Cewek Gila Vs Cowok Sok Kull

Cewek Gila Vs Cowok Sok Kull

Tugas Laporan Hasil Paktikum Biologinya Rusak?!!

[Udah selesai, Ray, tugas laporan hasil praktikum biologinya?] tanya Rissa lewat chat.

[Udah, Riss. Ini gue baru mau tidur.]

Balasan singkat itu dikirim Raisya setelah ia selesai menyelesaikan tugas yang akan dikumpulkan esok hari. Ia merasa lega, tapi juga cemas—guru biologi di sekolahnya terkenal galak, bahkan disebut-sebut sebagai guru killer. Sedikit saja telat, bisa berujung omelan panjang dan nilai yang melayang.

Setelah menutup laptopnya, Raisya merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk di kamarnya yang luas. Udara AC yang dingin bertabrakan dengan kulitnya yang masih hangat karena begadang.

[Oh iya, Ray. Jangan begadang lagi, ya.]

[Iya, Ris.]

Raisya sengaja membalas singkat. Ia tahu betul sifat Rissa yang mudah khawatir, terutama pada orang-orang yang ia sayangi.

Ponsel ia letakkan di meja nakas. Ia menarik selimut dan memejamkan mata. Tapi, alih-alih tidur, pikirannya justru berkelana. Wajah seorang laki-laki tiba-tiba muncul di benaknya—dengan tahi lalat kecil di samping bibirnya, yang justru membuatnya terlihat manis. Sangat manis.

“Hah?! Apaan sih? Ngapain juga akhir-akhir ini gue mikirin dia terus?” gerutunya sambil membuka mata dan menatap langit-langit kamar. “Ingat, Ray. Lu tuh sukanya sama Gibran, kan?! Aaaaakh! Entahlah. Mending tidur aja!”

Namun jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menekan dadanya pelan.

“Nih jantung kenapa, dah?! Aneh banget. Perasaan gue nggak punya riwayat penyakit jantung! Aakhhh! Sialan! Kenapa gue jadi mikirin dia terus, sih?!”

Untung saja kamarnya kedap suara. Seandainya tidak, mungkin seluruh isi rumah sudah panik mendengar teriakannya.

Akhirnya, setelah beberapa saat berguling-guling di atas ranjang, Raisya pun terlelap.

 

Raisya Feronika Cody adalah satu-satunya anak dari pasangan Robert Federlic Cody dan Angelina Violin Chontessa. Sang Ayah adalah Presiden Direktur perusahaan elektronik raksasa, Cody Electron, sedangkan ibunya merupakan putri tunggal dari pemilik sekolah elite SMA Garuda—tempat Raisya menempuh pendidikan.

Tak hanya itu, kakek dari pihak ibu, Farlen Chontessa, adalah pemilik Chontessa Group, industri makanan terbesar di Indonesia. Latar belakang keluarganya ibarat kisah dari majalah bisnis—berkelas, kuat, dan nyaris tak tersentuh.

Papa Robert adalah keturunan Jawa-Amerika, sedangkan Mama Angel berdarah Jawa-Inggris. Kombinasi darah biru dan kecerdasan yang mengalir dalam tubuh Raisya.

 

Alarm berdering nyaring tepat pukul lima pagi. Raisya terbangun, lalu berjalan menuju kamar mandi. Usai mandi, ia mengenakan kaos pink dan celana pendek hitam dengan lis putih. Ia mengambil wudhu, lalu melaksanakan shalat subuh dengan mukena hitam dan sajadah birunya yang lembut.

Sejak kecil, Raisya dibiasakan disiplin dalam hal ibadah. Tak peduli sesibuk apa pun, shalat lima waktu harus tetap dilaksanakan.

Selesai shalat, ia mengenakan seragam hari Kamis. Batik biru muda dan rok hitam di atas lutut. Ia merias wajah dengan riasan tipis—hanya sedikit cushion dan lip tint.

Masih ada waktu sebelum sarapan. Ia menyalakan drama Korea kesayangannya dan menonton satu episode sambil rebahan.

Setelah setengah jam, ia turun ke lantai satu. Di ruang makan, Papa Robert sudah duduk siap menyantap sarapan. Mama Angel sedang menata makanan di meja.

“Pagi, Ma. Pagi, Pa,” sapa Raisya sambil tersenyum.

“Pagi, princess-ku,” jawab Papa Robert hangat.

“Iya, pagi juga sayang,” sambung Mama Angel sambil bergabung duduk di meja makan.

Meski memiliki asisten rumah tangga, Mama Angel senang turun tangan langsung di dapur saat sedang santai.

Usai sarapan, mereka bersiap berangkat dengan mobil masing-masing. Sebelum berangkat, Raisya mencium tangan kedua orang tuanya.

“Ray berangkat dulu ya, Ma, Pa.”

“Hati-hati ya, nak. Jangan berkelahi lagi,” pesan Mama Angel.

“Iya, princess. Kamu tuh anak perempuan. Harusnya anggun dan tenang. Jangan main pukul,” tambah Papa Robert sambil mengelus kepala putrinya.

“Yah... jugaan kalau mereka duluan yang cari masalah, Pa,” gumam Raisya sambil masuk ke mobil.

Pak Dedi, sopir keluarga mereka, sudah siap.

“Silakan, Non. Sudah waktunya,” ucapnya ramah.

Sepanjang perjalanan ke sekolah, Raisya hanya sibuk dengan ponselnya. Ia mengabari Oliv dan Rissa bahwa dirinya sedang dalam perjalanan.

 

Begitu tiba di sekolah, Oliv dan Rissa sudah menunggunya di depan gerbang sekolah.

“Pagi, Tuan Putri~” sapa mereka sambil membungkuk ala ksatria.

“Apaan sih, kalian!” omel Raisya.

“Lah, kan kita lagi nyambut putri dari CH Group,” celetuk Oliv.

“Jangan panggil gue tuan putri!!” seru Raisya, kesal.

Matahari pagi terasa menyengat.

“Ugh, panas banget. Jadi males sekolah,” keluh Raisya sambil melangkah cepat.

“Masih mending bisa jalan, sehat,” sahut Oliv.

“Mulai deh, ceramahnya,” balas Raisya.

Rissa hanya terkekeh melihat dua sahabatnya beradu mulut.

 

Sesampainya di kelas, Raisya langsung duduk dan mengeluarkan tugas praktikumnya.

“Nih! Katanya mau liat, kan?” serunya sambil melemparkan tugas ke arah Oliv.

“Wih! Tumben niat banget, Ray!” seru Oliv.

“Bacot lu, Liv,” ketus Raisya.

Bel tanda pelajaran pun berbunyi.

“Nanti pulang sekolah temenin gue belanja, ya?” kata Oliv.

“Tapi traktir,” jawab Raisya.

“Iya-iya.”

“Eh, nginep di rumah gue yuk! Orangtuaku lagi ke luar negeri,” ajak Oliv antusias.

“Boleh, gue izin dulu deh,” jawab Raisya.

“Sekalian belanja camilan, makanya temenin,” balas Oliv.

Mereka terus mengobrol sebelum guru datang.

 

Pelajaran pertama adalah Bahasa Indonesia. Suara Ibu Dewi begitu lembut, membuat satu kelas seperti sedang dilagukan nina bobo. Beberapa siswa bahkan tertidur.

Saat bel istirahat berbunyi, ketiganya langsung menuju kantin.

Begitu sampai, seperti biasa, kerumunan tak beraturan.

Oliv punya ide.

“AIR PANAS! MINGGIR, AIR PANAS!!!” teriaknya.

Siswa-siswa pun menyingkir panik.

Oliv memesan makanan untuk ketiganya, sementara Raisya dan Rissa duduk sambil terkekeh.

“Gue kenapa bisa punya temen gila, ya,” ucap Rissa.

“Berarti gue juga dong?” tanya Raisya.

“Lu malah paling gila!” seru Rissa.

Oliv kembali membawa makanan.

“Makasih, bestie~” ucap mereka berdua serempak.

 

Sementara itu di kelas, Ivan, Aldo, dan Zevan sedang duduk santai. Tiga bocah bandel itu memang langganan ruang BK.

“Wih, punya Raisya udah jadi, nih,” kata Ivan.

“Jangan, nanti lu dibunuh!” cegah Zevan.

“Gue cuma nyentuh,” ucap Ivan santai.

Tiba-tiba Aldo menyambar dan membuka tugas itu.

 

Raisya kembali ke kelas dan langsung terpaku melihat tugasnya di tangan Aldo.

“WOI, ANJ*NG!!!” teriaknya.

Aldo yang kaget, tersedak minumannya dan air pun tumpah ke tugas Raisya.

‘PLAK!’

Tamparan keras mendarat di pipi Aldo. Ia jatuh dari kursinya. Raisya mencengkeram dasinya, menariknya kasar.

“SIAPA YANG IZININ LU PEGANG TUGAS GUE?! GUE BIKIN SUSAH-SUSAH!! BISA GANTI?!!”

Dengan mata memerah, Raisya mendorong Aldo hingga jatuh. Aldo mencoba melawan, tapi justru terkena cakaran di tangannya.

Kesadaran Raisya baru kembali saat melihat tangan Aldo berdarah. Ia berlari keluar menuju kamar mandi, menyesali perbuatannya.

“Aishh.....” gumamnya, menahan tangis.

 

Ibu Betty masuk ke kelas. Suaranya nyaring dan galak.

“Cepat kumpulkan laporan biologi!”

Raisya maju dan melapor.

“Bu, tugas saya dirusak Aldo.”

“ALASAN! BILANG AJA NGGAK BUAT!”

“Nih, Bu. Lihat sendiri!” potong Oliv dengan kesal.

Ibu Betty pun menyuruh panggil Aldo.

“Aldo ke UKS, Bu,” sahut Rissa.

“Suruh dia ke ruang saya!”

 

Pelajaran pun berlanjut. Bel istirahat kedua berbunyi. Trio judes itu kembali ke kantin. Meski tugas mereka hancur, kekompakan dan kelucuan mereka tetap tak tergantikan.

***********

BERSAMBUNG

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!