NovelToon NovelToon

Cewek Gila Vs Cowok Sok Kull

Tugas Laporan Hasil Paktikum Biologinya Rusak?!!

[Udah selesai, Ray, tugas laporan hasil praktikum biologinya?] tanya Rissa lewat chat.

[Udah, Riss. Ini gue baru mau tidur.]

Balasan singkat itu dikirim Raisya setelah ia selesai menyelesaikan tugas yang akan dikumpulkan esok hari. Ia merasa lega, tapi juga cemas—guru biologi di sekolahnya terkenal galak, bahkan disebut-sebut sebagai guru killer. Sedikit saja telat, bisa berujung omelan panjang dan nilai yang melayang.

Setelah menutup laptopnya, Raisya merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk di kamarnya yang luas. Udara AC yang dingin bertabrakan dengan kulitnya yang masih hangat karena begadang.

[Oh iya, Ray. Jangan begadang lagi, ya.]

[Iya, Ris.]

Raisya sengaja membalas singkat. Ia tahu betul sifat Rissa yang mudah khawatir, terutama pada orang-orang yang ia sayangi.

Ponsel ia letakkan di meja nakas. Ia menarik selimut dan memejamkan mata. Tapi, alih-alih tidur, pikirannya justru berkelana. Wajah seorang laki-laki tiba-tiba muncul di benaknya—dengan tahi lalat kecil di samping bibirnya, yang justru membuatnya terlihat manis. Sangat manis.

“Hah?! Apaan sih? Ngapain juga akhir-akhir ini gue mikirin dia terus?” gerutunya sambil membuka mata dan menatap langit-langit kamar. “Ingat, Ray. Lu tuh sukanya sama Gibran, kan?! Aaaaakh! Entahlah. Mending tidur aja!”

Namun jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menekan dadanya pelan.

“Nih jantung kenapa, dah?! Aneh banget. Perasaan gue nggak punya riwayat penyakit jantung! Aakhhh! Sialan! Kenapa gue jadi mikirin dia terus, sih?!”

Untung saja kamarnya kedap suara. Seandainya tidak, mungkin seluruh isi rumah sudah panik mendengar teriakannya.

Akhirnya, setelah beberapa saat berguling-guling di atas ranjang, Raisya pun terlelap.

 

Raisya Feronika Cody adalah satu-satunya anak dari pasangan Robert Federlic Cody dan Angelina Violin Chontessa. Sang Ayah adalah Presiden Direktur perusahaan elektronik raksasa, Cody Electron, sedangkan ibunya merupakan putri tunggal dari pemilik sekolah elite SMA Garuda—tempat Raisya menempuh pendidikan.

Tak hanya itu, kakek dari pihak ibu, Farlen Chontessa, adalah pemilik Chontessa Group, industri makanan terbesar di Indonesia. Latar belakang keluarganya ibarat kisah dari majalah bisnis—berkelas, kuat, dan nyaris tak tersentuh.

Papa Robert adalah keturunan Jawa-Amerika, sedangkan Mama Angel berdarah Jawa-Inggris. Kombinasi darah biru dan kecerdasan yang mengalir dalam tubuh Raisya.

 

Alarm berdering nyaring tepat pukul lima pagi. Raisya terbangun, lalu berjalan menuju kamar mandi. Usai mandi, ia mengenakan kaos pink dan celana pendek hitam dengan lis putih. Ia mengambil wudhu, lalu melaksanakan shalat subuh dengan mukena hitam dan sajadah birunya yang lembut.

Sejak kecil, Raisya dibiasakan disiplin dalam hal ibadah. Tak peduli sesibuk apa pun, shalat lima waktu harus tetap dilaksanakan.

Selesai shalat, ia mengenakan seragam hari Kamis. Batik biru muda dan rok hitam di atas lutut. Ia merias wajah dengan riasan tipis—hanya sedikit cushion dan lip tint.

Masih ada waktu sebelum sarapan. Ia menyalakan drama Korea kesayangannya dan menonton satu episode sambil rebahan.

Setelah setengah jam, ia turun ke lantai satu. Di ruang makan, Papa Robert sudah duduk siap menyantap sarapan. Mama Angel sedang menata makanan di meja.

“Pagi, Ma. Pagi, Pa,” sapa Raisya sambil tersenyum.

“Pagi, princess-ku,” jawab Papa Robert hangat.

“Iya, pagi juga sayang,” sambung Mama Angel sambil bergabung duduk di meja makan.

Meski memiliki asisten rumah tangga, Mama Angel senang turun tangan langsung di dapur saat sedang santai.

Usai sarapan, mereka bersiap berangkat dengan mobil masing-masing. Sebelum berangkat, Raisya mencium tangan kedua orang tuanya.

“Ray berangkat dulu ya, Ma, Pa.”

“Hati-hati ya, nak. Jangan berkelahi lagi,” pesan Mama Angel.

“Iya, princess. Kamu tuh anak perempuan. Harusnya anggun dan tenang. Jangan main pukul,” tambah Papa Robert sambil mengelus kepala putrinya.

“Yah... jugaan kalau mereka duluan yang cari masalah, Pa,” gumam Raisya sambil masuk ke mobil.

Pak Dedi, sopir keluarga mereka, sudah siap.

“Silakan, Non. Sudah waktunya,” ucapnya ramah.

Sepanjang perjalanan ke sekolah, Raisya hanya sibuk dengan ponselnya. Ia mengabari Oliv dan Rissa bahwa dirinya sedang dalam perjalanan.

 

Begitu tiba di sekolah, Oliv dan Rissa sudah menunggunya di depan gerbang sekolah.

“Pagi, Tuan Putri~” sapa mereka sambil membungkuk ala ksatria.

“Apaan sih, kalian!” omel Raisya.

“Lah, kan kita lagi nyambut putri dari CH Group,” celetuk Oliv.

“Jangan panggil gue tuan putri!!” seru Raisya, kesal.

Matahari pagi terasa menyengat.

“Ugh, panas banget. Jadi males sekolah,” keluh Raisya sambil melangkah cepat.

“Masih mending bisa jalan, sehat,” sahut Oliv.

“Mulai deh, ceramahnya,” balas Raisya.

Rissa hanya terkekeh melihat dua sahabatnya beradu mulut.

 

Sesampainya di kelas, Raisya langsung duduk dan mengeluarkan tugas praktikumnya.

“Nih! Katanya mau liat, kan?” serunya sambil melemparkan tugas ke arah Oliv.

“Wih! Tumben niat banget, Ray!” seru Oliv.

“Bacot lu, Liv,” ketus Raisya.

Bel tanda pelajaran pun berbunyi.

“Nanti pulang sekolah temenin gue belanja, ya?” kata Oliv.

“Tapi traktir,” jawab Raisya.

“Iya-iya.”

“Eh, nginep di rumah gue yuk! Orangtuaku lagi ke luar negeri,” ajak Oliv antusias.

“Boleh, gue izin dulu deh,” jawab Raisya.

“Sekalian belanja camilan, makanya temenin,” balas Oliv.

Mereka terus mengobrol sebelum guru datang.

 

Pelajaran pertama adalah Bahasa Indonesia. Suara Ibu Dewi begitu lembut, membuat satu kelas seperti sedang dilagukan nina bobo. Beberapa siswa bahkan tertidur.

Saat bel istirahat berbunyi, ketiganya langsung menuju kantin.

Begitu sampai, seperti biasa, kerumunan tak beraturan.

Oliv punya ide.

“AIR PANAS! MINGGIR, AIR PANAS!!!” teriaknya.

Siswa-siswa pun menyingkir panik.

Oliv memesan makanan untuk ketiganya, sementara Raisya dan Rissa duduk sambil terkekeh.

“Gue kenapa bisa punya temen gila, ya,” ucap Rissa.

“Berarti gue juga dong?” tanya Raisya.

“Lu malah paling gila!” seru Rissa.

Oliv kembali membawa makanan.

“Makasih, bestie~” ucap mereka berdua serempak.

 

Sementara itu di kelas, Ivan, Aldo, dan Zevan sedang duduk santai. Tiga bocah bandel itu memang langganan ruang BK.

“Wih, punya Raisya udah jadi, nih,” kata Ivan.

“Jangan, nanti lu dibunuh!” cegah Zevan.

“Gue cuma nyentuh,” ucap Ivan santai.

Tiba-tiba Aldo menyambar dan membuka tugas itu.

 

Raisya kembali ke kelas dan langsung terpaku melihat tugasnya di tangan Aldo.

“WOI, ANJ*NG!!!” teriaknya.

Aldo yang kaget, tersedak minumannya dan air pun tumpah ke tugas Raisya.

‘PLAK!’

Tamparan keras mendarat di pipi Aldo. Ia jatuh dari kursinya. Raisya mencengkeram dasinya, menariknya kasar.

“SIAPA YANG IZININ LU PEGANG TUGAS GUE?! GUE BIKIN SUSAH-SUSAH!! BISA GANTI?!!”

Dengan mata memerah, Raisya mendorong Aldo hingga jatuh. Aldo mencoba melawan, tapi justru terkena cakaran di tangannya.

Kesadaran Raisya baru kembali saat melihat tangan Aldo berdarah. Ia berlari keluar menuju kamar mandi, menyesali perbuatannya.

“Aishh.....” gumamnya, menahan tangis.

 

Ibu Betty masuk ke kelas. Suaranya nyaring dan galak.

“Cepat kumpulkan laporan biologi!”

Raisya maju dan melapor.

“Bu, tugas saya dirusak Aldo.”

“ALASAN! BILANG AJA NGGAK BUAT!”

“Nih, Bu. Lihat sendiri!” potong Oliv dengan kesal.

Ibu Betty pun menyuruh panggil Aldo.

“Aldo ke UKS, Bu,” sahut Rissa.

“Suruh dia ke ruang saya!”

 

Pelajaran pun berlanjut. Bel istirahat kedua berbunyi. Trio judes itu kembali ke kantin. Meski tugas mereka hancur, kekompakan dan kelucuan mereka tetap tak tergantikan.

***********

BERSAMBUNG

Dipanggil Guru BK

Seperti biasa, ketika tiba di kantin, Oliv langsung mengambil alih peran sebagai pemesan makanan untuk kedua sahabatnya.

“Mau makan apa?” tanyanya sambil menatap Raisya dan Rissa.

“Bakso sama es teh,” jawab Raisya tanpa menoleh, matanya masih terpaku pada layar ponsel.

“Mie goreng, ya,” timpal Rissa.

Tanpa banyak bicara, Oliv pun melangkah menuju stand makanan. Setelah memesankan makanan mereka bertiga, ia kembali ke meja, duduk dengan santai sambil menunggu pesanan.

Tak berselang lama, pesanan pun tiba. Mereka bertiga mulai menyantap makanan masing-masing dengan tenang. Setelah perut kenyang, mereka tak lupa membayar terlebih dahulu dan membeli beberapa camilan ringan untuk dibawa ke kelas.

Di perjalanan menuju kelas, suasana hati ketiganya tampak santai. Canda tawa kecil kadang menyelip, menghangatkan udara siang yang mulai terik.

“Eh, guys…” ucap Raisya pelan, membuka percakapan.

“Hm? Kenapa, Ray?” tanya Rissa, memiringkan kepala.

“Gue kayaknya—”

Namun sebelum kalimatnya selesai, suara laki-laki memotong ucapan itu.

“Raisya…”

Raisya menoleh dengan cepat. Suara itu sangat familiar.

Raul Andrian Cody.

Raisya mendengus kecil. “Ya, kenapa?”

Raul, kakak tiri Raisya, berdiri tak jauh dari mereka. Anak angkat keluarga Cody yang diadopsi sebelum Raisya lahir—saat Robert dan Angel masih berjuang mendapatkan keturunan. Baru satu tahun setelah mengadopsi Raul, Angel hamil dan melahirkan Raisya. Sejak itu, Raul menjadi bagian dari keluarga Cody, meski darah mereka tak sama.

“Ray, nanti temenin gue ke mall, ya?” pinta Raul, nada suaranya memohon.

Raisya mendesah malas. “Gue, Oliv, sama Rissa juga mau ke mall. Jadi ya sekalian aja ikut. Tapi kalo lo nggak mau, ya udah. Nanti malem gue nginep di rumah Oliv.”

“Huh… iya, iya. Gue ikut,” jawab Raul dengan malas sambil bersungut-sungut.

“Ya udah, kalau gak ada penting lagi, pergi sana. Hush! Hush!” usir Raisya sambil mengibas-ngibaskan tangan seperti mengusir kucing liar.

“Masih, kok.”

“Apa lagi sih?!” Raisya mulai jengkel.

“Lu tadi berantem lagi, ya?” tanya Raul dengan nada serius.

“Iya. Emang kenapa? Pasti lo mau ceramah lagi, kan?!” sahut Raisya, sudah tahu arah pembicaraan ini.

“Udah gue bilang berapa kali, Ray! Gak usah berkelahi! Lo tuh cewek. Kalau ada apa-apa, kan ada Papa atau gue. Lo gak usah maksain jaga diri sendiri!”

“Ihhhhh!! Pergi sana, nyebelin!” omel Raisya sambil menatap ke arah lain, menahan amarah.

Meski sering beradu mulut, Raisya sangat menyayangi Raul. Di luar rumah, ia memang keras, kadang brutal. Tapi di depan keluarga, ia tetap menjaga sikap. Hanya kepada Raul-lah ia bisa bertingkah sedikit lebih lepas—meski tetap saja dimarahi oleh orang tuanya jika Raul mengadu.

“Dih, ngusir gue!” sungut Raul, lalu pergi meninggalkan mereka bertiga.

Rissa dan Oliv hanya bisa saling pandang dan menggeleng-gelengkan kepala, sudah terbiasa dengan dinamika kakak-beradik satu itu.

“Lu tadi mau ngomong apa, Ray?” tanya Oliv.

“Gak jadi,” jawab Raisya singkat.

“Yah, lemah,” sahut Oliv, menyunggingkan senyum kecil.

Mereka melanjutkan makan camilan yang tadi dibeli.

“Bukannya tadi kita juga beli jajan dari pagi ya? Tapi gak dimakan?” ucap Rissa mengingat-ingat.

“Eh iya! Gara-gara si Aldo b*jingan itu!” gerutu Raisya.

“Heh! Jaga mulut lu, Ray!” semprot Rissa.

“Kayaknya bentar lagi lu bakal dipanggil Bu Ina, deh,” gumam Oliv tiba-tiba.

“Pasti,” jawab Raisya, sudah pasrah.

Benar saja, tak lama kemudian, suara nyaring dan khas terdengar dari depan kelas.

“Eh… guyyss… Di sini ada Raisya nggak? Gawat! Gawattt!” seru seorang cowok dengan gaya lemah gemulai. Kevin—siswa eksentrik yang selalu muncul di saat yang tak terduga.

“Nih,” jawab Oliv, menunjuk Raisya yang sedang minum.

“Rayyy… Bu Ina manggil lu tuh,” ujar Kevin dengan gaya khasnya.

“Iya-iya, gue udah tahu,” desah Raisya sambil berdiri.

“Tungguin, Ray!” panggil Oliv sambil mengejar langkahnya.

---

Sesampainya di ruang BK, Raisya langsung duduk di samping Aldo tanpa perlu disuruh. Ia sudah tahu pola mainnya.

“Kamu lagi, kamu lagi,” cibir Bu Ina.

“Kalau ibu gak mau ketemu saya, jangan panggil saya dong, Bu,” jawab Raisya ketus.

“Kamu ya, nggak sopan!” bentak Bu Ina.

“Kalian ini kenapa sih?! Cuma karena kertas basah aja sampai berantem!” ujar Bu Ina kesal.

“Bu, kalau barang penting ibu dirusak orang, ibu marah nggak?” tanya Raisya, tajam.

“Ya marah lah,” jawab Bu Ina.

“Ya udah. Itu juga tugas penting buat saya. Masa dibilang cuma kertas? Kalau gitu ibu nggak hargain kerja keras saya dong,” balas Raisya.

“Aldo, kamu tadi bilang itu cuma coretan?” tanya Bu Ina.

“I-iya, Bu. Saya salah ngomong,” jawab Aldo dengan gugup.

“HEH ANJ*NG!! Cuma coret-coret? SINI MUKA LO GUE CORET-CORET!!” teriak Raisya sambil menarik rambut Aldo.

Aldo tak mau kalah. Ia balas menarik rambut Raisya.

“Cowok kok main jambak?!”

“Emang cuma cewek yang boleh?!”

“CUKUPPP!!!” bentak Bu Ina, berdiri dengan wajah merah padam. “KALIAN YA! SUDAH SALAH, BUKAN NYELESAIN MASALAH MALAH TAMBAH MASALAH! KALIAN BERDUA BERSIHKAN GUDANG SEKOLAH SAMPAI KINCLONG! KALO NGGAK, NGGAK BOLEH PULANG!”

Tanpa membantah, mereka pun melangkah menuju gudang sekolah yang terletak di pojok paling sepi dan lembap.

---

Raisya kebagian membersihkan gudang peralatan olahraga, sedangkan Aldo membersihkan peralatan kesenian. Bagi Raisya, pekerjaan itu bukan masalah besar. Ia terbiasa hidup disiplin dan rapi, bahkan mengerjakan pekerjaan rumah tangga bukanlah hal yang aneh baginya, walaupun ia adalah seorang anak dari orang kaya.

Sebaliknya, Aldo tampak bingung. Tumbuh besar dalam kemewahan membuatnya tak tahu cara menyapu yang benar, apalagi menata ulang gudang yang berantakan.

Sementara itu, pelajaran olahraga sedang kosong karena guru mereka tengah cuti menikah. Mereka hanya diberi tugas dari guru piket untuk tetap melakukan aktivitas fisik.

Ketua kelas pun menuju gudang untuk mengambil alat olahraga. Siswa perempuan akan bermain voli, sedangkan para laki-laki bermain sepak bola.

Begitu pintu gudang dibuka, ia mendapati Raisya sedang berusaha menjangkau kemoceng di rak paling atas. Namun karena posisi rak yang tak stabil dan tinggi, ia kesulitan.

“Aw… susah banget, sih…” gerutunya sambil berjinjit.

Tanpa disadari, rak itu mulai miring...

“AaaaAAAAAAWWWWW!!!” jerit Raisya, panik melihat rak bergoyang dan hendak tumbang ke arah dirinya.

************

BERSAMBUNG

Deket Bangettttt!!!! Gilaaa!!!!

“AaaaaAAwWw!!!!”

Jerit Raisya menggema, memantul di antara dinding-dinding gudang yang pengap. Rak besi yang tinggi dan sarat dengan perlengkapan olahraga mulai bergoyang tak stabil, mengancam akan tumbang menimpanya.

Namun sebelum rak itu benar-benar rubuh, sebuah tangan kuat dengan sigap menahannya dari belakang.

Raisya membatu. Ia membuka matanya perlahan, mengira dirinya sudah tertimpa. Namun yang ia lihat adalah punggung seorang laki-laki yang berdiri di antara dirinya dan rak besar itu—menahannya hanya dengan satu tangan.

“Lu nggak apa-apa?” tanya pemuda itu, masih memegang kuat sisi rak agar tak jatuh.

Suara itu… Raisya merasa sangat familiar. Dengan jantung yang berdegup kencang dan telapak tangan mulai dingin, ia mendongak. Dan benar saja…

Seseorang berdiri di hadapannya. Seseorang yang selama ini ia hindari untuk diperhatikan. Rambutnya acak-acakan, kaus olahraganya basah oleh keringat, dan napasnya masih terengah karena aktivitas fisik. Tapi wajah itu… terlalu sempurna untuk dilewatkan.

Arka.

Cowok cuek yang sering bikin Raisya jengkel. Cowok yang—entah kenapa—akhir-akhir ini sering muncul dalam pikirannya. Dan kini, dia berdiri di hadapannya. Menolongnya. Membuat jantung Raisya semakin tidak stabil.

(Ni jantung kenapa lagi sih?! Jangan bunyi kenceng-kenceng dong! Ntar kedengeran sama dia!) batin Raisya kalang kabut.

(Kenapa juga dia yang harus nolong? Mending kejatuhan rak sekalian deh… daripada ditolong sama dia!)

“I-iya… Gue nggak apa-apa,” ucap Raisya terbata, buru-buru berdiri sambil membantunya menegakkan rak kembali.

Ia sengaja membelakangi Arka. Tak berani menatap. Ia bisa merasa betapa panasnya wajahnya saat ini.

“Lu beneran gak apa-apa?” ulang Arka, nadanya tetap tenang.

“Udah gue bilang, gue gapapa!” sergah Raisya keras, lebih ke panik daripada marah.

“Lu kayak demam deh.”

“Dah lah, sana. Tapi makasih…” Raisya buru-buru menyudahi interaksi itu, menunduk sambil kembali fokus pada tugasnya. Ia masih bisa merasakan detak jantungnya berloncatan seperti drum di konser rock.

Namun tak lama, suara itu terdengar lagi—kali ini sangat dekat di belakangnya.

“Minggir, gue mau ngambil bola voli.”

(Ya ampun… kan tempat buat ngambil bola luas, kenapa harus PERSIS di belakang gue?!)

(Dekeeeet bangetttt!! Parah!)

Raisya nyaris kehilangan akal sehatnya. Tubuh Arka hanya berjarak beberapa senti dari punggungnya. Ia bahkan bisa mencium aroma sabun dan keringatnya yang bercampur entah kenapa… menyenangkan.

Raisya kaku. Tak mampu bicara. Wajahnya semakin merah seperti kepiting rebus.

Begitu Arka selesai mengambil bola voli dan bola basket, ia langsung keluar tanpa sepatah kata pun lagi.

Baru setelah pintu gudang tertutup kembali, Raisya menghembuskan napas keras-keras. Ia duduk lemas di lantai gudang, memegang dadanya.

“Tu orang, hobinya bikin deg-degan orang apa gimana, sih?!” gumamnya sebal, sambil merapikan barang-barang yang sempat berjatuhan.

 

Setelah menyelesaikan tugas membersihkan gudang, Raisya bergegas menuju ruang BK.

“Permisi,” ucapnya sambil mengetuk pintu.

“Masuk,” jawab Bu Ina dari balik mejanya.

Raisya masuk dengan tenang dan memberi tahu bahwa tugas bersih-bersihnya telah selesai.

“Heh… bersih katanya. Anak orang kaya mana bisa pegang sapu sama kemoceng,” cibir Bu Ina tanpa melihat ke arahnya.

Raisya menahan emosi. Ia menarik napas dalam-dalam.

“Kalau Ibu nggak percaya ya sudah. Yang penting saya udah lakuin,” balas Raisya tenang, tapi dingin.

Bu Ina malas mengecek gudang olahraga karena jaraknya yang cukup jauh. Ia hanya mengibaskan tangannya.

“Ya udah, balik ke kelas sana. Tapi saya peringatin ya, kalau sampe ketahuan berkelahi lagi, bukan cuma gudang. Tapi semua ruang kosong di sekolah juga bakal kamu bersihin sendiri! Ngerti?!”

“Baik, Bu,” jawab Raisya singkat lalu pamit.

 

Di kelas…

Oliv dan Rissa duduk berdampingan di bangku belakang. Mereka sedang menonton drama Korea lewat ponsel milik Rissa, lengkap dengan ekspresi yang ikut terbawa alur cerita.

“Kok Ray belum balik-balik, ya?” tanya Rissa sambil melirik ke pintu.

“Mungkin dia disuruh bersihin gudang lebih lama,” sahut Oliv, masih fokus ke layar.

“Eh, itu dia!” seru Rissa sambil menunjuk ke arah pintu. Raisya muncul dengan langkah santai, wajahnya masih menyimpan jejak panik yang belum hilang.

“Balik juga lu, Ray. Dari tadi kami nungguin,” sambut Oliv sambil bergeser sedikit memberi tempat duduk.

“Apaan… dari tadi juga lu berdua nontonin drakor di HP Rissa,” cibir Raisya.

“Kok ku lama dari tadi? Kenapa?” tanya Rissa penuh rasa ingin tahu.

“Gue tadi… hampir ketimpa rak BESAR banget!” Raisya membentangkan tangannya untuk memperagakan ukuran rak tersebut.

“Ya ampun! Terus lu gak kenapa-kenapa? Ada luka?” tanya Rissa cemas.

“Enggak kok, gue diselametin orang,” jawab Raisya cepat, menunduk. Suaranya hampir bergetar.

“Siapa?” pancing Oliv sambil menyipitkan mata, curiga.

“Orang,” jawab Raisya singkat.

Oliv dan Rissa saling pandang. Mereka tahu ada yang disembunyikan sahabatnya itu.

"Eh tau gak?" ucap Rissa dengan antusias.

"Enggak," jawab Raisya.

Tentu saja Rissa langsung memberikan tatapan mata sinis kepadanya.

"Ya lu orang baru dateng ditanya, tau gak? Ya jelas enggak lah,"

"iya-iya..... Tadi.... Oliv ada yang nembakkk." Di ceritakan dengan begitu rinci dan detail oleh Rissa tentang kejadiannya.

"Ngapa gak lu jawab sih, Liv. Kan sayang," ucap Raisya.

"Belum gue jawab, ege. Bukan gue tolak," timpal Oliv.

 

Sementara itu…

Aldo sudah lama kabur dari tugas membersihkan gudang kesenian. Ia malah duduk di kantin sambil asyik bermain ponsel dan mengunyah keripik.

Seorang siswa melintas menuju toilet dan meliriknya.

“Do, lu dipanggil Bu Betty tadi. Gara-gara rusakin tugasnya Raisya.”

“Anjir… dasar cewek cepu!” umpat Aldo, langsung berdiri dan bergegas menuju ruang guru.

“Bukan Raisya yang ngadu, tapi Oliv,” sahut si siswa sambil berlalu.

“Ya sama aja lah bertiga itu! Apalagi si Oliv… bangsat satu itu,” gerutu Aldo sambil terus berjalan.

 

Namun karma tak pernah tidur. Begitu tiba, Bu Betty langsung menyuruh Aldo membersihkan gudang kesenian—kali ini di bawah pengawasan langsung.

Aldo tak bisa mengelak. Dengan wajah ditekuk, ia membersihkan gudang yang penuh debu, cat kering, alat musik tua, dan aroma jamur yang menyengat.

Walau tak biasa mengerjakan tugas seperti itu, Aldo tetap berusaha melakukannya dengan serius. Takut jika ia lalai, hukumannya malah akan bertambah.

Setelah dinyatakan cukup bersih, Bu Betty membiarkannya kembali ke kelas. Tapi alih-alih menuju kelas, Aldo malah balik lagi ke kantin.

“Sekolah ini tempat apa sih? Kayak penjara,” gerutunya, duduk santai sambil membuka bungkus jajanan dan kembali memainkan ponselnya.

************

BERSAMBUNG

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!