Bab 14

Cukup lama Alana dan Kelvin berbincang di bangsal tempat Sean di rawat. Hingga dini hari Kelvin pun memutuskan untuk pulang karna esok ia akan melakukan perjalanan bisnis keluar kota.

"Kau benar tidak pulang Al?" Kelvin memastikan sekali lagi.

Alana mengangguk yakin seraya tersenyum.

"Yasudah, aku pulang dulu ya. Tolong jaga Sean. Jika dia sudah sadar, cepat kabari aku."

"Pasti kak."

Kelvin pun berlalu dari ruangan Sean. Kini suasana ruangan tersebut terasa sunyi. Apalagi Cleo dan beberapa rekannya sudah pergi sejak tadi. Mereka masih menyelidiki dan mencari tau siapa dalang di balik peristiwa yang menimpa Sean.

Malam semakin larut dan rasa kantuk mulai menyapa Alana. Ia merebahkan kepalanya di samping tubuh Sean. Alana sengaja tak meninggalkan Sean. Ia ingin tetap berada di dekat Sean hingga pria itu sadar dari kritisnya.

Di saat Alana sudah terlelap, perlahan Sean mulai membuka kedua matanya. Dengan pandangan yang masih samar, Sean berusaha membuka nebulizer oksigen yang masih melekat di sebagian wajahnya.

Sean tersentak saat mendapati Alana tertidur pulas di sampingnya. Ia tersenyum lemas seraya mengusap rambut Alana dengan lembut. Sedekat itu dengan Alana, membuat sakit di tubuhnya seakan hilang begitu saja.

**

Mentari pagi mulai menampakkan diri di ufuk timur. Semburat jingga yang menyala, perlahan memudarkan guratan hitam di langit. Cahaya hangatnya bahkan masuk dan menembus kaca jendela yang berada di bangsal Sean.

Alana terbangun seraya membuka matanya perlahan. Lalu ia menegakkan kepalanya dan meraba tengkuknya yang terasa kaku.

"Kau sudah bangun?" suara serak Sean mengagetkan Alana.

Mata Alana seketika terbuka lebar. Ia menatap ke arah Sean dengan raut wajah tak percaya.

"Kau udah sadar? aku panggilkan dokter ya!" ujar Alana sembari bangkit dari kursi.

"Jangan pergi!" sahut Sean seraya menahan lengan Alana.

"Sean, aku harus memanggil dokter."

"Setelah itu jangan pergi ya."

Alana hanya mengangguk. Sean pun melepaskan lengan Alana. Alana lalu berlari ke luar ruangan untuk menemui dokter yang merawat Sean. Tak lama, Alana kembali bersama seorang dokter wanita.

Dokter itu segera memeriksa keadaan Sean. Ia cukup takjub dengan Sean yang ternyata pulih lebih cepat dari dugaannya.

"Bagaimana keadaan bos Sean dok?" tanya Brandon yang baru selesai sarapan di kafetaria rumah sakit.

"Keadaan Sean sudah membaik. Hanya saja dia memerlukan waktu beberapa bulan untuk pulih. Syukurnya bagian vital Sean aman dan tidak ada yang terluka. Jadi kalian tidak perlu terlalu cemas." jelas dokter.

"Kalau begitu saya permisi." sambung dokter.

"Baik dok, terimakasih." sahut Brandon.

Dokter itu hanya tersenyum lalu keluar dari ruangan Sean.

"Bos, syukurlah bos sudah sadar." ujar Brandon memasang raut wajah haru.

"Aku beri tau yang lain ya bos." sambungnya.

"Nanti saja. Aku masih ingin beristirahat." kata Sean datar.

"Baik lah bos. Aku akan menjaga di sini."

"Tidak usah. Aku tau kau pasti lelah. Kembali lah ke mansion."

"Tapi bos..."

"Bukannya yang lain sedang menjaga di luar ruangan ku?"

"Benar bos."

"Kalau begitu pulang lah. Biar mereka saja yang menjaga ku."

"Baik lah bos." Brandon membungkuk setengah badan lalu keluar dari ruangan tersebut.

"Aku pikir kau sudah kembali ke rumah mu." ujar Sean seraya melirik Alana yang sejak tadi hanya berdiri di samping bed pasien.

"Mana mungkin aku kembali ke rumah, sementara aku udah terikat janji selama 3 bulan dengan mu." sahut Alana.

"Kalau kau ingin pulang, tak apa. Aku tidak akan melarang mu lagi."

"Dasar gak konsisten. Tadi kau menyuruh ku untuk jangan pergi, nah sekarang kau malah menyuruh ku untuk pulang."

Sean pun tertawa kecil. "Jadi kau ingin tetap tinggal di mansion atau pulang?"

Ternyata Sean ganteng juga ya kalau tertawa.

"Alana..."

"Hah? iya?"

"Kau ingin tetap di mansion atau pulang?"

"Kayaknya sih aku lebih milih tinggal di mansion."

"Kau yakin? bagaimana dengan orang tua mu?"

Alana diam sejenak.

"Aman. Kau tenang aja."

"Sepertinya hubungan David dan Alana sedang tidak baik-baik saja." batin Sean. Namun ia tak mau menanyakan apapun kepada Alana.

"Permisi.." seorang suster masuk ke ruangan Sean untuk mengantarkan sarapan pagi.

"Iya silahkan" sahut Alana.

"Mbak setelah sarapan nanti, suaminya jangan lupa minum obat ya." ujar suster itu sembari meletakkan beberapa jenis makanan ke atas meja.

"Tapi sus, pasien ini bukan...."

"Kalau begitu saya permisi." Suster itu mengundurkan diri sebelum Alana menyelesaikan ucapannya.

"Suami? bisa-bisanya tuh suster bilang kalau Sean... ah.. udah lah." gerutu Alana kesal seraya menghampiri meja yang berada di dekat pintu masuk.

"Sean, mau sarapan bubur atau roti?" tanya Alana sembari menoleh ke belakang.

"Bubur saja." jawab Sean.

Alana mengambil semangkuk bubur lalu membawanya.

"Ini makan lah." ucap Alana sembari meletakkan bubur itu di atas pangkuan Sean.

"Oh jadi suami nya di suruh makan sendiri ini?" goda Sean.

"Apaan sih? udah cepetan makan."

"Mana bisa Al. Kau lihat kan tangan ku sedang di infus." Sean menunjukkan tangan kanannya kepada Alana.

"Ck.. yaudah sini." Alana mengambil mangkuk itu dari pangkuan Sean.

"Cepat buka mulutnya." ujar Alana yang sudah menyodorkan sesendok bubur di mulut Sean.

"Nah pinter. Gitu dong." sambung Alana lagi ketika Sean mulai melahap bubur.

Hati Sean yang keras dan beku perlahan mencair dengan hadirnya Alana. Rasa empati yang sempat menghilang, kini seolah kembali muncul ke permukaan. Sean yang dulunya begitu acuh dan angkuh dengan semua wanita yang mendekatinya, kini pertahanannya hancur ketika melihat wajah Alana, terlebih senyum dan mata indah gadis itu.

"Al..." panggil Sean.

"Kenapa?"

"Aku senang bisa bertemu dengan mu lagi."

Alana mengerutkan kedua alisnya. "Jangan bilang kalau sebenarnya kau itu rindu dengan ku!!" celetuk Alana percaya diri.

"Siapa yang rindu?" Sean mengelak.

"Udah lah jujur aja."

"Terserah!" sahut Sean ketus.

Sean memang merindukan Alana. Selain itu ia juga senang bisa bertemu Alana untuk yang kedua kali nya.

Alana mungkin sudah melupakan bahwa dulunya ia pernah bertemu dengan Sean. Namun tidak dengan Sean, pria itu masih mengingat dengan jelas pertemuan mereka 10 tahun lalu. Dimana saat itu Alana masih duduk di bangku sekolah dasar. David pernah beberapa kali membawa Alana untuk menemui Sean.

Waktu itu Sean masih berusia 23 tahun dan baru saja menyelesaikan kuliahnya. Di usia nya yang masih terbilang muda, Sean memutuskan untuk mulai terjun ke dunia bisnis. Hingga Louis, papanya Sean mengenalkannya kepada David agar David mau membantu Sean.

David tak hanya seorang rekan bisnis bagi Louis, pria itu juga sudah di anggap seorang adik bagi Loius yang usianya lebih tua beberapa tahun dari David. Sebegitu sayangnya Louis kepada David, hingga ia mempercayakan Sean kepada pria yang akhirnya malah menghancurkan kehidupan anak sulungnya itu.

"Sean..."

Sean tersentak saat Alana beberapa kali memanggilnya. Ia hampir terhanyut akan kenangannya dulu saat pertama kali ia mengenal David dan juga Alana.

"Mau sarapan atau melamun?" sekak Alana yang masih menunggu Sean membuka mulutnya lagi. Seketika Sean melahap bubur yang sudah Alana sodorkan. Entah lah, entah kenapa Sean menurut begitu saja.

"Sudah Al. Aku sudah kenyang." ujar Sean sehabis menelan bubur.

"Tapi baru 3 sendok loh. Ayo 1 sendok lagi."

Sean menggeleng.

"Nurut gak?" ancam Alana.

Dengan terpaksa, lagi-lagi Sean membuka mulutnya.

Sementara di balik pintu, Brandon yang sejak tadi berdiri hanya bisa menyaksikan kedekatan Sean dengan Alana. Brandon seakan tak mengenali bosnya tersebut. Bagaimana tidak, selama 5 tahun ia tinggal bersama Sean baru sekali ini lah ia melihat wajah pria itu tampak sumringah.

Bahkan tatapan kejam dan auranya yang dingin kini tak terlihat sama sekali. Sean seolah menjadi orang lain yang berbeda, yang belum Brandon kenali.

"Kau sedang apa? bukannya bos menyuruh mu kembali ke mansion?." tanya salah satu rekan Brandon.

"Aku tak tenang meninggalkan bos begitu saja." jawab Brandon dengan pandangannya masih ke dalam ruangan.

"Percaya kan kepada kami. Kami pasti akan menjaga bos dengan baik."

Brandon tak menjawab.

"Brandon.."

"Iya aku akan pulang." Brandon pun memalingkan wajah dari kaca persegi yang berada di pintu ruangan Sean.

"Semenjak ada gadis itu, bos tampak berubah ya.." ujar rekan Brandon yang kini menatap ke dalam ruangan.

"Berubah bagaimana maksud mu?" Brandon mengeryitkan dahi.

"Memangnya kau tidak menyadari? setelah ada gadis itu bos jadi tidak pernah lagi membawa wanita ke mansion, bos juga sering tidak ikut berpesta minuman dengan kita. Dan satu lagi, ekspresi bos Sean sekarang tampak lebih bahagia. Apa bos lupa ya kalau gadis itu hanya lah alat untuk membalas dendam kepada musuhnya."

"Shhuuttt..." Brandon dengan cepat menaruh telunjuk di bibirnya.

"Jaga bicara mu. Jangan sampai gadis itu mendengarnya." sambung Brandon.

"Maaf aku lupa."

"Ingatkan seluruh anggota geng bahwa jangan sampai ada yang membocorkan hal itu kepada Alana. Karna kalau gadis itu sampai tau, habis lah kita."bisik Brandon.

"Baik lah."

"Yasudah. Aku pergi, jaga bos Sean. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan cepat hubungi aku."

Brandon pun pergi dari rumah sakit. Di dalam mobil, sembari menyetir ia tampak termenung.

"Bagaimana kalau aku sampai menyukai gadis itu ya? apa bos Sean akan membenci ku?" monolog Brandon.

Selesai membereskan sisa sarapan Sean, Alana langsung mengambil ponselnya. Ia ingin memberi kabar kepada Kelvin bahwa Sean sudah sadar dari kritisnya. Alana fokus mengetik hingga membuat Sean menaruh curiga kepadanya.

"Ngetik pesan untuk siapa? kekasih mu?" tanya Sean tanpa menoleh ke arah Alana yang duduk di sebelahnya.

"Ih..kepo ya?"

"Siapa juga yang...."

"Aku itu gak punya pacar. Makanya cariin dong." Alana tersenyum lebar.

"Kau ini..! Sudah sana sarapan."

"Iya sebentar." Alana kembali mengetik pesan di ponselnya.

Sean tak suka di bantah. Dengan cepat ia merampas ponsel di tangan Alana.

"Sean... kembalikan!"

Sean tak menggubris. Ia malah melihat pesan singkat yang di ketik Alana sejak tadi.

"Jadi kau ingin memberi tau Kelvin?"

"Iya lah. Makanya jangan curigaan mulu. Udah di bilang juga aku gak punya pacar."

"Oiya kau ingat kan saat kita ketemu di club malam pertama kali, nah waktu itu aku abis putus sama pacar ku. Dia yang selingkuh, eh malah aku yang di tinggalin." sambung Alana seraya memasang raut wajah memelas.

"Kau itu polos atau bodoh sih?"

"Memang gak ada respect nya nih orang.Pake ngatain bodoh segala lagi!" gumam Alana kesal.

"Lagi pula untuk apa kau melampiaskan kekecewaan mu dengan minuman beralkohol sampai kau mabuk! seharusnya dia yang menderita, bukan kau!!"

Alana terdiam. Benar kata Sean seharusnya Jonathan lah yang menderita bukan dirinya.

**

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!