Belajar mencintai

Rumi tersenyum membalas senyum Zahra.

"Kenapa nggak bangunin Mba? " tanya Rumi pada Zahra yang masih menatapnya.

"Belum masuk subuh kok, Mba." jawab Zahra masih menikmati pandangan teduh ibu sambungnya.

"Tapi kan, kalau bangun lebih awal lebih baik."

Zahra mengangguk. "Lagi mau lihatin Mba aja." jawab Zahra santai.

"Kenapa?" tanya Rumi penasaran.

"Mba, mirip Umi aku."

"Oh, ya?" kaget Rumi, benarkah dia mirip dengan almarhumah istri Jaya?

"Apanya?" tanyanya nya lagi.

"Sikap Mba, perhatian Mba, dan cara Mba memperlakukan ku."

Rumi mengerjap, sedikit bingung dengan jawaban Zahra. Ia pikir mirip yang dimaksud Zahra adalah paras atau wajahnya.

"Nanti kalau Abati bawa Mba kesini lagi, Zahra mau dijemput dari pondok, Zahra masih pingin ngobrol sama Mba."

Tidak ada yang salah dengan perkataan Zahra, tapi Rumi tidak bisa menjanjikan itu. Sebab Rumi sedang memikirkan untuk menyerah.

Tidak hanya malam hari, hingga selesai shalat subuh Zahra masih terus mengoceh bercerita ngalor ngidul pada Rumi. Sampai yang menjemputnya dibuat geleng-geleng kepala.

"Zahra masih mau ngobrol sama Mba, Pak lik Dafa!" protes Zahra nggak suka saat dihampiri untuk dibawa ke pondok.

"Kapan-kapan lagi, Nduk! Nggak baik terlalu lama diluar pondok, nanti hafalanmu hilang." tegas Kiai Ahmad Sulaiman ikut membujuk cucunya.

Lucu!

Bukan Jaya yang memberatkan Zahra kembali, tapi Rumi. Ibu sambung yang bahkan di panggil Mba olehnya.

"Yang kakung benar, Zahra." Rumi ikut membujuk.

"Tapi, Mba janjikan, akan cepat kesini lagi sama Abati?"

Rumi tak lantas menjawab, wanita itu memandang Jaya sebentar. Lelaki itu juga tengah menatapnya. Sejenak tatapan mereka memaku, sebelum akhirnya Rumi yang mengakhiri lebih dulu.

Rumi tidak ingin memberikan janji palsu, sebab itu dia hanya tersenyum tanpa mengiyakan.

Jaya yang melihat itu keheranan, pasalnya Rumi seperti menghindari kontak mata dengannya sejak pagi, tidak seperti biasanya.

"Mba, kok diam?" ternyata Zahra gadis yang peka, dia kembali memprotes kebisuan Rumi.

"InsyaAllah!" ujar Rumi sedikit memaksakan senyumnya.

"Yes! Makasih, Mba. Eh?"

"Kenapa?" melihat Zahra yang menutup bibirnya seolah salah bicara membuat Rumi bertanya.

"Mba, kalau Mba jadi Ibu, sukanya di panggil apa?" padahal jemputannya sudah menunggu, tapi Zahra malah bermain pertanyaan dengan Rumi.

Rumi tampak berpikir, sebelum akhirnya bibirnya mengulas senyum.

"Bunda, Mba mau dipanggil dengan sebutan itu." Rumi suka dengan anak kecil, terbiasa hidup sendiri tanpa adik maupun Kaka membuat Rumi memimpikan memiliki banyak anak, dan anak-anak nya itu akan memanggilnya dengan sebutan Bunda.

"Mba keberatan nggak, kalau aku panggil Bunda ke Mba?"

Pertanyaan Zahra menyita perhatian banyak orang, termasuk Jaya.

Rumi terpaku, menatap Zahra tak percaya.

Apakah ini tanda jika Zahra mau menerimanya sebagai istri Abati nya?

Saat sadar dari keterpakuannya Rumi meraup tubuh Zahra untuk di dekap. Dekap erat serat kasih sayang, meskipun Rumi baru bertemu dengan Zahra. Rumi seperti memiliki kecocokan dengan gadis itu.

Kepergian Zahra menyisakan ruang kosong di hati Rumi.

Rumi membantu membereskan piring bekas sarapan, meski pun sudah dilarang oleh Umi dan Kiai Ahmad Sulaiman.

Rumi hanya ingin menyibukkan diri agar dia tak terlihat galau seperti yang memang tengah Rumi rasakan.

"Mba," Rumi yang baru meletakkan piring di wastafel menoleh pada seorang wanita yang di. kenakan ibu mertuanya sebagai guru pendamping di ponpes yang suka membantu di rumah beliau ketika ada sebuah acara atau kesibukan. Namanya Sauma.

"Iya?" jawab Rumi seraya menoleh.

"Saya nggak mau ikut campur, tapi kalau boleh saya kasih saran, ada baiknya mba pikirkan lagi matang-matang jika mau meninggalkan Gus Hassan."

Rumi kaget di ingatkan seperti itu. Bagaimana wanita ini bisa tahu.

"Saya pernah berada di posisi yang hampir sama, menikah karena perjodohan. Saya pikir dengan berpisah maka saya akan mendapatkan kebebasan. Tapi ternyata kebebasan yang saya harapkan, enggak benar-benar terasa bebas. Luka yang ingin saya sembuhkan tidak benar-benar bisa sembuh."

Meski tak bisa dibilang menyesal sepenuhnya, Sauma hanya menyayangkan perpisahan dirinya dengan lelaki yang dijodohkan oleh Kiai Ahmad Sulaiman. Dia begitu menggebu-gebu ingin bebas, tapi kebebasan yang dia rasa justru makin membuatnya terkurung. Tubuhnya memang bebas ke sana kemari, tapi tubuhnya terasa tak pernah ikut. Masih tertinggal bersama dengan kenangan dan sosok itu.

Setelah diingatkan oleh Sauma, Rumi banyak merenung. Memikirkan ulang keputusannya untuk pergi. Apa itu suatu hal yang benar? Rumi jadi ragu. Mungkin tidak ada salahnya jika dia bertahan sedikit lagi kan?

Sedikit bersemangat. Rumi akan memberi satu kesempatan dirinya untuk berjuang. Rumi akan usaha untuk bertahan di sisi Jaya lebih lama lagi.

Rumi melangkah ingin kembali ke kamarnya setelah tadi minta izin untuk keliling halaman belakang pada Jaya.

Saat melintas di sebuah kamar yang berada di depan tangga langkah Rumi berhenti ketika mendengar isak tangis. Samar-samar suara familiar itu masuk ke gendang telinganya.

"Abang ini tidak sekuat yang orang pikiran, Ning. Kamu yang membuat Abang kuat dan bertahan untuk tetap berdiri menghadapi ini. Abang tidak sekuat itu, Ning. Abang lemah, lemah karena orang yang menguatkan Abang telah pergi selama-lamanya, kamu udah nggak ada."

Air mata mengalir di pipi Rumi. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, ia bisa melihat suaminya terisak di atas pembaringan dengan tangan memegang sebuah bingkai foto.

"Saya cinta kamu, Ning. Kamu harus ingat dan tahu itu. Kepergianmu membuat hidup Abang berantakan. Selamanya cinta Abang untuk kamu."

Tak kuat mendengar lebih banyak lagi Rumi langsung berbalik pergi. Dengan hati dan perasaan tersayat-sayat.

Dia baru ingin berjuang, tapi sang empu sudah membangun benteng yang tak mungkin ia gapai.

Sementara didalam kamar yang dulu Jaya tempati bersama almarhumah istrinya, lelaki itu masih berkeluh kesah.

"Bukan maksud abang mengkhianati cinta kita, Ning. Tapi Rumi adalah wanita baik-baik yang sudah menyadarkan Abang bahwa selain kamu, Abang masih memiliki putri kita. Zahra terlihat senang dengan Rumi, Rumi juga membuat abangmu ini sadar jika ternyata perasaan cinta abang belum mati, izinkan Abang belajar mencintainya. Putri kita membutuhkan sosok ibu, Ning! Dan Abang izin menjadikan Rumi mengantikan peranmu."

Rumi memandangi seisi kamar yang ia tempati tidur di hari pertamanya tiba di rumah ini. Ia memandang sebuah foto Jaya di sana. Mencoba menepis kenyataan dengan berulang kali memperhatikan. Tapi itu adalah nyata. Jaya sudah memberi batas untuk bisa Rumi gapai.

Rumi tahu ini adalah konsekuensi atas keras hatinya. Berhubungan dengan orang yang memiliki masa lalu memang memiliki resiko patah hati yang besar. Tapi Rumi tidak menyangka bahwa rasa sakit yang dialaminya akan terasa sangat menyakitkan seperti saat ini.

Yang Rumi tau, hanya perasaannya yang terluka. Dia terluka sendirian.

Rumi menenteng tas yang berisi pakaiannya. Rumi memutuskan pergi meninggalkan rumah orang tua Jaya. Meninggalkan semua penghuninya dan hati yang telah di curi.

Terpopuler

Comments

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

sekuat kuatnya wanita , bila tdk dicintai suaminya maka Iya akan pergi .
berat memang bersaing dgn org yg telah tiada

2024-02-07

0

faridah ida

faridah ida

aduuuh Rumi jangan pergi dulu , kamu salah paham ini ,....🤦‍♀️

2024-02-06

0

M. salih

M. salih

yah, salah paham Rumi

2024-01-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!