Meminta Rumi.

"Jadi, kita pergi jam berapa?" tanya Rumi setelah mampu menguasai diri.

Jangan sampai momen barusan membuat rencana mereka untuk pergi ke Lamongan tertunda.

"Jadi. Tapi, tidak dengan penampilan seperti ini." ucap Jaya.

Ucapan Jaya membuat Rumi kembali melihat pantulan dirinya di depan cermin. Rumi belum tahu dimana salahnya.

"Bentuk badan kamu kelihatan banget." tutur Jaya pelan.

Lelaki itu mulai memposisikan lengannya untuk memeluk Rumi dari belakang, seringan bulu, Jaya mulai menaruh kepalanya di pundak Rumi.

"Boleh minta kamu pakai hijab?" pertanyaan Jaya terlontar.

Senyum manis di bibir Rumi surut. Apakah mantan istri Jaya dulu berhijab? Kalau Rumi terus terang belum pernah mengenakan hijab hingga usianya kini menginjak 20 tahun.

"Rumi," panggil Jaya serta usapan di pipi membuat Rumi terperanjat.

"Aku cuma berusaha menjaga apa yang seharusnya terjaga. Mungkin banyak wanita yang merasa belum siap, tetapi perintah Allah benar adanya. Di Alquran tertulis jelas perintah memakai hijab."

Jaya mulai bangkit dari posisi senderan. Ia memeluk Rumi dari belakang, kini. Tinggi yang terlihat serasi terpantul lewat kaca rias.

"Maaf, aku bukan ingin mengekang mu, hanya saja- "

"Iya, aku mau pakai hijab, Mas. " Rumi memotong ucapan sang suami.

Mendengar penuturan Jaya yang lembut, Rumi mau memenuhi. Permintaan sang suami baik, lalu apa alasan yang membuat Rumi menolak. Dengan hati yang lapang, wanita itu mulai menuju lemari dan berganti.

Jaya menunggu istrinya di luar kamar dengan debar. Selama bersama Rumi, ia belum pernah melihat wanita itu mengenakan hijab. Padahal dengan mengenakannya Jaya yakin kecantikan Rumi akan semakin memancar.

Benar saja, saat Rumi berada di ambang pintu, Jaya dibuat pangling pada Rumi dengan penampilan baru.

Andai Jaya tak mengingat tujuan mereka ia akan betah terus beradu pandang dengan Rumi saat ini.

Dengan senyuman merekah, Jaya menarik sang istri untuk di bawa keluar rumah. Ia sudah memesan taksi, dan saat ini sudah menunggu di halaman rumah.

Jaya dan Rumi menuju kearah mobil yang sudah terparkir di pekarangan rumah. Namun, langkah mereka terhenti kala satu teriakan menggema.

"Rumi!"

Membeku. Rumi familiar dengan suara itu. Jaya yang disamping Rumi langsung menoleh. Benar saja, ada seseorang yang datang tanpa di undang.

"Sudah hampir dua bulan kapan kamu akan bercerai dari laki-laki ini?"

Harsa dibuat terpesona dengan kecantikan mantan istrinya dengan pesona baju muslim nan penutup kepala.

"Kalau bicara yang sopan!" tegur Jaya.

"Aku bertanya pada Rumi bukan sama kamu!"

Ucapan Harsa memantik api di hati Rumi. Sampai kapan mantan suaminya ini akan berhenti mengganggu kehidupannya? Rumi sudah sangat lelah, menjadi istri Harsa itu bertahan sakit pergi pun sulit. Bahkan sudah cerai pun, Harsa masih terus mengganggu.

Jaya beristighfar dalam hati.

"Saya menegur anda, karena yang anda ajak bicara adalah istri saya."

Lembut dan tajam ucapan itu terlontar. Harsa diam dan mengangguk dengan ekspresi mengejek.

"Rumi, Ibu masuk ke rumah sakit, dan dia merindukanmu."

Entah mengapa hati Jaya terusik, ia menatap Harsa tak suka.

"Ibu kecelakaan saat akan pergi dari rumah." ucap Harsa sendu mendramatisir keadaan.

Benar saja, Rumi mulai penasaran dengan kabar yang di bawa Harsa.

"Kenapa bisa kecelakaan, Mas?" pada akhirnya tanya pun terlontar.

Alis Jaya terangkat satu. Ia seakan menerima kibaran bendera perang dari Harsa saat ini juga. Merasa kalah? Tidak! Mantan suami memang punya wewenang apa? Di sini, Jaya adalah pemenang yang sesungguhnya. Rumi istrinya.

Dugaan Harsa tentang Jaya yang minim kepercayaan adalah salah besar. Jaya memberikan seluruh kepercayaannya pada Rumi. Hingga lelaki itu menceritakan sebagian kisah masa lalunya pada sang istri.

Rumi tak menghakimi. Ia mempunyai masa lalu, Jaya juga.

"Aku mau bicara dengan Rumi!" Harsa berkata dengan penuh penekanan.

"Saya suaminya, saya berhak menemani istri saya. Mungkin kalau istri saya ingin saya pergi-"

"Mas di sini saja, " Rumi menggenggam tangan Jaya erat.

Harsa yang melihat interaksi demikian merasa kelabakan. Ia tak suka, benar-benar tak suka.

"Rumi.. aku hanya ingin kamu kembali, sesuai kesepakatan kita jika kamu hanya menikah dengan lelaki ini untuk jalan agar kita bisa rujuk." perkataan Harsa menyakiti Jaya.

"Sejak awal aku tidak mengiyakan idemu itu, Mas!" Rumi berkata penuh penekanan.

Amarah yang sedari tadi di tahan berkumpul dan keluar. Harsa memang lelaki penuh obsesi, itu kekurangannya.

"Tidak rindu kah kamu dengan sentuhan tanganku ini? Yakin, lelaki sinting ini pasti tidak bisa membuatmu tersenyum puas di atas ranjang."

Rumi menghembuskan napas. Sepertinya Harsa mulai terkena depresi berat, wanita itu menyimpulkan. Gila! Bagaimana bisa mengumbar segala privasi? Sangat tidak etis!

"Kamu ... biarkan aku rujuk dengan Rumi!" tegas Harsa mengacungkan jari ke arah Jaya.

Jaya menepis tangan Harsa yang menunjuk dirinya. "Bung, dengar! Saya suaminya Rumi. Jadi hentikan drama ini. Mulailah menerima takdir dan menata hidup. Kami sudah menikah. Malulah mengganggu mantan istri yang memang istri orang."

"Bagaimana dengan dirimu sendiri? Gila karena ditinggal mati! Apa itu yang disebut menerima takdir, eh?" Harsa tertawa jahat, dia sudah tahu kelemahan rivalnya.

Kalimat Harsa membawa kenangan sendiri di hati Jaya. Kenangan akan luka dan rasa bersalah. Kebenarannya dia juga seorang pengecut.

Tarikan Rumi membuat Jaya mengerjap. Mereka pun pergi memasuki mobil. Dalam hati Rumi tak berhenti berdoa guna memohon agar suasana hati suaminya tak apa-apa.

Harsa membiarkan keduanya pergi dengan senyum kecut. Dia bukan mengalah, tapi juga tidak ingin gegabah. Bagaimanapun juga Rumi harus kembali menjadi istrinya.

Sementara di dalam mobil yang membawa sepasang suami istri itu suasananya menjadi berbeda.

Rumi menyadari ucapan Harsa sangat berefek pada mood Jaya. Terbukti Jaya mulai menatap kosong dan tidak fokus saat diajak bicara.

"Yang dikatakan oleh mantan suamimu benar, aku ini munafik!" Jaya berkata.

Rumi menautkan tangan mereka. Tangan Rumi berpindah lamban. Wanita itu memilih menangkup pipi sang suami. Lantas dengan kedipan mata, air mata Jaya mulai jatuh.

"Apa pun yang terjadi aku ingin berada di sisimu. Kecuali jika kamu yang akan memintaku pergi."

Rumi berkata lirih sebelum mengikis jarak dan menanam kecupan panjang di bibir Jaya. Mereka terdiam. Rumi merasa lega sedangkan pak sopir terpesona.

"Aku tak sempurna, Rumi." Jaya tak bisa meneruskan katanya karena tatapan Rumi menghanyutkan perasaannya.

Hubungan akan terjaga jika pelakunya sama-sama dewasa dan mampu mengerti pasangannya.

Itu yang tengah Rumi perjuangkan. Rumi menarik kepala Jaya agar bersandar di pundaknya. Jaya yang diperlukan seperti ini lagi-lagi merasakan perasaan hangat.

Setiap kali Rumi bertingkah selayaknya seorang istri Jaya kerap terlena, tetapi saat kesadarannya timbul dia merasa jadi seorang penghianat.

Ning, maafkan Abang!

Terpopuler

Comments

faridah ida

faridah ida

Ning sudah tenang bang Jaya ... hiduplah bahagia bersama Rumi dan anak mu ...

2024-02-06

0

faridah ida

faridah ida

Dasar mantan suami gilaa ... orang rumah tangga baik2 di suruh cerai ....🤦‍♀️🤦‍♀️

2024-02-06

0

M. salih

M. salih

kenapa minta maaf, harusnya sama Rumi kamu minta maaf

2024-01-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!