Belajar menerima takdir.

Disaat hati merasakan cinta yang benar-benar tulus karena Allah. Maka, bagaimana cinta terbalaskan, itu tak penting lagi karena yang paling penting adalah melihat yang dicintainya bahagia, sekalipun bukan bersamanya. Sebab cinta karena Allah ternyata mengajarkan untuk ikhlas.

Seseorang berkata istri Nabi saja rela di madu. Namun, Rumi hanyalah perempuan biasa yang menikah dengan seorang duda beranak satu.

Rumi, hanya seorang ibu pengganti yang berharap diakui sebagai permaisuri, walau di hati suaminya terukir nama lain. Rumi hanya memiliki harapan bisa menjadi lentera di kegelapan malam pria itu walaupun sesaat.

Rumi biarkan Jaya melepas pagutan bibir mereka, dan pura-pura memejam, agar sang suami mengira ia tidak mengetahui air mata yang menetes dari mata Jaya.

"Terima kasih."

Entah untuk hal apa Jaya mengucapkannya. Tapi Rumi tidak ingin bertanya. Dibiarkannya sang suami melangkah keluar.

Mungkin sebenarnya Jaya memang merasa tidak betah berada di kamar, terlebih ada dirinya.

Tidak seperti kamar di rumah lelaki itu. Kamar yang biasa di tempati Jaya dengan almarhumah istri pertamanya, kamar yang tak pernah berubah, kamar yang tak diizinkan seseorang menjamah nya sedikitpun! Yang membuat Rumi bertanya, apa selamanya sang suami akan hidup dengan masa kelamnya, tetap membiarkan almarhumah sang istri seolah masih ada? Foto pernikahan dan potret lain kebersamaan mereka masih terpajang indah di kamar itu.

Seperti rutinitas biasanya, Rumi akan segera membuat sarapan setelah shalat subuh. Bedanya hari ini sedikit terlambat karena Jaya mencuri waktunya sebentar tadi.

Rumi kira, suaminya akan keluar untuk lari pagi seperti biasanya. Ternyata tidak. Lelaki itu tengah berada di dapur. Omelet dan sandwich sudah berada di di meja makan.

Rumi tercengang.

Apa selama itu dirinya melamun? Hingga baru saja keluar Jaya sudah mampu membuat dua menu sarapan sekaligus.

"Dianterin sarapan sama tetangga." ujar Jaya.

Rumi mengerjap. Sejak kapan tetangganya sarapan pakai menu seperti itu.

Menu sarapan umum di lingkungan tempat tinggal mereka itu lontong sayur, nasi pecel, nasi kuning, nasi campur dan makanan berat lainnya. Bukan sandwich.

"Tadi ada Mba Santi, yang mengirimkan ini untuk kita." beritahu Jaya yang melihat Rumi kebingungan.

Mata Rumi yang memandang dua hidangan di atas meja terbelalak.

"Mba Santi yang tinggal di samping rumah Bu RT, Mas?"

Jaya menganggukkan kepalanya.

Tiba-tiba Rumi terlihat panik.

"Mas Jaya belum memakannya, kan?" tanya Rumi dengan gesit mengambil dua menu tersebut untuk dibawa ke wastafel.

"Tadi itu sandwich nya dua, yang satu sudah saya makan."

Deg!

Entah sampai kapan batas sabar harus Rumi kendalikan? Batas sabar untuk mantan suaminya itu sudah di ujung tanduk, kesabaran Rumi sudah tak mampu lagi Rumi pupuk.

"Dek-"

"Mas, apa kamu merasakan keanehan?" tanya Rumi khawatir. Kini Rumi sudah berdiri di hadapan Jaya untuk memeriksa keadaan sang suami.

"Kamu kenapa?"

Rumi menelan ludah getir. Apa yang di campurkan mantan suaminya di makanan itu? Mba Santi adalah wanita yang bekerja paruh waktu di kediaman keluarga Pramudya, mantan ayah mertuanya.

Rumi menarik napas dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Kedua iris mata itu berkaca-kaca.

"Mas, bagaimana ini? Bu Santi itu bekerja di rumah mantan mertuaku, aku takut makanan itu dikirim oleh mereka, dan ada niat untuk mencelakai kamu dan aku."

Mata Jaya menatap pada istrinya. Entah mengapa ucapan Rumi seperti mencengkram relung hatinya. Kaki itu seperti terpaku. Membiarkan istrinya mengadu.

********

Kaleng susu satu brand merk tertentu itu berjajar di meja makan, beserta air kelapa muda yang di berikan oleh Rumi yang belum sanggup Jaya habiskan.

Sudah hampir lima jam, wanita itu terus memantau keadaannya.

Yang dapat Jaya simpulkan, bahwa tidak ada reaksi apapun dari makanan tersebut. Bisa jadi istrinya terlalu berlebihan dalam mengkhawatirkan dirinya.

Kedua mata sendu milik Jaya tengah terpejam jiwanya berusaha menahan napas yang tak tentu, gejolak di dada seakan menghujam relung hati. Ingatan perhatian dan ke khawatirkan itu terus berputar dalam otaknya.

Dia sudah kalah! Kalah pada rasa yang perlahan menggerogoti kesakitan masa lalunya.

Rumi.

Ya! Satu nama yang mampu mengurangi rasa takutnya.

Satu nama yang berhasil menyadarkan bahwa dia tak sendirian.

Satu nama yang tak ingin lenyap dari kehidupannya.

Satu nama itu membuatnya lemah, tak berdaya, tak mampu membuang begitu saja.

Pada kenyataannya, melepaskan tidak segampang ketika rasa itu datang. Mengikhlaskan tak semudah membalikkan telapak tangan. Padahal ia begitu tahu, inilah resiko yang harus ia tanggung karena berharap pada selain-Nya. Terlalu mencintai juga membuat manusia terpedaya oleh rasa pesakitan yang tak berujung.

Ya rabb... ampuni hamba, karena hati ini terus berusaha melawan takdir-Mu. Ampuni hamba, karena tak kunjung melepaskan apa yang harusnya tak berada di hati hamba. Ampuni hamba masih tak mengikhlaskannya. Jika berkenan beri hamba kesempatan untuk mencintai wanita sekali lagi. Tapi, izinkan hamba untuk terus menyelipkan namanya dalam do'aku.

Do'a itu dilangitkan di sepertiga malam setelah tahajjud nya. Berharap sang ilahi menghibahkan do'anya.

Dan kini, doa-doa itu sepertinya sudah menembus langit.

Jaya merenung, ucapan Abah dan uminya benar. Sebaik-baiknya skenario di dunia ini adalah naskah yang telah Allah tetapkan untuk hambanya.

*****

Senja mulai menyingsingkan cahaya berwarna jingga di ufuk barat. Perlahan tenggelam tertelan gulita nya malam. Suara jangkrik mulai berderik membisikkan nyanyian malam yang telah sunyi.

Sepasang suami istri itu mulai menelan rasa khawatir di hati masing-masing.

Rumi tak menyembunyikan kelegaan hatinya, melihat sang suami tidak bagaimana-bagaimana.

Rumi yang sejak pagi di serang rasa panik dan khawatir kini bisa tersenyum lega.

Malam begitu sunyi, hanya suara lembut hembusan angin menerpa wajah, ketika Jaya membuka jendela kamar. Dingin, namun menenangkan.

Jaya mematung ketika sebuah tangan melingkar di pinggangnya.

Itu istrinya Rumi, yang usai mengambil air untuk di bawa ke kamar mereka.

Jaya, mulailah memposisikan dirimu layaknya suami. Yang pergi tidak akan pernah kembali lagi, apa yang kamu harapkan dari seseorang yang sudah meninggal? Sehingga kamu menyia-nyiakan perempuan sebaik Rumi?

"Mas, dari tadi Rumi larang makan. Sekarang Rumi sudah siapin makan malam buat Mas, " kata Rumi membubarkan lamunan Jaya.

Jaya bergeming. Tiba-tiba dia ikut melingkupi tangan Rumi yang melingkar di pinggangnya.

Debar dan desiran halus menyeruak di dada keduanya.

Sekilas bayangan Dinar terbayang. Tak bosan Jaya bertanya dalam hati. Kenapa secepat itu kamu pergi dariku, Ning? Kenapa secepat itu kamu meninggalkan ku? Selalu itu. Yang Jaya pikirkan ketika mengingat Almarhumah istrinya.

Dengan cepat Jaya membalik badan. Dan itu membuat Rumi terkejut.

"Boleh aku makan?" tanya Jaya menatap Rumi.

"Tentu! Itu ... Mas, nasi dan lauknya masih-"

"Aku nggak mau makan makanan yang kamu bawa." potong Jaya pada kalimat Rumi.

Rumi mengerjap. Sebelum kembali bersuara.

"Jadi, Mas mau makan apa?"

"Makan, Kamu! Boleh? " jawab Jaya secepat cahaya.

Terpopuler

Comments

M. salih

M. salih

boleh, boleh bgt/Facepalm/

2024-02-07

0

faridah ida

faridah ida

cieee Jaya mau makan Rumi ....😁😁😁

2024-02-06

0

faridah ida

faridah ida

jangan2 makanan nya beracun ....jangan di makan sama kalian , takut nya itu dari Harsa ...

2024-02-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!