Congkak

"Dik, biaya operasi itu mahal, kalau lahiran 15 juta, uang sebanyak itu darimana bisa akang dapatkan dalam seminggu?" protes Sugi.

Ayu beranjak dari ranjangnya dan menatap tajam pada sang suami, sepertinya puncak kekesalan sudah sangat tak lagi dapat ia tahan.

"Makanya kamu itu jadi suami kerja yang bener. Jangan taunya buat anak tapi gak tau caranya buat anak-anak dan istri kamu senang!" ucap Ayu dengan nada sengit. "Aku tuh, bosen, ya, hidup melarat terus sama kamu!"

Deeeegh...

Jantung Sugi terasa copot, deru nafasnya memburu seilah ia habis berlari ribuan kilo meter.

"Apa aku selama ini tidak bekerja? Aku sudah berusaha semampuku, tetapi emang rezeki kita cuma adanya segitu. Sebaiknya kamu introspeksi diri, dik. Apakah pernah kamu selama ini mendoakanku untuk dimudahkan rezekinya? Sebab kelancaran rezeki seorang suami ada pada doa istri," sahut Sugi dengan hati yang terluka, namun tak berdarah.

Ayu menoleh ke arah sang Suami. Iblis kini sudah menguasainya. Hatinya penuh kebencian dan amarah. "Apa, apa tadi kamu bilang, Kang? Aku introspeksi diri? Kenapa sekarang aku jadi yang kamu salahin? Ini semua salahmu, dan satu kesalahanku, nikah sama pria sial seperti kamu!" Ayu semakin lancang, ia melupakan adab dan tatakrama, serta posisinya sebagai seorang istri.

"K-kamu," ucap Sugi terbata. Ia memilih keluar dari kamar karena takut khilaf dan akan terjadi perbuatan yang dihasut setaan.

Laila yang tadinya akan tertidur, kini terjaga mendengar pertengkaran kedua orangtuanya. Sugi kini duduk didapur, disana ada Bagas yang baru selesai makan malamnya.

Ia tak begitu perduli akan pertengkaran ayah dan ibunya, sebab itu kerap terjadi dan baginya itu bagaikan nyanyian pilu yang menyakitkankan.

"Mau minum teh, Pak," Bagas menawarkan.

Sugi menarik nafas beratnya. Ia menganggukkan kepalanya. Bagas memasak air dan akan menyeduh teh panas untuk sang ayah. Sedangkan Laila beranjak dari tidurnya, memasak nasi untuk berjaga-jaga jika Meli terbangun tengah malam dan meminta makan, sebab jatah makannya sudah dihabiskan Bagas. Ia menyambar mie ayam yang dibeli oleh ibunya, lalu membawanya ke dapur.

"Ini mie ayam, Pak. Makanlah," ucap Laila, lalu menuangkannya ke dalam mangkuk, dan meletakkannya diatas meja. Ia tak jadi tertidur, sebab kantuknya hilang begitu saja setelah mendengar pertengkaran barusan.

Hati Sugi menghangat melihat anak-anaknya yang begitu memperhatikannya. Sugi menyeruput teh panas yang disuguhkan oleh Bagas, dan kini ingin memakan mie ayam tersebut. Akan tetapi ia merasakan perutnya sangat mual saat mencium aroma kuah yang menguar bagaikan bangkai.

"Buang mie ayamnya, aromanya sangat tak sedap," titah Sugi cepat.

Bagas meraih mangkuk berbahan plastik itu, lalu membawanya ke pintu dapur, dan melemparkannya sembarang arah.

Wuuuuuusss....

Mie ayam mendarat cantik diatas kepala sosok wanita yang saat ini sedang memunggunginya.

Bagas bergegas masuk dan menutup pintu.

******

Pagi menjelang. Laila, sudah selesai membuat sarapan. Ia akan masuk sekolah hari ini, sebab sudah sangat banyak libur, dan tentunya Meli ada sang ibu yang menjaganya.

Ia sudah menggunakan seragam sekolah, begitu juga dengan Bagas dan Nisa. Mereka tampak bersemangat untuk ke sekolah, sebab disana tempat mereka dapat bertemu sahabat dan juga guru yang siap mentransfer ilmunya kepada mereka.

"Jun, Juni, bangun," Laila mengguncang tubuh sang adik yang masih meringkuk didalam selimut.

"Emm, apaan sih, kak," tanyanya dengan nada malas.

"Ayo sekolah, sudah hampir siang," Laila mengingatkan.

Gadis kecil itu membuka selimutnya, dengan wajah kusutnya, ia menuju kamar mandi dan hanya mencuci muka serta menggosok gigi, ia kembali lagi dan mengenakan pakaian sekolahnya.

Ia bahkan sarapan nasi goreng hanya dengan dua suapan saja.

Keempatnya berpamitan kepada Sugi dan ibunya yang kini terlihat berbaikan dan sang ibu terlihat sudah keramas pagi-pagi sekali.

Ayu memberikan uang jajan lima puluh ribu untuk berlima. "Laila, ini uangnya nanti dibagi dengan adik-adiknya, habiskan saja sesuka kalian," ucap Ayu dengan pongahnya.

Keempat anaknya tercengang. Uang sebanyak itu tak pernah mereka dapatkan. Mendapatkan uang jajan gopek saja sudah senang bukan main, apalagi ini uang sebanyak itu dihabiskan dalam sehari, tentulah sangat menyenangkan.

Keempatnya berpamitan dan bergegas pergi.

Sugi mengerutkan keningnya, ia melihat perubahan sang istri yang sangat drastis dan tiba-tiba banyak uang.

"Uang banyak sekali, dik," ucap Sugi penasaran.

"Yaiyalah, emangnya kamu, Kang, melarat mulu," jawab Ayu dengan nada sinis. Kemudian ia beranjak dari kamar menuju dapur untuk sarapan.

"Nanti kita ke kota beli motor baru dan aku ingin membeli rumah pak RT yang sangat besar itu. Kabar rumahnya akan disita Bank, sebab ia gadaikan dan tidak dapat membayar angsurannya," ucap Ayu, lalu menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya.

Sugi tercengang. "Kamu sedang mengigau atau gimana, dik? Motor dan juga rumah pak RT itu mahal, sebab rumahnya besar dan.paling besar didesa ini," ucap Sugi menjelaskan.

"Ya justru itu, aku menginginkan rumah tersebut, itu keinginan anak dalam kandunganmu. Emangnya kamu gak kasihan jika nanti ia lahirnya selalu ileran," sahut Ayu tanpa beban.

Sugi menggaruk kepalanya frustasi. Harga rumah itu dua ratus juta. Dan itu sangat mahal bahkan hanya dalam mimpi sekalipun ia tak sanggup untuk membelinya.

"Dik, kalau ngidam jangan yang aneh-aneh, apalagi rumah dan motor yang harganya sangat mahal, kemana akang harus mencari uang sebanyak itu?" Sugi sungguh frustasi.

"Aku tau akang kere, dan aku membelinya dengan uangku, jadi tidak perlu akang repot dengan biayanya," sahut Ayu dengan santai.

"Hah, uang kamu? Emang.kamu dapat uang darimana?" tanya Sugi cepat.

Ayu mendenguskan nafas kesal. Ia tak suka jika dicecar pertanyaan seperti itu. "Jangan banyak tanya, deh, Kang. Kamu turuti saja apa yang aku katakan, atau aku akan pergi dari rumah ini," sahut Ayu ketus. Ia sudah selesai dengan sarapannya dan memilih beranjak keluar untuk berjalan-jalan.

"Bu," ucap Meli yang baru saja bangun tidur dan melihat sang ibu sudah bersiap keluar rumah dan berdiri diambang pintu.

"Apaan, sih, buruan bangun, cuci muka dan sikat gigi, laku sarapan, itu ayah kamu ada didapur!" titahnya dengan kasar.

Gadis mungil itu terbengong dan ia beranjak bangkit dengan wajah kusutnya menuju dapur.

Sementara itu, jam pelajaran telah dimulai. Semua anak mengikuti pelajaran seperti biasanya.

Tiba-tiba Juni merasakan perutnya sang mual. Ia merasa sesak ingin buang air, dan ini tak dapat lagi ia tahan.

"Permisi, Bu, mau buang air," ia menyela sang ibu Guru yang sedang menjelaskan materi ajar didepan kelas sembari mengangkat tangannya.

Guru wanita itu menganggukkan kepalanya, dan memberikan ijin. Lalu Juni ngacir ke toilet

Setibanya ditoilet, ia tak lagi dapat menahan rasa sakit diperutnya, sesuatu meluncur dari liang aanusnya bersama bercak darah, dan semakin lama tak terkendali. Gadis itu merasakan pandangannya berbayang seribu, tampak sosok mengerikan sedang menatapnya, lalu semuanya terasa gelap, ia tak lagi dapat merasakan apapun.

Terpopuler

Comments

Andini Andana

Andini Andana

waah salah tebakannya, ternyata tumbal selanjutnya adalah Juni, bukan Meli 🥹🥹

2024-01-20

7

ghina amd

ghina amd

jadi tumbal lagi

2024-04-24

0

A B U

A B U

lanjut

2024-03-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!