“Ya sudah, sekarang kamu silahkan balik ke depan. Jika dirasa kamu kembali lemah, jangan ditahan-tahan. Istriahat. Dari pada kamu pingsan, nanti yang kena marah sama mama”
Kembali aku tersenyum kaku kearah pak Satria. Setelah itu aku berdiri dan berpamitan kepada beliau untuk ke depan. Ketika pintu ruang kerja pak Satria sudah ku tutup, aku menghembus nafas panjang
“Ya Tuhan gimana caranya aku bawa mas Rafli ke rumah mama. Sedang sejak kemarin saja pesan dan telepon aku nggak ada yang diangkatnya”
Kembali aku menghembus nafas panjang dan terburu berjalan ke depan ketika kulihat Leo berjalan ke arahku, dan aku yakin dia mau ke ruangan pak Satria. Aku hanya tersenyum sekilas kearah Leo ketika kami berpapasan. Dan begitu sampai depan, aku langsung duduk di bagian ku. Mengambil id card, dan menjepitnya di seragamku
“Kena marah?” lirih Tika
Aku menggeleng
“Nggak mungkinlah kena marah, kan pak Satria tahu Rara sakit” timpal Okta yang kujawab dengan anggukan setuju dan tersenyum manis ke arahnya
“Kalo capek bilang ya Ra. Jangan kaya kemarin” ucap Tika lagi yang aku jawab dengan mengiyakannya
Setelah itu pekerjaan langsung dimulai, dan aku sama sekali tidak merasa kelelahan ataupun dadaku tiba-tiba sakit atau nafasku yang tiba-tiba sesak. Semuanya berjalan lancar. Dan aku tahu beberapa kali pak Satria terlihat keluar dan seolah-olah bertanya pada para CS itu sebenarnya ingin melihat keadaanku
Dan itu membuatku semakin bersyukur betapa aku dikelilingi oleh orang-orang baik yang begitu memperhatikan keadaanku. Ketika jam istirahat, ketika kami akan ke ruangan makan, karena memang biasanya makan siang kami, kami minta tolong pada office boy untuk membelikan, pak Satria kembali keluar dan memanggilku
“Kamu makan makanan ini saja” ucapnya sambil menyerahkan kantong kresek ke arahku
“Mama yang ngirim” tambah beliau ketika aku menerima kresek tersebut
“Mama kesini pak?”
Pak Satria menggeleng
“Leo tadi yang bapak suruh ambil ke rumah mama karena mama nelepon, katanya masak masakan kesukaan kamu”
Aku tersenyum haru kearah pak Satria. Sedangkan para temanku tampak saling toleh dan ikut tersenyum pula.
“Aku gabung sama yang lain pak, permisi” ucapku akhirnya
Pak Satria mengangguk, dan beliau kembali lagi ke ruangannya, sedangkan aku dengan teman-temanku segera masuk ke ruangan yang ada di belakang, ruangan khusus untuk kami makan dan bersantai ketika jam istirahat
Ketika sampai di meja makan, aku segera membuka kresek yang tadi diberikan pak Satria ke arahku. Senyumku langsung terkembang ketika aku membuka kotak makan siang tersebut. Bagaimana aku tidak bahagia, disana terdapat udang saus padang kesukaanku
Teman-temanku yang melihat aku membuka kotak makan siangku, ikut melongokkan kepala mereka dan mengagnguk-anggukkan kepala
“Gimana ceritanya sih Ra kamu bisa jadi adik angkatnya pak Satria?” tanya Okta
Reni langsung mendelikkan matanya yang membuat Okta makin kebingungan. Sedangkan yang lain, yang memang sudah tahu sejarahku seolah tak mendengar pertanyaan Okta, mereka terus saja makan
“Aku anak yatim piatu, dan tinggal di yayasan panti asuhan punya keluarga nya pak Satria. Sekolahku di biayain semua oleh mereka sampai akhirnya aku dapat beasiswa dan kuliah di universitas negeri jurusan perbankan. Dan itu juga atas saran papa, karena papa seorang akuntan”
“Oh, maaf Ra. Aku nggak tahu. Ku pikir kamu jadi adik angkatnya pak Satria karena apa gitu” jawab Okta nggak enak hati
Dan aku hanya tersenyum dan memahami ketidaktahuannya, karena meman dia baru enam bulan pindah ke bank sini.
Dan ketika jam kantor bubar, disaat kami semua sudah berada di parkiran, kembali aku di panggil oleh pak Satria. Dan jujur, kali ini aku sangat khawatir. Karena sesuai seperti yang beliau katakan tadi, sepulang dari kantor aku akan mampir ke rumah mama
“Rafli mana? belum jemput kamu?”
Aku menelan ludahku, dan wajahku kian tegang. Apalagi ketika melihat perubahan wajah pak Satria ketika beliau melihat motorku
“Jadi kamu ke kantor naik motor?”
Tak dapat mengelak lagi, aku hanya mengangguk sambil tersenyum kaku kearah beliau
“Rafli kemana sampai nggak nganter kamu? Dia kan tahu jika kamu baru sembuh. Punya otak nggak sih suami kamu itu?
Beberapa karyawan menoleh takut-takut kearah pak Satria yang suaranya meninggi tiba-tiba.
“Mas Rafli kan kerja pak. Lagian kan arah kantor kami beda. Muter jauh mas Rafli nya kalo harus nganter aku. bisa-bisa dia terlambat ke kantornya”
“Alasan….”
Aku langsung menunduk mendengar jawaban pak Satria
“Leo….!!!”
Leo yang sedang membawa nampan berisi gelas dan piring kotor mengangkat kepalanya kearah pak Satria ketika beliau meneriakkan namanya. Dengan cepat, nampan tadi diletakkannya dan dia segeraa berjalan cepat kearah kami
“Ya pak?” ucap mas Leo ketika sudah berdiri di dekat kami
“Kamu bawa pulang ke rumah Rara motor Rara. Kamu anter berdua sama yang lain, nanti kamu pulang ke rumah kamu boncengan sama teman kamu”
Mas Leo tak berani membantah. Dia segera mengangguk. Dan aku hanya menurut ketika tangan pak Sartia terulur meminta kontak motor
“Kamu naik ke mobil kakak!”
Aku menurut dan hanya diam saja ketika beliau berkata seperti itu. Sementara kulihat tampak mas Leo seperti sedang berkata pada office boy yang lain, sepertinya mereka berdiskusi tentang rencana mengantar motorku
“Leo apa tahu kak rumah aku?” tanyaku ketika mobil mulai mundur
“Lokasi rumah kamu sudah kakak kirim sama Leo”
Fix, aku nggak bisa berkutik lagi selain menurut. Sepanjang jalan menuju rumah mama, aku berfikir keras tentang alasan aku mengapa aku datang tidak sama mas Rafli. Selain itu aku juga memikirkan alasan mengapa aku lama tidak mengunjungi beliau
“Telepon suami kamu. Suruh nyusul ke rumah mama!”
Aku mengangguk, dan segera mengambil hp dalam tas. Segera aku mendial nomor mas Rafli, tapi hasilnya masih sama, tidak diangkat
“Nggak aktif kak” bohongku
Pak Satria tidak menjawab, wajahnya tetap datar dan fokus menatap ke depan. Dan itu semakin membuat jantungku berdebar kencang
“Kak, mampir ke toko kue, beli oleh-oleh untuk mama” lirihku yang dijawab pak Rafli dengan berdehem. Dan ketika di depan ada toko kue, segara pak Satria membelokkan mobilnya, dan aku segera melepas sealt belt
“Sebentar ya kak….” Ucapku yang sudah bersiap turun
“Uang nya Ra….”
Aku menggeleng
“Uang aku aja kak” jawabku sambil tersenyum ketika pak Satria akan memberikan uang padaku
Aku segera turun dan langsung masuk kedalam toko kue tersebut, memilih aneka kue yang mama suka. Setelah dapat, menuju kasir, membayar dan keluar
“Mama sudah menunggu kita” ucap pak Satria ketika aku telah duduk
Aku mengangguk dan segera pak Satria menjalankan mobil menuju rumah mama. Ketika sampai di halaman rumah besar mama yang megah, aku segera turun. Sedangkan pak Satria mematikan mesin mobil dulu
Aku melepas sepatu dan mengucapkan salam sebelum masuk. Mendengar ada suara klakson mobil, mama yang saat ini ada di belakang segera tergopoh keluar. Terlebih ketika dilihatnya aku masuk, beliau langsung merentangkan kedua tangannya. Dan aku langsung meletakkan kotak kue yang kubawa keatas meja, dan segera menghambur ke pelukan beliau
“Mama sangat kangen Ra sama kamu…..”
Aku hanya bisa mengangguk, karena ada buliran air menetes tiba-tiba dari mataku ketika aku memeluk mama.
“Kamu terlihat kurus. Apa kamu sakit?”
Aku menggeleng
“Kata Satria, kamu kemarin kecelakaan, mana yang luka nak?” ucap mama sambil langsung meneliti tangan dan kakiku
“Ma, berilah papa kesempatan untuk memeluk anak kita”
Aku tersenyum kearah papa yang baru muncul dari lantai atas. Segera aku berjalan cepat kearah papa, dan memeluk beliau yang saat ini masih berdiri di atas tangga
“Mana yang sakit nak?” tanya papa
Sama seperti mama, papa juga masih memperlakukan aku seperti anak kecil. Mungkin karena aku adalah satu-satunya anak perempuan mereka. Empat anak mama papa yang lainnya semuanya laki-laki, dan cuma pak Satria yang berada satu kota dengan kami. Lainnya sudah berbeda provinsi semua. Ada yang jadi tentara, ada yang jadi diplomat dan tinggal di luar negeri, ada yang jadi anggota dewan dan cuma kak Satria yang jadi kepala bank
“Nggak ada yang sakit papa. Cuma kemarin ada yang memar saja, di ct scan nggak ada yang parah, semuanya baik” jawabku sambil membimbing beliau turun
Papa sudah berumur tujuh puluh tiga tahun, tapi masih tampak sangat sehat. Aku yakin karena pola hidup sehat dan juga karena papa memang kerjanya kantoran, nggak nguras tenaga makanya papa masih sangat gagah
Begitu juga dengan mama, beliau sudah tujuh puluh lebih, tapi masih sangat cantik. Karena mama juga wanita karir dan juga kepala yayasan, sama seperti papa, nggak capek kerjanya makanya masih terlihat awet muda
“Rafli mana, nggak ikut?”
Aku mengerling kearah pak Satria yang melengos
“Belum pulang kerja ma. Lembur mungkin” bohongku
Tampak mama tersenyum kaku. Segera mama membuka kotak kue yang tadi aku bawa dan matanya langsung berbinar ketika melihat kue kesukaannya.
“Kamu nginap di rumah mama saja kenapa Ra?”
Aku menelan ludahku mendengar ucapan pak Satria. Menebak apakah beliau tahu kebenaran tentang mas Rafli yang sering pulang malam?
“Nggak lah kak. Suami aku nanti sendirian di rumah” jawabku sambil berusaha untuk tertawa
Papa yang duduk di sebelahku, membelai kepalaku. Dan aku menoleh kearah beliau dengan haru
“Papa itu sangat sayang sama kamu Ra. Walau kamu bukan anak kandung papa, tapi dari kecil kami yang merawat kamu. Dan papa sudah merasa jika kamu itu anak kandung papa, bukan anak asuh kami”
Air mata langsung mengembang di pelupuk mataku. Ahh, rasa sayang ini sudah sangat lama tidak aku dengar dan rasakan. Aku segera memeluk papa dan langsung menangis di bahu beliau
“Terima kasih ya pa karena sudah sangat menyayangi Rara….” Isakku
Mama tak mau kalah, dia mengelus-ngelus bahuku, dan itu makin membuatku menangis sedih.
“Kami sudah lama menunggu kamu kesini Ra. Tapi kamu tidak datang-datang. Tapi setidaknya kami lega karena ada Satria yang setiap hari melihat kamu. Mama kian sedih Ra ketika mengetahui jika suami kamu jarang di rumah”
DEG….!!!!
Bagaimana mama tahu, batinku. Segera aku melepas dekapanku pada papa. Mengusap kasar wajahku dan menatap mama dengan tegang
“Mas Rafli selalu di rumah kok ma. Nggak pernah dia ninggalin aku”
Terdengar mama menarik nafas panjang, dan aku segera menunduk, takut jika beliau bisa membaca mataku yang berbohong
“Rafli selalu sibuk?” papa kali ini yang bertanya
Aku mengangguk
“Tapi dia memperlakukan kamu dengan baik kan nak?” sambung mama
Dan sekali lagi aku harus menelan ludahku dengan susah payah sebelum akhirnya aku mengangguk menjawab pertanyaan mama
“Syukurlah kalau Rafli memperlakukan kamu dengan baik. Karena mama sangat khawatir jika dia berlaku semena-mena sama kamu”
Aku tersenyum getir mendengar lanjutan ucapan mama. Sedangkan pak Satria yang duduk berseberangan dengan kami hanya memperhatikan ku dengan tatapan tajam
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments