Bab 16

"Kenapa kau tak datang ke mansion?" Sean membuka suara.

"Loh bukannya....."

Alana tak melanjutkan ucapannya. Alana tak mau mengatakan kalau Brandon lah yang melarangnya untuk datang. Ia tak ingin Sean salah paham dengan Brandon.

"Kenapa?" tanya Sean lagi.

"Gak papa. Sorry ya aku gak bilang kalau hari ini aku gak ke mansion. Soalnya aku ada urusan mendadak."

"Urusan apa?"

"Aku di undang makan malam di rumah mantan ku."

Sean mengernyitkan dahi. "Mantan mu? lalu untuk apa kau datang?"

"Kalau bukan karna papanya adalah teman papa ku, aku mungkin juga gak akan datang dan gak akan mau menginjakkan kaki di rumahnya." Alana menghela nafas pelan.

Sean, jangan ikut campur! biarkan gadis itu mengurus masalahnya sendiri. suara kepala Sean berbisik jelas.

"Sean..." panggil Alana.

"Ada apa?"

"Kenapa melamun?" tanya Alana yang menyadari Sean sempat termenung. Dari wajahnya, Alana tau pikiran pria itu sedang menerawang jauh.

Sean diam sesaat.

"Oiya berhenti lah memanggil ku sebaya. Usia ku jauh lebih tua dari mu." Sean mengalihkan pembicaraan.

"Percaya sih, soalnya kelihatan kalau wajah mu memang agak menua." Alana menahan tawa.

Sean yang tak terima seketika menoleh dan melemparkan tatapan tajam kepada Alana.

"Jadi aku harus memanggil mu dengan sebutan apa?" tanya Alana yang sama sekali tak takut dengan tatapan Sean.

"Uncle kah? oppa? atau bos?"

"Terserah kau saja!" Sean memalingkan wajah seraya menghela nafas. Percuma juga ia menunjukkan rasa kesalnya terhadap Alana. Gadis itu tak peduli.

"Gimana kalau uncle? kan usia kita jauh berbeda." Alana memberi saran. Ia menatap wajah Sean dengan antusias menunggu pria itu memberi jawaban.

Lagi-lagi Sean menghela nafas secara kasar.

"Apa bedanya aku dengan Kelvin padahal usia kami sama? Dasar tidak adil."

"Bilang dong kalau kau juga mau di panggil kak. Kak Sean." Alana kembali menahan tawa. Rasanya janggal jika ia memanggil Sean dengan sebutan seperti itu.

Sean malas meladeni. Ia hanya diam dan wajahnya terlihat datar.

"Oiya Sean, hm, maksudnya kak Sean, kita gak usah ke rumah sakit ya. Lagian ini juga udah gak sakit kok." ujar Alana seraya memegang pergelangan tangannya.

"Tapi bukan berarti sudah sembuh kan? pokoknya kita harus tetap ke rumah sakit!"

"Sejak kapan kau jadi mudah berempati begini?sok-sokan peduli lagi!"

Sean tersadar. Ucapan Alana mengingatkan akan dirinya yang kejam dan dingin.

"Ck.. siapa juga yang peduli, hah? aku membawa mu ke rumah sakit karna kau itu pelayan ku. Kalau lengan mu seperti itu bagaimana kau bisa menuangkan minuman untuk ku?" Sean mencari alasan.

"Iya-iya percaya." sahut Alana dengan nada mengejek.

Sean semakin gemas melihat Alana. Ingin rasanya ia menyentuh gadis itu. Merasakan kehangatan di sisinya.

Tak perlu waktu lama, mobil Sean pun tiba di rumah sakit. Tak ada percakapan apapun di antara mereka selama berjalan di koridor rumah sakit. Sean memimpin di depan, sedangkan Alana mengikuti langkah pria itu dari belakang.

Sean lalu masuk ke sebuah ruangan. Ia di sambut hangat oleh seorang dokter pria yang merupakan kenalannya. Setelah saling berjabat tangan dan berbasa-basi, dokter itu menyuruh Alana duduk di bed pasien agar memudahkannya untuk memeriksa kondisi lengan Alana.

"Kau yakin habis terjatuh?" dokter itu menatap Alana.

Alana mengangguk ragu. "I.. iya dok."

"Tapi tidak ada tanda-tanda terkilir pada lengan mu. Ini malah seperti bekas cengkraman tangan seorang pria." tukas dokter itu lagi seraya menunjukkan pergelangan tangan Alana pada Sean.

Dengan seksama Sean memperhatikan lengan Alana.

"Sekarang lebih baik kau jujur!" seru Sean yang membenarkan ucapan dokter.

"Aku... aku beneran jatuh kok."

"Sudah... sudah. Saya kompres sebentar ya. Lalu akan saya beri krim penghilang nyeri dan memar." Dokter berusaha menengahi.

Alana mengangguk.

Pergelangan Alana kini sudah mendapat pengobatan dari dokter. Bergegas Sean pamit dan segera meninggalkan rumah sakit. Sean tau Alana tak jujur. Ia kesal dengan gadis itu. Sean pun memilih berjalan terlebih dahulu dan memberi jarak antara ia dan Alana.

Alana yang tertinggal cukup jauh di belakang Sean malah terlihat santai. Seolah tak terjadi apapun kepadanya.

Sean masuk ke dalam mobil dan langsung memasang seatbelt ke tubuhnya secara kasar. Tak lama Alana menyusul. Gadis itu masuk ke dalam mobil. Melihat Sean sudah bersiap hendak melajukan mobilnya, Alana pun bergegas memasang seatbelt ke tubuhnya.

Namun Alana tampak kesusahan karna salah satu tangannya di beri perban elastis oleh dokter tadi. Sean berusaha acuh dan membiarkan gadis itu kesulitan sendirian.

Sean akhirnya tak tahan, ia mengalah pada ego nya dan hendak memasangkan seatbelt itu ke tubuh Alana.

"Kenapa gerak mu lambat sekali sih?" celetuk Sean ketus seraya merampas Seatbelt yang Alana pegang. Sean lalu memasangkannya ke tubuh Alana.

Nafas Alana tertahan ketika ia dan Sean tak berjarak sedikit pun. Pria itu sangat dekat dengannya. Bahkan nafas hangat Sean saja bisa Alana rasakan. Di tambah lagi aroma parfum maskulin Sean menguar bebas di indra penciuman Alana. Membuat jantung Alana semakin tak aman.

Alana merasa ada yang aneh dengan dirinya. Tak biasanya debaran di dada nya begitu cepat. Tubuh Alana membeku, ketika ia bisa merasakan sedikit sentuhan dari jemari Sean yang secara tak sengaja mengenai bagian dadanya.

Setelah selesai memasang seatbelt ke tubuh Alana, Sean langsung menarik diri. Ia tampak biasa saja. Dan dengan tenangnya langsung melajukan mobil meninggalkan parkiran rumah sakit.

"Pingin keluar dari mobil rasanya." gumam Alana sembari memegang dadanya yang berdebar hebat.

"Dasar aneh...!" sahut Sean yang mendengar.

Tanpa Sean ketahui, ternyata ada sebuah mobil yang sejak tadi mengintai dari jarak jauh. Bahkan mobil itu mengikuti mobil Sean saat ini. Sean lengah, begitu pun dengan anak buahnya yang sejak tadi menjaga dan mengawalnya dari belakang.

Mereka sama sekali tidak ada yang menyadari keberadaan musuh mereka. Andai Sean tak di kawal oleh anak buahnya, mungkin ia akan di serang kembali.

**

Malam harinya di saat Sean dan anak buahnya tengah menikmati makan malam, Alana melenggang begitu saja melewati meja makan.

Sean seketika menghentikan aktifitas makannya. "Kau mau ke mana?" tanyanya.

"Kan tadi siang udah aku jelasin." jawab Alana santai.

"Memang harus sekali ya kau pergi? tangan mu itu masih sakit."

"Gak kok. Ini udah baikan."

"Ya udah aku pergi ya." sambung Alana.

Sean hanya mengangguk. Raut wajahnya terlihat datar. Namun mata Sean tak bisa berbohong jika ia mengkhawatirkan Alana.

Sebenarnya Sean ingin mengantarkan Alana. Atau pun ia ingin menyuruh salah satu anak buahnya untuk mengawasi Alana.

Namun Sean sama sekali tak bisa melakukan hal itu. Malam ini ia dan para anak buahnya akan mengirim ribuan paket yang berisi obat-obatan terlarang ke seluruh penjuru benua. Ya, Sean adalah pengedar obat-obatan terlarang terbesar yang pernah ada.

Meskipun begitu, Sean sama sekali tak pernah mengkonsumsi benda terlarang itu. Bahkan Sean juga melarang keras anak buahnya agar tak mencicipi benda yang membuat candu dan bisa menyebabkan kegilaan itu.

Jika salah satu anak buahnya melanggar pintahnya, maka Sean tak segan-segan menghabisi nyawa anak buahnya tersebut. Untuk itu lah sampai sekarang tidak ada satu pun anak buah Sean yang berani merasakan benda terlarang yang merupakan aset terbesar bagi geng Sean. Walau rasa penasaran kerap kali menggrogoti benak mereka.

Dengan menaiki taksi, Alana akhirnya tiba di rumah mewah yang tak lain adalah rumah keluarga Jonathan. Ia melangkahkan kaki memasuki pelataran rumah yang cukup luas itu. Setiba di depan pintu, Alana langsung di sambut hangat oleh Iren, mama Jonathan.

Iren lalu mempersilahkan Alana masuk dan mengatakan agar Alana tak perlu canggung berada di rumah mereka. Alana hanya tersenyum. Ia sudah tidak bisa berkata-kata. Alana merasa bodoh, membiarkan dirinya di manfaatkan oleh Jonathan.

"Kamu sudah datang Al." ujar Antonio ramah saat menyambut Alana bahkan ia tersenyum sumringah.

"Iya om." Alana terpaksa mengulas senyum.

"Ayo duduk Al, tante sudah siapkan makan malam yang tidak kalah dengan restoran bintang 5." sambung Iren seraya menarik kursi di samping kiri nya.

"Aduh, gak perlu repot-repot tante. Saya jadi gak enak." sahut Alana sembari duduk di samping Iren.

"Tidak apa Al, menyambut calon menantu memang harus pernuh persiapan." tukas Antonio menimpali.

Lagi-lagi Alana hanya tersenyum.

"Tamu kita udah datang ma." Jonathan menghampiri meja makan. Dan tanpa merasa bersalah sedikit pun, Jonathan mengambil posisi duduk tepat di depan mamanya.

"Karna Jo sudah datang, mari kita menikmati makan malam buatan calon mama mertua kamu Al." seru Antonio dengan semangat. Tampaknya ia berharap besar bisa berbesan dengan David.

"Iya om." sahut Alana.

"Tante ambilkan ya untuk kamu." ujar Iren hendak berdiri dari duduknya.

"Oh gak usah tante, saya ambil sendiri aja." cegah Alana.

Iren mengangguk sembari tersenyum. Namun menurut Alana senyum Iren yang di paksa malah terlihat aneh di matanya. Entah lah, sepertinya mamanya Jonathan tidak begitu menyukai Alana.

"Tangan kamu kenapa itu Al? kok di perban?" tanya Antonio yang baru menyadari.

Alana tergugup karna tatapan Jonathan seperti mengintimidasi nya.

"Hmm... ini om.. tadi.. pas di kampus saya jatuh dari tangga."

"Ya ampun Al, kamu kok bisa jatuh sih?memang ada-ada saja ya tingkah calon menantu om ini." Antonio tertawa kecil.

Di ikuti oleh Iren yang tertawa tapi seolah di paksa. Sedangkan Jonathan hanya menyunggingkan senyum sinis.

"Oiya Al, sebenarnya om menyuruh kamu datang ke sini karna om ingin membahas soal perjodohan kamu dengan Jo." sambung Antonio.

"Pa, kita kan sedang menikmati makan malam. Bagaimana kalau nanti saja kita membahas hal itu?" ujar Iren.

"Iya pa, takut Alana jadi gak nyaman." Jonathan membuka suara.

Bener-bener ya sih Jonathan. Dasar manusia bermuka dua !

Alana diam sejenak. Namun tidak dengan hatinya yang mengumpat kesal.

"Maaf om, tante, sepertinya kita gak perlu lagi membahas soal perjodohan ini." tegas Alana memberanikan diri.

"Loh memangnya kenapa Al?" tanya Antonio yang terlihat kecewa.

"Maaf om saya gak mau di jodohkan sama Jonathan. Sebenarnya saya dan Jonathan sempat berpacaran sebelum ada perjodohan ini, om, tante. Saya dulu memang menyukai dan mencintai Jonathan. Tetapi anak om dan tante malah berselingkuh dengan teman sekelas saya lalu Jo memilih meninggalkan saya begitu aja.

Jadi saya rasa, saya gak punya alasan apapun lagi untuk menerima Jo, apalagi sampai menyetujui perjodohan yang papa dan om rencanakan." jelas Alana yang sudah memantapkan hati untuk membongkar kelakuan minus Jonathan.

Bak di sambar petir, Antonio terdiam dan membeku di tempatnya. Wajahnya yang terlihat ramah berubah seketika. Rahangnya mulai mengeras, tangannya yang berada di atas meja makan mengepal keras. Ada amarah yang terlihat jelas di mata Antonio.

Sama dengan Antonio, Iren kini membatu seraya memegang dadanya yang terasa sesak, ia terkejut bukan main dengan pengakuan Alana. Dan Jonathan bahkan tak berkutik sedikit pun. Ia hanya menatap Alana penuh dendam.

"Kalau begitu saya permisi ya om, tante. Saya udah gak ada alasan lagi berlama-lama di sini. Selamat malam om, tante." Alana bangkit dari kursinya dan segera pergi dari rumah milik keluarga Jonathan.

"Kurang ajar!" Iren murka sembari memukul meja makan.

"Kalau bukan karna dia anaknya David, mama tidak akan sudi dan tidak akan mau menerima gadis seperti itu menjadi menantu mama. Cantik sih dia, tapi cara berpakaiannya aneh dan sama sekali tidak ada anggun-anggunnya." pekik Iren dengan wajahnya yang merah padam menahan amarah.

Antonio masih diam. Pupus sudah harapannya memiliki seorang menantu dari anak konglomerat dan kaya raya.

"Ini semua gara-gara kamu Jonathan!" ujar Antonio datar seraya menatap tajam ke arah anaknya.

Seperginya Alana, Jonathan pun menjadi tempat pelampiasan amarah kedua orang tuanya. Jonathan hanya menunduk tak berani menyelah dan membantah.

"Awas kau Alana. Lihat aja akan ku balas perbuatan mu." monolog Jonathan dalam hati.

Ada perasaan lega yang menjalar di hati Alana ketika ia berhasil membongkar kebusukan Jonathan kepada keluarganya sendiri. Alana tak mau di tindas dan di manfaatkan lagi oleh Jonathan. Perihal papanya akan marah setelah ini, Alana tak peduli. Baginya yang terpenting adalah menjauhkan diri dari keluarga toxic seperti keluarga Jonathan.

Alana menunggu taksi tak jauh dari rumah Jonathan. Namun cukup lama waktu berlalu, tak ada satu pun taksi yang lewat. Alana mendengus kesal, padahal ia sangat lelah dan ingin segera beristirahat.

Tiba-tiba sebuah mobil lewat dan berhenti di depan Alana. Alana pikir itu Sean. Namun ia keliru. Dua orang pria memakai penutup wajah keluar dari dalam mobil dan langsung menyekap mulut Alana menggunakan sebuah sapu tangan yang sudah di beri obat bius. Alana tak sadarkan diri seketika, ke dua pria itu pun bergegas membawa Alana ke dalam mobil.

**

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!