Sepanjang perjalanan, Yara terus berfikir. Ia tidak menyangka jika pria yang selalu dibanggakan oleh ibunya itu bisa berbuat seperti itu terhadap sang kakak.
Walaupun hubungan Yara dan Dena tidaklah dekat, tapi walau bagaimanapun mereka adalah saudara kandung dan Yara tidak suka jika ada orang yang menggangu keluarga nya.
" Tapi kalau aku bilang,pasti mbak Dena nggak akan percaya. tapi kalau nggak dibilang kasihan mbak Dena. Ish kok begini sih" batin Yara sepanjang jalan menuju rumah orang tuanya untuk menjemput anak-anak.
Seperti biasa, Yara tiba dirumah orang tuanya selalu saja diiringi tatapan mata-mata tidak suka kepadanya.
"Hallo dek Yara.... Baru pulang kerja ya" tanya seorang pria paruh baya yang tinggal di sebrang rumah orang tua Yara.
Yara yang tak pandai berbasa-basi hanya mengangguk saja dan kemudian berlalu dari sana. Sayup-sayup ia mendengar jika istri pria tua tadi sedang memarahi suaminya karena sudah menyapa Yara.
Yara sempat mendengar kata-kata yang tak pantas untuk di dengar. Bukan tidak perduli tapi ia jauh lebih mementingkan kesehatan mentalnya sendiri jadi ia tidak akan menanggapi hinaan dan cemoohan dari orang lain. Memang sakit tapi jika ia menanggapi nya maka hanya akan ada pertengkaran ia dan tetangga orang tua nya itu. Dan Yara tidak suka keributan apalagi nanti pasti dilihat oleh anak-anak nya. Yara tak ingin memberikan contoh buruk pada anak-anak.
"Bunda....." terdengar Yasmine berlari memanggilnya dari dalam ruang keluarga.
Yara segera menggendong si kecil Yasmine dan mencium pipinya yang gembul.
"Wangi benar anak bunda, udah mandi ya?" ucapnya.
"Dah, Yasmine mandi sendiri " jawab Yasmine kecil.
"Oh ya? Wah anak bunda udah besar ya. Pintar lagi" puji Yara sambil terus menciumi seluruh wajah putrinya.
"Kan mau sekolah bunda" sahut Yasmine lagi.
"Bohong Bun, tetap aja dimandikan sama nenek kok" bantah si sulung Abhi yang sudah bersiap-siap dengan tas di tangannya.
Yara senang sekaligus iba melihat anak-anak yang dewasa sebelum waktunya. Terutama si sulung Abhinaya. Rasa bersalah itu selalu bersarang dihatinya, karena Yara tidak bisa memberikan keluarga yang utuh pada anak-anak.
"Ayo Bun, kita pulang" ajak si sulung Abhi.
"Sudah semua ini barang-barangnya?" tanya Yara memastikan bawaannya.
"Sudah" jawab Abhi singkat.
"Ayo" ucap Yara.
"Ayah kami pamit pulang" ucap Yara kepada sang ayah yang duduk di teras samping yang sedang serius membaca koran.
Ayah Yara seorang pensiunan PNS. Sekarang masa tua beliau dihabiskan dengan duduk santai di rumah atau ikut memancing bersama bapak-bapak yang berada di komplek nya. Sedangkan ibunya seperti kebanyakan ibu-ibu lainnya, ikut arisan dengan para tetangga.
"Kenapa lagi itu para tetangga, kenapa nama kamu selalu dibawa-bawa oleh mereka? Kamu buat ulah apalagi kali ini Yara?" tanya ibu yang baru saja pulang dari arisannya di rumah tetangga ujung komplek.
"Bu... Ngapain sih didengar. Yara itu nggak ngapa-ngapain, dia cuma menjawab sapaan pak Bambang cuma itu. Istrinya saja yang kelewat cemburu" ucap ayah yang kali ini terlihat membela sang putri karena memang Yara tak bersalah.
"Pokoknya kamu jangan pernah sekalipun menjawab sapaan mereka. Kamu itu janda Yara, apapun yang kamu lakukan meskipun terkadang kamu benar, orang akan menganggap kamu itu tetap salah" ucap sang ibu yang terdengar begitu menyakitkan perasaan Yara.
Yara tak ingin membantah ucapan ibunya. Ia tidak ingin terlihat seperti anak durhaka di depan anak-anaknya.
Yara pamit kepada kedua orang tuanya. Ia tak ingin berlama-lama di sana demi kebaikan hatinya sendiri dan kewarasan jiwanya.
......................
Rumah kediaman Anderson
Rumah ini dahulunya selalu di hiasi candaan dan tawa dari para penghuninya, tapi kini rumah besar itu seperti museum yang hanya dikunjungi ketika luang saja.
Tuan rumahnya lebih senang menghabiskan waktunya di apartemen pribadinya yang terletak tak jauh dari kantor.
Tapi kali ini Arzan pulang ke rumah yang sudah tiga tahun ini tak pernah ia pijakan kakinya disini atau lebih tepatnya setelah sang istri Devinamira meninggal.
Terlalu banyak kenangan tentang Devina di rumah ini. Bahkan barang-barang pribadi Devina saja masih berada dikamar mereka dan tidak ada seorang pun yang boleh memindahkannya.
Arzan memasuki kamar pribadinya dengan mendiang sang istri. Rasa sedih itu masih terus mendominasi dalam relung hatinya.
Foto pernikahan dan dan foto-foto lainnya masih tetap pada posisinya tanpa bergeser sedikit pun.
Arzan masih dibayang-bayangi rasa bersalah kepada Devina. Jika saja dulu ia mau meluangkan waktunya sedikit saja untuk sang istri mungkin ia akan banyak memiliki kenangan dengan wanita itu. Tapi penyesalan memang selalu saja datang diakhir.
Terdengar pintu kamar diketuk.
"Selamat malam tuan Anderson, apa anda akan menginap disini? Atau mungkin anda akan makan malam juga barangkali?" tanya maid yang biasa mengurus rumah besar nya ini.
Arzan menoleh dan kembali menatap bingkai foto pernikahannya dengan Devina.
"Bu Fatma.... rasanya saya masih tidak percaya jika Devina telah pergi. lihat lah senyum nya, sangat indah bukan?" ucap Arzan kepada kepala pelayan yang telah lama bekerja pada keluarga Anderson.
Wanita tua yang dipanggil Arzan itu juga menatap foto bernuansa hitam putih itu.
"Ya... Nyonya Devina memang selalu cantik dan juga begitu ramah dan lembut. Saya juga merindukan beliau" sahut Bu Fatma.
"Ya... Dia memang cantik, wanita paling cantik yang pernah saya temui " ucap Arzan membenarkan perkataan Bu Fatma tadi.
"Saya akan mandi dulu, dan setelah itu saya ingin makan malam disini" ucap Arzan kemudian.
"Baik, saya akan siapkan air hangat untuk anda tuan" ucap Bu Fatma yang ingin berlalu ke kamar mandi.
"Tidak usah Bu... saya bisa sendiri" cegah Arzan yang memang ingin sendiri.
Tanpa banyak protes lagi karena memang sudah mengetahui tabiat majikannya, Bu Fatma segera berlalu ke arah walk in closet untuk menyiapkan pakaian Arzan dan ia segera berlalu dari kamar utama.
Arzan menyalakan shower dan mengatur suhu air menjadi hangat. Dibawah rintik air shower, tubuh liat Arzan begitu sempurna dengan otot lengan yang kekar namun tidak terlalu besar dan ditambah dengan otot perut yang membentuk sempurna. Arzan adalah perpaduan dewa Ares nan menawan.
Sekilas ia membayangkan wajah sendu seorang wanita yang ia temui di rumah sakit. Sebenarnya Arzan hari ini melihat Yara tapi tadinya ia tidak yakin, dan setelah asisten Kevin mengatakan jika ibu dari anak kecil yang Arzan tabrak tempo hari bekerja di perusahaan nya barulah Arzan meyakini nya.
"Ah... Sial! Kenapa wajah wanita itu yang muncul di ingatan sih" batin Arzan kesal karena ia membayangkan wajah sendu Yara dan mata indah wanita itu.
Arzan menatap wajahnya di cermin dekat wastafel. Dan lagi-lagi wajah Yara yang ia lihat.
"Tidak mungkin aku menyukainya... Devina hanya dia yang akan selalu ada di hatiku selamanya" ucap Arzan yang menyangkal bahwa ia memikirkan wanita yang berstatus janda itu.
Takdir tak ada yang tahu bagaimana cara kerjanya. Yang jelas jika tidak ada peristiwa yang berjalan dengan tanpa sengaja. Semua pasti sudah diatur oleh takdir.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments