Cukup lama aku menangis, dan sontak berhenti ketika pintu kamarku didorong dan masuk suster.
“Ibu kenapa?” tanyanya panik
Aku menggeleng
“Ada yang sakit?” tanyanya lagi sambil memegang bahuku. Dan kembali aku menggeleng
“Suster, apakah selain pak Arash ada orang lain lagi yang membesuk ku?”
Suster tersebut tampak terdiam kemudian dia menganggukkan kepalanya
“Ada bu. Namanya kalau nggak salah tadi pak Satria. Beliau bilang, beliau kakak ibu”
Aku tersenyum getir mendengar jawaban suster tersebut
“Suami saya sus?”
Suster tersebut menggeleng
“Bahkan semalam saya mencoba meneleponnya tidak diangkatnya bu. Bahkan pak polisi mencoba pakai hp nya masih juga tak diangkat. Terakhir setelah kesekian kalinya aku telepon baru diangkatnya”
Mataku berbinar, siapa tahu mas Rafli merasa khawatir denganku malam tadi, walau tadi jelas-jelas aku mendengar jika dia sedikitpun tak peduli
“Suami saya bilang apa sus?”
Kulihat suster tersebut tampak ragu untuk menjawab pertanyaanku, dan hatiku yang semula sudah riang jadi redup kembali
“Dia marah-marah ya sus?” tanyaku lemah
Suter tersebut menganggukkan kepalanya, dan aku menarik nafas panjang
“Jam berapa aku bisa pulang sus?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan
“Sekitar dua jam lagi bu, sekarang ibu masih harus diperiksa kembali sebelum benar-benar pulang”
Aku mengangguk, dan ingin banyak bertanya dan membiarkan suster tersebut mengecek infus dan tensi darahku kembali
Kembali pintu ruanganku diketuk dan aku bersama suster sama-sama menoleh ketika pintu didorong dari luar
“Rara……” teriak Reni dan Okta berbarengan
Kedua sahabatku itu langsung berlari masuk dan menghambur ke pelukanku. Tangisku yang sudah reda kembali meledak. Aku memeluk kedua sahabatku dan menangis sesenggukan di dekapan mereka. Kurasakan usapan hangat di bahuku dari kedua sahabatku yang masih betah memelukku itu, dan aku kembali meluapkan kekecewaan dan kesedihanku atas sikap mas Rafli padaku
“Kenapa nggak ngabarin kalau kamu kecelakaan?” tanya Reni ketika melepas dekapannya padaku
Aku mengusap kasar wajahku, dan secara bergantian memeluk semua teman sekantorku yang datang sore ini tanpa sempat menjawab pertanyaan Reni
“Aku baru sadar itu tengah malam Ren, mana sempat untuk ngabarin kalian” jawabku
Okta segera mengupas buah jeruk dan menyuapkannya ke mulutku. Secara bergantian teman-temanku mengusap kepalaku dan memandang iba padaku
“Nggak ada yang parah kan Ra?” tanya mereka
Aku menggeleng
“Kata dokter, sore ini aku bisa pulang”
Ucapan syukur langsung meluncur dari mulut semua teman dan sahabatku
“Yang nabrak kamu siapa? Tanggung jawab nggak dia?” tanya Tika
“Tanggung jawab. Dia bahkan nungguin aku semalam” jawabku
Tika kembali mengucap syukur mendengar jawabanku.
Dan kembali kami semua menoleh kearah pintu ketika terdengar suara salam seseorang
“Mas Rafli……?” batinku sambil menelan ludah ketika kulihat mas Rafli masuk sambil mengembangkan senyum kearah kami semua yang ada di dalam ruangan ini
“Bagaimana sayang, apa kata dokter?” tanya mas Rafli sambil mengecup keningku dan mengusap lenganku
Hal yang bertolak belakang ketika aku meneleponnya satu jam yang lalu. Dan aku kembali hanya bisa menatap matanya dengan tatapan nanar
Mas Rafli kembali tersenyum, dan duduk di sebelahku. Dirapikannya anak rambut yang menjuntai di wajahku, di selipkannya ke belakang telingaku
“Cieeeee……” ledek Reni membuat yang lain terkekeh
Aku ikut tersenyum kaku melihat semua temanku terkekeh melihat perhatian mas Rafli padaku
“Mbak nya sudah bisa pulang nanti, tapi kita periksa kembali ya?” ucap dokter yang tiba-tiba masuk
Seluruh temanku menyingkir termasuk mas Rafli, dan dokter segera memintaku berbaring karena dia akan memeriksa perutku. Semuanya diam dan memperhatikan bagaimana dokter memeriksaku dengan intensif, kemudian beliau menyebutkan nama jenis obat yang segera dicatat oleh suster pada kertas yang diselipkan di papan yang dibawanya tadi
“Mas suaminya mbak Rara?” tanyanya pada mas Rafli yang mengiyakan
“Darah mbak Rara sangat rendah, jangan suruh dia banyak pikiran dan capek. Dia harus bed rest untuk beberapa hari untuk memulihkan keadaannya. Segera bawa ke rumah sakit lagi jika mbak Rara kembali drop”
Mas rafli mengangguk, dan segera menggenggam tanganku. Kemudian dokter yang memeriksaku berpamitan dan aku segera bersiap untuk pulang dengan dibantu teman-temanku. Reni mendorong kursi roda yang berisikan aku, yang lain berjalan di kanan kiriku dan ada juga di belakangku. Sementara mas Rafli kebagian apotik mengambil obat
“Semua biaya sudah dibayar oleh yang menabrak bu Tamara” ucap bagian administrasi ketika mas Rafli menanyakan biaya perawatanku
Mas Rafli tampak mengangkat alisnya, kemudian dia segera berlalu setelah mendengar jawaban dari pihak rumah sakit
“Makasih ya semuanya….” Ucapku pada semua temanku yang mengantarkan ku sampai dekat mobil mas Rafli
Secara bergantian mereka kembali memelukku dan kembali Reni dan Okta membantuku masuk kedalam mobil ketika mas Rafli tiba. Dengan melambaikan tangan kearah semua temanku, mobil yang dikemudikan mas Rafli secara pasti mulai meninggalkan area parker rumah sakit
“Mas Arash…..?” batinku ketika tak sengaja aku melihatnya berdiri di dekat mobilnya dan sedang menatap ke arahku
Kepalaku sampai berputar melihat kearahnya yang terus menatap ke arahku, dan aku tergagap ketika ditegur oleh mas Rafli
“Tutup kacanya, kamu kan baru sehat”
Aku menurut dan segera menutup kaca mobil, tapi aku masih berusaha melihat melalui spion sebelum kacanya benar-benar tertutup rapat. Sepanjang perjalanan menuju rumah, tak ada sepatah kata jua mas Rafli mengajakku berbicara. Dan aku juga diam, tidak berniat membuka mulutku
Hingga hampir satu jam, barulah mobil yang dikendarai mas Rafli masuk ke kawasan perumahan tempat tinggal kami. Dan mas Rafli turun membuka pagar, kemudian masuk kembali kedalam mobil dan segera memasukkan mobil kedalam garasi yang bersatu dengan teras
“Turun sendiri, bisa kan?” ucapnya cuek sambil membanting pintu
Lalu mas Rafli membuka tas kerjanya, dan mengeluarkan kunci, kemudian dia membuka pintu rumah. Sementara aku segera turun sendiri, karena memang aku merasakan jika aku sudah jauh lebih baik.
Aku segera menghenyak kan tubuhku di sofa dan menyandarkan kepalaku di sandaran kursi
“Kenapa kamu bisa kecelakaan?” tanya mas Rafli ketus
Aku menegakkan kepalaku dan menjawab sekenanya
“Nggak tahu mas, tahu-tahu pandangan aku gelap”
Mas Rafli melengos kemudian dia bangkit
“Aku tidak mau masak, kalau kamu lapar kamu bisa pesan makanan. Aku sebentar lagi mau keluar, aku ada janji dengan teman-temanku”
Aku diam dan menarik nafas panjang melihat sikapnya kembali ke mode awal, tidak semanis ketika di depan para teman-temanku
Aku masih betah duduk di sofa, sedang mas Rafli masuk ke kamar, tak lama keluar lagi dengan menentang handuk di tangannya yang menit berikutnya telah terdengar suara gebyar gebyur air jatuh di lantai kamar mandi
Aku kembali menarik nafas panjang, sejak kemarin aku tidak mandi, dan rasanya tubuhku lengket, masa iya aku tidak mandi lagi sore ini. Tapi siapa yang akan memasak air panas untuk aku mandi? Mas Rafli tentu tak akan mau, tadi dia sendiri yang bilang jika dia tidak mau masak, termasuk masak air.
Dengan langkah berat aku berjalan ke belakang dan mengambil panci besar, mengisinya dengan air. Dan butuh beberapa kali tarikan nafas untuk aku mengangkat panci ukuran lima kilo tersebut sampai akhirnya bisa aku letakkan di atas kompor
Kudengar suara langkah mas Rafli, aku menoleh kearahnya yang juga menoleh ke arahku
“Ngapain kamu?” tanyanya
“Masak air mas. Aku mau mandi”
Mendengar jawabanku, mas Rafli kembali ngeloyor pergi. Hampir satu jam berikutnya air mendidih dan aku segera mematikan kompor. Sementara mas Rafli kulihat sudah rapih
“Mas bisa minta bantuannya?” tanyaku takut-takut
“Apa? Minta angkatin panci itu ke kamar mandi? Ogah!!!” jawab mas Rafli sambil melipat lengan kemeja yang dipakainya
Aku hanya bisa diam dan menatapnya dengan perasaan yang susah aku ungkapkan. Sementara mas Rafli kembali berlalu, dan tak lama terdengar senandung lirih dari mulutnya, kemudian terdengar suara pintu di tutup dan menit berikutnya suara mobil keluar dari dalam garasi
Aku kembali terduduk, air mata langsung mengalir deras dari mataku tanpa bisa aku cegah. Aku memukul-mukul pahaku dengan kesal, meluapkan kekesalan yang tak ada tempat untuk meluapkannya
Lamat-lamat aku mendengar suara ketukan di luar. Aku segera memasang telingaku dengan saksama, memastikan jika pendengaranku tak salah
Benar, suara ketukan itu benar dari pintu depan. Aku segera berdiri, menghapus kasar wajahku dan berjalan ragu kearah depan
Dari kaca jendela aku lihat memang ada orang di luar. Orang tersebut tampak membelakangi pintu, sehingga aku kembali melihat kearah jendela memastikan siapa gerangan orang yang berdiri diluar saat ini
“Ra…..?” panggil suara di luar sambil melambaikan tangannya ke arahku yang melihat dari kaca
Dengan terburu aku segera membuka pintu begitu mengetahui siapa yang berdiri di luar saat ini
“Mas kok tahu rumah kami?” tanyaku begitu pintu aku buka lebar
Arash mengembangkan senyumnya
“Aku nggak disuruh masuk gitu?” ucapnya sambil terus tersenyum
Aku menoleh kearah dalam rumah dengan ragu. Jika mas Rafli tiba-tiba pulang, dan melihat ada lelaki di rumah ini bisa mati aku olehnya
“Bercanda…..” ucap Arash seperti faham dengan keraguanku
Aku tersenyum tak enak padanya
“Suami aku nggak ada di rumah mas. Dan aku takut nanti terjadi salah faham jika dia tahu aku memasukkan lelaki kedalam rumah” jawabku serba salah
“Iya tahu. Aku kesini Cuma mau nganter ini” ucap Arash memberikan kantong kresek ke tanganku
“Aku tahu kamu belum makan. Padahal kamu harus banyak makan karena kamu harus sehat. Kamu nggak boleh sakit, iya kan?”
Kembali aku tersenyum kaku
“Masuklah mas. Nggak enak aku, mas baru sekali kesini malah aku suruh berdiri di luar”
Arash memutar kepala dan tubuhnya melihat ke belakang, seperti memastikan jika keadaan aman, kemudian dia mengangguk
“Mata kamu kenapa?” tanya Arash setelah kami duduk
Aku segera membuang wajahku dan terburu mengusap wajahku dengan kasar. Setelah itu aku kembali menoleh kearah Arash dan menampilkan sebuah senyuman, memastikan jika aku baik-baik saja agar dia tidak banyak tanya
“Mas ngikutin kami ya?” tebak ku
Arash terkekeh, kemudian mengangguk
“Jadi mas tahu suami aku pergi?” tanyaku lagi
Kembali Arash mengangguk dan menjelaskan karena itulah dia bertamu ke rumah kami sekalian membawakan aku makanan, karena dia melihat jika pulang dari rumah sakit tadi mas Rafli tidak menghentikan mobilnya untuk membeli makanan, dan kemudian tak lama sampai rumah mas Rafli sudah pergi lagi
“Kamu nggak mandi?” tanyanya yang membuat aku sadar jika aku masih memakai seragamku kemarin. Seragam yang sejak pagi kemarin melekat di tubuhku belum diganti hingga malam ini
“Nanti sajalah mas. Tunggu mas pulang” jawabku sekenanya
“Oh, kalau begitu aku pulang saja”
“Nggak gitu juga kali mas…..” sergahku dengan nada merajuk
Arash tersenyum dan aku ikut tersenyum
“Aku ambilkan air minum ya mas?. Mas mau minum apa? teh apa kopi?” tawarku
“Nggak usah repot-repot” tolaknya halus
Tapi aku tetap berdiri dan meninggalkan mas Arash sendirian di ruang tamu. Sepeninggal Rara, Arash menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa dan matanya berkeliling memandang sekeliling rumah Rara. Di tembok hanya ada beberapa foto yang terpajang, foto pernikahan, foto Rara dan suaminya dan juga foto Rara sendirian.
Arash langsung berdiri begitu melihat Rara membawa baki berisi teh hangat dan juga kue yang tadi dibelinya
“Loh, aku beli kue ini untuk kamu loh Ra. Kenapa malah kamu hidangkan?”ucap Arash mengambil alih baki dari tanganku
“Kan mas tadi bawanya banyak, nggak habis oleh aku sendirian” ucapku
Arash tertawa mendengar jawabanku. Lalu aku mempersilahkannya minum dan tanpa kami sadari mengalir lah obrolan ringan kami
Jam delapan malam lewat Arash berpamitan padaku dan aku menganggukkan kepalaku ketika dia berpamitan
“Sekarang kamu bisa mandi” ucapnya tersenyum yang ku balas dengan terkekeh
“Ehm..., kalau aku minta bantuan, apa mas mau?” tanyaku ragu ketika Arash berdiri
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments