Kehendak.

Rumi mengangkat wajahnya saat tangisnya reda. lagi-lagi ibu jarinya berlabuh di tepi bibir Jaya yang terluka.

"Aku lebih suka Mas Jaya yang dulu, dari pada yang sekarang!" tuturnya lirih, tak melepaskan pelukan hangat yang sama-sama mereka rasakan.

"Maksudmu, aku yang gila?" Jaya menunduk guna menatap wajah Rumi.

Mungkin demikian. Rumi lebih suka Jaya yang tampak tak sempurna tapi mau belajar mengerti dirinya, dari pada Jaya yang sempurna tapi dengan masa lalu yang melekat.

Bersaing dengan masa lalu itu menyakitkan.

******

Jaya melihat punggung istrinya yang sedang sibuk melakukan ini dan itu di dapur. Mungkin kalau dia bukan manusia, perasaannya akan baik-baik saja, tapi setelah melihat bagaimana usaha Rumi untuk melayaninya sebagai suami, hati Jaya terketuk. Tidak mungkin dia tega terus menerus menggantung perempuan baik seperti Rumi. Semakin hari dia akan semakin berdosa dengan tak menyentuh wanita itu sebagai mana mestinya, tapi Jaya juga tak menampik jika hatinya masih sepenuhnya di isi dengan cinta tak bersyarat nya untuk mendiang istrinya.

Rumi yang sudah selesai dengan kegiatannya segera berbalik, serta menghidangkan makanan yang sudah dibuatnya.

"Maaf, Mas. Cuma mie kuah yang saya buat, soalnya ini yang paling cepat." ujarnya sambil meletakkan dua mangkuk mie di meja.

Perempuan itu juga lekas mendorong satu mangkuknya ke depan Jaya.

Hujan sudah mulai reda, malam sudah semakin larut, tapi hawa dingin di tubuh mereka tak kunjung pergi. Terlebih Jaya. Padahal Rumi juga sudah memberinya obat demam dan flu serta antibiotik.

Pengakuan Rumi yang mengatakan bahwa lebih menyukai Jaya yang dulu mengusik perasaannya.

Benak Jaya dilingkupi tanda tanya, apa yang membedakan dia yang dulu dengan yang sekarang? Apakah Rumi tidak salah bicara?

Rumi sudah mulai menikmati mienya. Melihat Jaya yang masih terdiam membuat Rumi berpikir apakah Jaya tidak suka dengan makanan yang di hidangkan.

"Mas, Jaya-?"

"Hum?"

"Nggak suka ya?"

"Apanya?"

"Mie yang aku buat."

"Oh,"

Jaya langsung menunduk dan membantah dugaan Rumi.

"Aku suka makanan apa saja, ini sangat cukup untukku." timpalnya meyakinkan.

"Kepala, Mas Jaya masih pusing?"

"Sedikit." Jaya tersenyum, setelah menyeruput mie kuah buatan Rumi, Jaya menjawab pertanyaan istrinya.

Mereka menikmati makanan berkuah itu hingga sama-sama habis.

Paginya. Rumi yang baru usai shalat subuh di tarik oleh Jaya ke atas tempat tidur.

Mereka duduk saling berhadapan, Jaya tidak melepaskan genggaman tangannya pada tangan Rumi.

"Ada yang ingin Mas tanyakan sejak tadi malam." ucap Jaya membuka percakapan.

"Apa yang akan kamu lakukan dengan tas-tas berisi pakaian itu, Rumi?"

Rumi terpaku. Dia lupa dengan rencananya tadi malam, kini bagaimana dia menjawab pertanyaan Jaya? Apa yang harus Rumi katakan?

"Apa kamu ingin meninggalkan saya?"

Pertanyaan Jaya membuat Rumi kehilangan kata-kata.

"Rumi-?"

"Maaf, Mas." lirihnya, tak berani menatap mata sang suami.

"Maaf, untuk apa?" lirih Jaya.

"Maaf, sepertinya Rumi menyerah menjadi istri Mas Jaya."

Meski sakit, Rumi tidak ingin mengarang cerita.

"Alasannya?" kini giliran Jaya yang terluka mendengar jawaban Rumi.

"Tidak ada." Rumi tidak ingin mengatakan jika dia mendengar keluh kesah lelaki itu di kamar asing kemarin.

"Apa ini soal obrolanku dengan Umi dan Abah, hari itu?"

Rumi bergeming.

"Rumi-" Jaya kembali meraih tangan istrinya yang berada dipangkuan untuk di tarik di atas bibirnya.

Cup!

Entah bagaimana perasaan Jaya saat ini. Dia takut kehilangan, tapi tidak tahu caranya untuk melarang. Jaya belum bisa menjanjikan apa-apa.

"Jika aku minta bersabar sebentar lagi, apa kamu mau?"

Jaya menarik dagu Rumi.

"Beri aku waktu untuk mencoba menumbuhkan cinta untukmu."

Permohonan Jaya membuat Rumi kian kikuk.

"Kamu juga mau kan, belajar mencintaiku?" tutur Jaya yang mampu memberikan sensasi hangat di dada Rumi.

Apa ini waktunya untuk saling terbuka?

*******

Pramudya menampar kedua pipi Harsa dengan kuat.

Kabar memalukan diterimanya saat masih menemani istrinya di teras rumah.

Karena mendengar kabar tak mengenakkan itu, ia bergegas menuju rumah RT setempat, lingkungan pemukiman Rumi dan Jaya.

Penuturan warga membuatnya naik pitam. Tapi selama masih di rumah RT setempat ia tidak bisa berbuat banyak, baru setelah Harsa berada di rumahnya, hadiah pukulan dan tamparan ia berikan.

"Otakmu dimana, Harsa? Jika memang kamu mau melakukan pemaksaan seharusnya cari tempat yang aman. Terserah, kamu mau perkosa wanita itu atau bahkan kau membunuhnya, asal jangan buat malu nama keluarga!"

Dada Lelaki paruh baya itu naik turun karena emosi.

Buku-buku jarinya memutih karena kepalan kuat jemarinya.

Tidak bisa ia terima putranya diperlukan seperti ini. Dengan secara tidak hormat Harsa di seret oleh warga sekitar untuk diamankan.

Pramudya tidak perduli meskipun Harsa salah, yang terpenting bagi dirinya adalah harga diri keluarga.

Harsa yang baru tersadar dari mabuknya berusaha mendengarkan ucapan bapaknya, tapi tetap tidak bisa fokus.

Kepalanya masih sangat amat pusing sisa mabuk semalam, ditambah beberapa kali mendapatkan pukulan dari Jaya, mati-matian Harsa menahan dirinya agar tak muntah, dan semakin membuat Bapaknya murka.

"Aku tidak akan membiarkan pasangan itu hidup dengan tenang setelah berani mempermalukan keluargaku!" ucap Pramudya penuh dendam.

"Bantu aku mendapatkan Rumi kembali," mohon Harsa tak ingin menyia-nyiakan kesempatan.

"Lupakan wanita itu, Harsa!" bentak Pramudya.

"Tidak, aku mencintai Rumi!" bantah Harsa.

Pramudya tersenyum masam. Dia tidak mengejek Harsa, tapi dirinya tidak akan pernah lagi menerima Rumi di keluarganya.

Dalam benak Harsa mulai timbul tekat. Apa bila dengan cara baik-baik dia tidak bisa mendapatkan Rumi kembali, mungkin sudah saatnya dia bertindak lebih berani. Peduli setan meskipun dia harus menghamili wanita itu agar mau kembali padanya.

Mungkin dengan menghabisi lelaki yang menjadi suami dari wanita itu bisa mempermudah jalannya.

*******

Tangan besar Jaya melingkupi wajah Rumi, menyalurkan kehangatan seperti semalam.

Mengingat semalam, Rumi tidak bisa mencegah bibirnya untuk tersenyum.

Semalam mereka berdua tidur berpelukan hingga menjelang pagi. Bersyukur rasa sakit kepala keduanya juga sudah mereda. Bahkan bibir pucat kebiruan Jaya mulai merona.

"Mas, gak berangkat kerja?" mencoba bersikap santai, Rumi bertanya soal kegiatan Jaya pagi ini.

"Tidak untuk hari ini." balas Jaya tanpa mengalihkan pandangannya dari leher jenjang istrinya yang terekspos, setelah ia melepaskan mukena yang dikenakan Rumi.

Rumi menelan ludahnya sendiri, melihat arah pandang sang suami, Rumi merasa gugup.

Mengapa pagi ini Jaya tidak seperti biasanya? Ada yang berbeda dari lelaki itu. Tapi apa?

"Mas-?"

Tubuh Rumi di sudutkan keke pala ranjang. Tangannya di cekal, dan tiba-tiba bibirnya di bungkam.

Beberapa saat Rumi syok, tapi lebih syok lagi ketika melihat Jaya meneteskan air mata di tengah perbuatannya.

Kenapa Jaya menangis?

Menyesal kah Jaya setelah dirinya?

Terpopuler

Comments

Soraya

Soraya

maunya Jaya apa sih secara g langsung jaya tlh menyakiti Rumi

2024-05-20

0

faridah ida

faridah ida

bingung juga sama Jaya ,... kasihan Rumi ini ....

2024-02-06

0

faridah ida

faridah ida

hadeeeh bapak sama anak sama2 gila nya ini .....

2024-02-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!