Mengungkap rahasia

Kehilangan orang yang paling berarti di hidupnya membuat seorang Jaya menarik diri dari lingkungan sekitar, marah dan tangis menjadi teman sepanjang hari, perasaannya hampa.

Jaya terus menolak kenyataan. Dan berusaha untuk bertahan dari rasa sakit emosional akibat kehilangan tiba-tiba.

Jaya kewalahan memproses sesuatu pasca ditinggal perempuan yang begitu dicintainya. Semua yang biasanya dilakukan bersama-sama, kini harus dilakukannya seorang diri. Otak, tubuh, dan perasaannya tidak bisa menerima dan sulit menyesuaikan.

Jaya tak mau keluar dari rasa sedihnya. Terus berusaha menawar agar istrinya hadir kembali. Jaya merasa tidak mampu hidup tanpa mendiang istrinya. Dan untuk kasus orang meninggal. Tentu itu tidak mungkin, Bukan?

Perlahan sikap Jaya kian berubah, lelaki berbudi baik dan berpendidikan itu makin hari semakin menarik diri, dari yang tidak mau makan sampai pada tahap tidak mau bicara.

Senyum rupawan nya berubah jadi hujan air mata, lelaki periang itu berubah jadi pemarah. Hingga suatu ketika keluarganya membawanya ke psikolog tapi Jaya tidak mau dan memilih pergi dari mereka, tinggal di satu desa yang jauh dari keluarganya.

Hari itu ketika dia menemukan kedatangan keluarganya. Rasa bersalah menghantam jiwanya.

Orang-orang itu pasti merasa sakit atas keputusan yang diambil.

Hassan pergi dari acara bukan menghindar, melainkan tak sanggup menatap wajah-wajah keluarganya.

"Bagaimana mereka bisa tahu?" Jaya duduk menekuk lutut dengan terus bergumam kalimat demikian.

Lelaki yang menjadi teman karibnya berusaha menenangkan.

"Abah, umah, pasti kecewa karena aku sudah berkhianat."

Melihat kondisi Jaya, lelaki itu ikut berjongkok.

"Tidak ada yang berkhianat, Njenengan tidak salah. Kebahagiaan sampean adalah kebahagiaan mereka, Gus."

"Istriku pasti membenciku!"

"Ning sudah bahagia disisinya, sudah saatnya njenengan juga bahagia. Mbak Rumi kelihatannya perempuan yang baik, Gus harus bisa mengikhlaskan Ning. Gus, ada seseorang yang merindukan Njenengan, menunggu Gus mau memangilnya, dia rindu pada Gus, sedih melihat Gus yang seperti ini."

Jaya mendengar kesaksian teman karibnya hanya bisa diam, Jaya belum siap untuk bertemu dengan dia yang dimaksud lelaki bernama Dafa itu.

Beruntungnya saat kembali, Rumi tidak menanyainya macam-macam. Jaya mengingat ucapan lelaki tadi, Rumi memang perempuan baik, dan kini sudah lebih satu bulan mereka menikah, Jaya belum bisa membuka siapa jati dirinya.

Dan kini ibunya datang dengan tiba-tiba ditengah ketidaksiapan Jaya

"Hassan, kau kenapa, Nak?" buru-buru perempuan paruh baya tadi ikut mendekati Jaya yang berprilaku tak biasa.

"Pergi!"

Teriakan Jaya memekakkan telinga. Lelaki itu mengacungkan tangan dengan hati berantakan.

Jaya langsung memasuki kamar. Emosinya tambah tinggi. Ia tak menyangka ibunya datang dengan tiba-tiba. Jaya takut kebenaran tentang dirinya akan melukai Rumi.

Rasa itu tumbuh tanpa diminta, mengikis trauma dan perlahan menumbuhkan rasa percaya Jaya pada Rumi.

"Mas," panggil Rumi mendekatkan jarak.

"Apa yang sudah diberi tahu tentangku? Dia menceritakannya?"

"Iya, Mas." Rumi mengakui.

Jaya menghela napas pelan lantas tersenyum hampa. Percaya itu selalu ada lewat tatap mata yang tak bisa menyembunyikan dusta.

Jaya mencoba menguasai diri. Ia nyaman dengan sikap Rumi yang tak pernah meminta penjelasan. Rumi seperti mendiang istrinya yang begitu memahaminya. Sayang cinta yang terlalu besar menimbulkan luka yang besar pula saat kehilangan.

Jaya terdiam dengan dada sesak. Lelaki itu lelah dengan segala permasalahan dan kehadiran Rumi mulai menariknya kembali ke dunia nyata.

Jujur, Jaya tak suka ditekan. Ia suka bingung untuk mengeluarkan keluhan dan sekedar bercerita tentang bebannya. Maka, Jaya lebih memilih memikirkan jalan keluar. Dia akan jujur jika sudah siap. Dan Rumi bisa mengerti, dia mungkin butuh kejujuran Jaya, tapi wanita itu bersedia menunggu.

Tak ada kemarahan di wajah Rumi. Bayangan ingin melepaskan Rumi menguap. Rumi selalu memahaminya. Pernikahan wanita itu hancur sebelumnya, apa Jaya tega memberi luka yang sama?

"Kamu tidak marah? Maaf kalau masa lalu aku rumit," Setelah keheningan yang terjadi, Jaya akhirnya mampu bersuara.

"Enggak marah, Mas. Semua sudah berlalu."

Jaya tersenyum. Kepribadian Rumi yang tak terlalu menuntut banyak hal membuat Jaya nyaman. Ada rasa pas bersanding dengan wanita ini. Tapi cintanya sudah dibawa pergi oleh sang pemilik hati.

"Kamu gak nuntut aku buat nyeritain masa lalu?" Jaya bertanya sembari merapikan anak rambut Rumi.

"Aku menunggu kamu siap, Mas." Rumi tahu Jaya tipikal orang pendiam yang menjunjung tinggi privasi.

Lebih dari satu bulan tinggal bersama, sifat jaya sudah bisa Rumi pahami. Ketika Jaya diam ketika habis dari luar. Maka, Rumi berusaha tersenyum dan tak bertanya macam-macam. Saat mereka berada di atas ranjang dan dalam keadaan santai, Jaya akan sedikit bercerita tentang kesehariannya yang dilalui di luar. Rumi mendengarkan dan sesekali menimpali juga mencoba memberi saran.

"Rumi..." Jaya memanggil istrinya lembut.

"Aku duda beranak satu."

Rumi terkejut. Namun, ia hanya menatap sang suami tanpa melemparkan segala praduga.

"Umurnya hampir sepuluh tahun sekarang," lirih Jaya.

Air mata mengalir seiring dengan hati yang didera kesakitan.

"Mas," lirih Rumi memegang kedua pipi Jaya.

Diusapnya air mata yang mulai berjatuhan di pipi Jaya. Lelaki itu menangis dengan tangan bergetar.

"Jangan menangis. Aku tidak akan marah. Aku percaya kamu."

Kalimat Rumi membawa ketenangan sendiri di hati Jaya. Mereka terdiam dalam posisi saling tatap. Jaya menenangkan diri. Ia tersenyum kecil.

"Ayo ke makam. Akan ku ceritakan masa laluku. Kamu berhak tahu karena kamu sekarang adalah istriku, Rumi."

Perjalanan menuju makam menghabiskan waktu sekitar tiga jam perjalanan. Jaya tidak menghiraukan kehadiran ibunya, yang di utamakan sekarang kelegaan hatinya. Untuk pertama kalinya Jaya ingin membagi beban berat di hidupnya.

********

"Ning.." panggilan itu menghentikan tangan wanita yang tengah menyusun piring bekas buah.

Wanita cantik itu meninggalkan pekerjaannya dan segera menghampiri suami beserta orang tuanya yang sudah siap.

"Beneran nggak mau ikut Abang?" Pertanyaan sang suami dijawab gelengan kepala oleh sang istri.

"Enggak Bang, hari ini kan Zahra masih di rumah, Dinar mau temani Zahra." ujar Dinar istri tercinta Jaya sembari merapikan pakaian yang dikenakan sang suami.

Sama sekali tidak ada firasat apapun. Sampai di kota tujuan. Jaya berusaha menghubungi nomor istrinya tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. Jaya masih berpikir positif, hingga menjelang pagi Jaya berusaha menghubungi ayah mertuanya.

Alhamdulillah panggilan itu di terima. Tapi bersamaan dengan itu kabar yang tak ingin didengarnya seumur hidup datang.

Sang istri tercinta telah berpulang ke Rahmatullah dalam keadaan luar biasa indah, sujud dengan mushaf di pangkuannya.

Jaya ditinggalkan dengan segala mimpi yang belum terwujud. Istrinya meninggal begitu tiba-tiba dan Jaya tidak berada disisinya.

Rasa bersalah menghantam jiwanya mengguncangkan iman yang goyah. Jaya mulai menyalahkan diri juga takdir, Jaya berada dalam waktu paling buruk. Ia terpuruk. Abah dan Uminya setia memberi dukungan moril setiap waktu. Jiwa Jaya mulai terganggu dan suara-suara asing mulai terdengar. Suara-suara yang menuduh dirinya pembunuh. Jaya semakin terpuruk. Nyatanya Jaya juga hanya manusia biasa yang memiliki batas kesadaran, larut dalam kubangan kepedihan karena kehilangan membuatnya hampir kehilangan seluruh kewarasannya.

Berbagai bujukan untuk berobat dilakukan oleh Abah dan Uminya selepas perangai Jaya tak wajar. Tapi Jaya justru memilih kabur. Dia meninggalkan keluarga sekaligus seorang putri yang masih membutuhkan sosoknya.

Rumi yang mendengar ulasan cerita Jaya selepas dari pemakaman Almarhumah Dinar pun terdiam. Di tatapnya wajah Jaya yang berulang kali menghentikan cerita. Dari ekspresi itu pula Rumi sadar seberapa besar cinta sang suami pada mendiang istrinya.

"Aku gila, Rumi. Mungkin itu bisa membuat kamu pergi."

Rumi terdiam.

"Kamu bisa menggugat cerai atas ketidak becusanku menjadi seorang suami. Carilah pria yang lebih layak untukmu, kamu cantik dan baik. Jangan pernah sia-siakan hidupmu untuk lelaki seperti mantan suami mu dan seperti diriku. Kamu berhak bahagia."

#######

Ada yang setuju Rumi balikan sama bang Harsa?

Terpopuler

Comments

Evy

Evy

sama saja bunuh diri kalo masih mau balikan sama mantan...

2024-05-05

0

Fi Fin

Fi Fin

aku sih ga se7 Rumi pisah sama Jaya ....satukan trs Jaya dan Rumi

2024-05-02

0

nue21

nue21

tidak setuju lah thor. lebih baik sama jaya. jaya bisa sembuh dri rasa benci pd diriny sendiri krna istri ny yg sudah meninggalkn dunia.

2024-03-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!