Gendis juga. Sampai-sampai, Didot minta tuker temen sebangkunya Widi buat duduk sama Gendis.
Pindahannya Iqbal nggak membuahkan hasil dan intinya percuma, karena guru Bahasa masuk dan meminta mereka untuk duduk menurut kelompok mereka.
"Ada yang mau ngasih ide? Gue antusias banget nih, pengen menangin kelompok kita," ucap Deka.
Kerja kelompok ini bukan hanya untuk menambah nilai pelajaran Bahasa, mereka juga sekalian mengikuti perlombaan secara berkelompok.
Kelompok dari setiap kelas yang menang, akan diikut sertakan pada acara anniversary sekolah mereka.
Pertanyaan antusias Deka, sayangnya nggak disambut sama Gendis, Didot dan Widi yang memang lagi bersitegang.
"Gimana kalau bikin drama musikal?" Yani mendonorkan ide pertama untuk kelompoknya.
Deka dan Rizky terlihat setuju, tapi dia juga butuh persetujuan lain dari tiga orang di kelompoknya yang sedang bersitegang dan nggak fokus.
"Wid, Dot, Ndis. Kalian setuju nggak?" tanya Deka selaku ketua.
"Tarserah wae lah Dek, lier lah ente bisa kasih solusi," ucap Didot dengan logat dan bahasa sundanya itu.
"Lo Ndis?" tanya Yani ikut memastikan.
"Gue kurang setuju untuk drama musikal, karena kita harus ngafalin dialog," ucap Gendis, dia belum selesai menjelaskan idenya ke Yani, tapi Widi malah mendahuluinya. "Susah-susah orang nyari ide, malah ditolak."
Gendis langsung pasang tampang sinis ke Widi.
"Lo mau kasih ide lain Ndis?" tanya Deka, menyela tatapan Gendis ke Widi, yang dipastikan bakalan bersitegang.
Sementara Deka yang sekarang, semenjak Gendis kecelakaan dan Koma. Deka bertekat untuk menghentikan aksinya, yang selama ini nyusahin dan suka ganggu Gendis disetiap kesempatan. Deka nggak mau nyesel, apalagi sebelumnya dia sama Gendis habis bersitegang yang untungnya. Semua kejadian beberapa hari yang lalu, sudah bisa dikondisikan dan berusaha diperbaiki sama Deka.
"Musikalisasi puisi," ucap Gendis, yang lagi-lagi diselak Widi.
"Kalau ngasih ide dijelasin dong, banyak orang awam nih," ucap Widi yang terus bikin Gendis kesel.
Tapi Deka berhasil menenangkan suasana.
"Gue punya contohnya, hari ini langsung ke rumah gue aja. Kita langsung praktekin idenya Gendis tadi."
"Terserah lo deh," ucap Widi malas, sambil melipat kedua tangan di antara dadanya, lalu menyenderkan bahunya ke kursi dan tetap pasang tampang cuek dan kesal.
"Ng-geus kelar?" tanya Didot dan bikin Yani, Deka dan Rizky kebingungan, karena Didot pakai bahasa sunda.
"Maksud Didot teh, udah selesai belum, gue laper mau ke kantin," ucapnya memperjelas.
................
Rumah Deka cukup mewah, dengan tatanan dan dekorasi classic khas banget sentuhan seorang Ibu.
Begitu mereka naik ke lantai satu, banyak terpajang bingkai foto dan isinya foto Deka dari kecil sampai sekarang. Dan bingkai tersebut, terpajang dan berhenti tepat di samping pintu kamarnya Deka.
"Rumah lo keren juga Deka," ucap Widi memuji.
Yang membuat Widi takjub sejak awal masuk ke rumah Deka, karena ia menikmati pemandangan foto-foto di sepanjang perjalanan mereka ke kamar Deka. Walaupun terbilang rumah Deka nggak besar, tapi memiliki kesan mewah dan nggak ngebosenin.
Deka tersenyum menerima pujian tentang rumahnya.
"Di atas cuman kamar lo doang Dek?" tanya Widi lagi, karena begitu mereka ke lantai atas, mereka hanya melihat 2 pintu. Yang satu pintu kamar Deka dan yang satunya pintu menuju kamar mandi dan begitu mereka memasuki kamar Deka, luas kamar Deka bener-bener seluas kelas mereka di sekolah.
"Iya, karena gue anak tunggal, jadi kamarnya ya hanya satu di atas."
"Widiiih, enak betul nih yang bakalan jadi istri lo nanti. Tinggal menikmati," ucap Didot, kali ini nggak pakai Bahasa Sunda, supaya Deka mengerti ucapannya.
Semenjak kejadian Gendis kecelakaan, Didot udah nggak tarik urat lagi kalau ngomong sama Deka. Mereka sekarang, justru jadi teman dekat. Dan malahan, Didot yang kali ini lagi kesel banget sama Gendis.
"Ya salah satu alasan kamar gue sekalian gede, karena orang tua gue nggak mau gue pindah pas nikah," ucap Deka sambil tersenyum.
Deka menyalahkan komputer, yang langsung tersambung ke jaringan internet. Deka langsung memberikan contoh dari video yang dijadikannya referensi, untuk tugas Bahasa dan mempersiapkan untuk perlombaan serta pembagian tugas.
Nggak disangka, ide yang Gendis berikan membuat teman-temannya setuju, tanpa mereka mencetuskan kata-kata. Terlihat dari nyamannya mereka membagi tugas, sampai akhirnya mereka langsung hafal setelah beberapa kali mengulang latihan hari itu juga.
Gendis memikirkan batas waktu yang diberikan guru bahasa, kalau tadi Gendis menerima ide Yani. Karena udah jelas, akan buang waktu dan belum lagi mereka akan lama karena harus menghafal dialog.
Saran Gendis sendiri karena tau keterbatasan dirinya, dan juga kedua sahabatnya yang sama-sama nggak bisa menghafal dengan cepat, apalagi di bawah tekanan.
Gendis juga memberi ide yang nyambung sama tugas mereka bikin puisi, jadi biar puisi mereka kepakai, jadi harus ada tema yang pas dan menarik untuk mereka pelajari.
................
Setelah melewati seleksi perkelas, kelompoknya Gendis mewakili kelas mereka untuk mengisi acara perlombaan dalam rangka ulang tahun sekolah.
Mereka optimis menang dalam perlombaan, sampai sudah menyiapkan strategi kedua untuk memenangkan perlombaan, apabila mereka masuk ke babak final dan berkompetisi dengan 5 kelas untuk kelas 2.
Handy camp sudah disiapkan Deka, untuk merekam moment penting kelompoknya.
Gendis nggak sadar pada saat mengambil handy camp yang memang dititipkan ke Gendis, Gendis malah menjatuhkan sebuah foto.
Setelah acara selesai. Gendis yang datang belakangan, langsung dikejutkan sama amarahnya Widi, padahal mereka sudah mulai baikan selama latihan.
"Lo masih nyimpen ini?" bentak Widi, sembari memberi unjuk foto Doni yang terjatuh di kolong tempat duduknya Gendis.
Gendis langsung menundukkan kepalanya.
Didot yang nggak tega, buru-buru mengambil fotonya Doni, lalu dikasih ke Gendis yang diambilnya dari tangan Widi.
"Didot ngarti kok, kalau Gendis belum bisa ngalupain a Doni."
Setelah itu, Didot juga langsung ngomong ke Widi, "Wid, kita nggak bisa maksa Gendis."
Widi tetep kukuh, nggak terima nasihat dari Didot, Dan langsung marah-marah ke Gendis, yang untungnya nggak ada penonton lain selain temen kelompoknya, karena yang lain berkumpul semua di depan panggung.
"Doni! Dia aja terus yang ada di pikiran lo!"
"Sadar Ndis, dia itu udah mati! Dengan lo mikirin dia terus, emangnya dia bisa hidup lagi?"
"Kita perduli sama lo Ndis, kita kepingin lo lupain Doni dengan segala macem kesibukan. Sampai gue rela berantem sama lo, karena gue mau lo sadar Ndis!"
Gendis menggebrak meja sambil berteriak.
"Udah .... cukup!!"
"Coba lo ada di posisi gue, ngerasain susahnya di kondisi kayak gini," sergah Gendis, diikuti air matanya yang menetes.
Gendis menahan ucapannya, mengatur napasnya terlebih dulu, sebelum kemudian berbicara lagi, "gue nggak minta bantuan kalian, gue cuma butuh kalian ada terus sama gue dan nggak ninggalin gue kayak kak Doni."
"Cuma itu ...." tandas Gendis. Dan menjadi kata-kata terakhirnya Gendis, karena Gendis langsung nggak sadarkan diri.
🔜 Next ... 🔜
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments