“Duh... gue lupa bawa baju ganti. Mana tadi gak beli juga,” gerutu Raisya sambil membuka isi tasnya yang nyaris tumpah oleh jajanan.
“Pake baju gue aja dulu. Tadi gue sama Rissa sempet beli baju baru, lo pinjem punyaku aja. Belum gue pake kok,” ucap Oliv sambil menunjuk kantong belanja di sudut kamar.
Raisya mengangguk setuju. “Eumm... iya deh. Selera kita juga sebelas dua belas. Gak masalah.”
“Gue mandi duluan ya, guysss!” seru Rissa sambil membawa handuk dan masuk ke kamar mandi dengan ceria.
“Liv, pinjem handuk lu juga ya,” pinta Raisya.
“Iya, nih. Mau sekalian sabun?” tanya Oliv sambil menyerahkan handuk putih bersih yang baru dikeluarkan dari lemari.
“Gak usah. Gue tadi sempet beli sabun pas nemenin Raul,” jawab Raisya, lalu menjatuhkan dirinya ke kasur king size milik Oliv yang empuk dan dingin.
Oliv ikut rebahan di samping Raisya, menarik laptop dan mulai membuka drama Korea favoritnya. Tanpa perlu diskusi, Raisya juga ikut menonton.
Mereka bertiga memang punya selera yang hampir identik: dari pakaian, film, makanan, sampai game. Seolah tiga versi berbeda dari satu jiwa yang sama.
“Lu gak bosan, Liv?” tanya Raisya tiba-tiba.
“Gak,” jawab Oliv singkat.
“Judes amat, Mbak.”
“Sewot, lu?”
Hening.
Suasana kamar yang tadi dipenuhi tawa berubah jadi tenang. Hanya suara dari laptop yang menemani mereka.
Beberapa menit kemudian, Rissa keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya.
“Siapa yang mau mandi lagi?” tanyanya.
“Gue,” jawab Raisya, bangkit dari ranjang.
“Lu gak mandi, Liv?” tanya Rissa sambil membuka lemari kecil untuk mengambil baju ganti.
“Nanti.”
“Oohhh…” gumam Rissa sambil mengangguk.
Ia pun mengenakan kaos putih longgar dan celana pendek hitam, lalu ikut merebah di ranjang.
“Gimana ya... rasanya pacaran?” gumam Rissa mendadak, sambil menatap langit-langit.
“Kok tiba-tiba ngomong gitu?” Oliv mengernyitkan kening. Ia tahu Rissa jarang sekali membahas soal cinta.
“Gabut aja,” sahut Rissa ringan, lalu kembali sibuk dengan ponselnya.
Beberapa menit berlalu tanpa percakapan. Hanya ada ketukan jari di layar, dan dentingan suara dari drama Korea yang belum selesai.
Tak lama, Raisya keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan kaos hitam yang sedikit gombrong dan legging panjang warna senada. Rambutnya diikat setengah, dan ujungnya dikeriting ringan.
“Cewe... cuitt cuitt!” goda Rissa dengan pelototan manja.
Raisya melempar tatapan mematikan. “Lu kenapa sih Ris, dah bosan hidup? Kalau iya, tinggal bilang. Gue bantu.”
Oliv masih asyik menatap laptop. Matanya tak berpaling barang sedetik pun.
“Ekhem... serius amat, Mbak,” ledek Raisya.
“Berisik!” sahut Oliv ketus.
“Wah, galak amat sih,” celetuk Rissa.
“Hih! Kalian nih ya. Lagi seru-serunya nonton malah diganggu. Gue jadi gak fokus. Nanti nontonnya harus ulang dari awal lagi,” keluh Oliv.
“Ohhh... jadi kita ini pengganggu gitu?” ucap Raisya pura-pura tersinggung.
“Iya, parah sih. Lebih mentingin drama Korea daripada sahabat sendiri,” tambah Rissa dengan nada mengiba.
“Ya ampun! Gue bukannya gitu loh... Kalian tahu kan kalau gue lagi fokus tuh gak suka diganggu,” bela Oliv.
“Cukup tau, cukup tau,” Raisya dan Rissa menjawab bersamaan sambil tertawa.
Akhirnya, Oliv menutup laptopnya sambil menghela napas panjang. “Iya-iya, gue main sama kalian.”
Dan malam itu pun berlalu dengan tawa dan obrolan ringan. Mereka saling bergantian bercerita, berbagi kisah—meski tidak semuanya. Raisya hanya tersenyum kecil ketika mendengar nama "si ketua kelas misterius yang suka bikin deg-degan" disebut-sebut secara tidak langsung.
Menjelang pukul sembilan, Rissa mulai menguap.
“Yah... dia yang ngajak begadang, malah tidur duluan,” komentar Oliv geli melihat sahabat mereka sudah terlelap.
Tinggallah Raisya dan Oliv yang masih terjaga. Mereka pun turun ke lantai satu untuk mengemil camilan yang tadi dibeli Raisya.
Namun, hening perlahan menggantikan keceriaan.
Oliv larut kembali dalam drama Koreanya.
Sedangkan Raisya, meski terlihat santai mengunyah wafer cokelat, pikirannya terjebak pada satu momen siang tadi—saat seseorang menyelamatkannya dari rak besar yang hampir tumbang. Detak jantungnya kembali tak karuan saat mengingat wajah lelaki itu. Tapi ia enggan bercerita, terutama kepada Oliv.
Sebenarnya, Raisya tak begitu menyukai Oliv. Ia merasa Oliv terlalu mendominasi perhatian Rissa. Sejak dulu, Rissa adalah sahabat terdekat Raisya, tapi sejak Oliv hadir, jarak itu perlahan berubah.
Karena takut kehilangan Rissa, Raisya memilih menerima Oliv dalam lingkaran mereka. Meski dalam diam, ia masih menyimpan rasa tak nyaman.
Malam pun semakin larut. Setelah selesai ngemil, mereka kembali ke atas, lalu tidur dalam keheningan yang tidak sepenuhnya damai.
---
Azan subuh berkumandang pelan dari speaker masjid di komplek perumahan Oliv. Suara itu membangunkan ketiganya secara bersamaan.
Raisya segera bangkit dan mengambil handuk.
“Wih... lu sholat, Ray?” cibir Oliv sambil menguap.
“Emang kenapa? Lo gak senang?” balas Raisya ketus, lalu masuk ke kamar mandi.
Rissa yang baru bangun kemudian ikut mandi, sementara Oliv menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.
Setelah Rissa selesai mandi, ia membantu Oliv di dapur. Mereka hanya membuat roti panggang, telur mata sapi, dan menyeduh teh manis hangat. Sederhana, tapi hangat karena dibuat bersama.
“Lu tiap pagi masak sendiri, Liv?” tanya Rissa.
“Nggak. Biasanya gue bangun pas ART udah datang. Ini pertama kalinya bikin sarapan sepagi ini,” jawab Oliv sambil tertawa.
Sementara itu, Raisya yang sudah selesai sholat hanya duduk di ruang tamu sambil bermain ponsel. Masak bukan keahliannya, apalagi sejak kecil ia tahu hasil masakannya pasti zonk.
Setelah sarapan bersama, mereka pun bersiap untuk pergi ke sekolah.
Hari itu mungkin akan dimulai seperti biasa.
Tapi bagi Raisya, ada sesuatu yang membuat pagi ini terasa tak biasa—karena sejak kemarin, satu detak jantungnya tertinggal di antara debu rak gudang dan tatapan hangat yang diam-diam membuatnya gugup.
*********
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Mafe Oliva
TERBAIK! Itu aja yang bisa aku bilang, bagus banget storynya! 🙌
2024-02-04
0