takut

"Syeeeeetan," teriak Bagas sembari menutup matanya dan tak ingin melihat ke belakang meskipun hanya ingin mengetahui siapa yang sedang menyentuh pundaknya.

"Gas, ini Bapak," ucap Sugi dari arah belakang, kemudian kembali menepuk pundak anak lelakinya yang saat ini sedang ketakutan.

Bagas akhirnya berhenti berteriak. Ia menarik nafas dalam dan menormalkan degub jantungnya yang begitu memburu.

sedetik kemudian, ia menolehkan wajahnya, dan ternyata itu adalah Sugi sang sang bapak. Saat bersamaan Laila membuka pintu untuk keduanya.

"Kang, saya balik dulu, ya," ucap Darmadi saat selesai menyaksikan drama Bagas yang berteriak tak jelas.

"Gak singgah dulu, Di. Ngopi atau apalah," Sugi mencoba mencegahnya, meskipun ia sadar jika dirumahnya tak ada bahan yang disebutkan.

"Makasih, Kang. Masih ada urusan," sahut Darmadi cepat. Ia ingin ke rumah bidan Andana, sebab tad ia berpapasan dengan Yudi yang tampak melaju menuju rumah sang bidan.

Wuuuuuussshh....

Desiran angin berhawa panas menyentuh tengkuknya. Ia merasakan bulu kuduknya meremang dan saat ia menoleh ke arah dinding kamar mandi yang dapat dilihat dari arah samping rumah, terlihat sosok mengerikan yang sedang memunggunginya.

Tanpa menunggu lama, Darmadi memilih untuk pergi.

"Mau apa si Yudi malam-malam ke rumah bidan Andana? Pasti ada niat terselubung," guman Darmadi dalam hatinya. Ia melajukan motornya, meskipun jalanan berbatu, tak membuatnya terhalang.

Sementara itu, Yudi sudah tiba dikediaman sang Bidan. Saat ini, wanita single itu baru saja akan menutup pintu setelah Darmadi dan kang Sugi pulang karena urusan membuat BPJS kesehatan gratis.

Suara deru mesin motor Yudi yang yang berhenti didepan rumahnya, membuat ia mengundurkan niatnya dan berdiri diambang pintu.

"Bu Bidan, tunggu," serunya dengan cepat. kemudian setengah berlari menghampiri wanita yang memiliki tinggi 157cm itu.

"Ada apaan, Bang?"

"Ayi.ke rumah saya, Bu," ucapnya tersengal.

"Mau ngapain," tanya Andana.

"Ya ngobati nenek saya, lah, bu. Masa iya ngobati hati saya," celetuk Yudi.

Andana mencebikkan bibirnya menanggapi sikap pemuda konyol itu. "Ya sudah, tunggu bentar, saya mau ambil peralatan medis dan kunci motor," jawab sang bidan, kemudian beranjak dari ambang pintu.

"Jangan bawa motor, Bu. Biar saya boncengin, biar cepat sampai," ucap Yudi, yang tentunya mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk situasi ini.

"Tidak, biar saya yang boncengin saja," sahut Darmadi dari arah belakang yang tiba-tiba sudah nongol dengan cepat. Sepertinya ia menggunakan kecepatan tinggi untuk dapat sampai ke rumah sang bidan.

"Yaelah, Kamu kenapa tiba-tiba bisa ada disini?" tanya Yudi dengan nada kesal. Ia menganggap jika Darmadi adalah saingan terberatnya untuk mendapat sang bidan.

"Aku tidak percaya padamu, dan ku pastikan jika bidan Andana aman bersamaku," jawab Darmadi, terlihat raut wajahnya memancarkan rasa cemburu yang sangat kentara.

Yudi memasang wajah cemberut. "Eh, santai sajalah, Bro! Emangnya bu Bidan mau aku apain, cuma diboncengin doank, masa iya harus ku culik," sahut Yudi yang tak kalah kesal.

"Saya bawa motor sendiri," sahut Andana, berusaha meredakan perdebatan kedua pemuda itu.

"Kok gitu, Bu. Sama saya saja, biar cepat sampai," Yudi merasa kecewa, sebab dari rumah ia sudah berkhayal untuk dapat membonceng sang bidan dan tentunya berduaan.

"Jangan.membantah, buruan. Kelamaan ngobrol sempat kejang nenekmu," jawab sang bidan, kemudian menghidupkan mesin motor dan melaju meninggalkan kedua pemuda yang sedang beradu argumen.

Sementara itu. Sugi dan juga Bagas memasuki rumah. Ia melihat Meli, Nusa dan juga Juni sudah tertidur lelap diatas tikar yang tanpa beralaskan kasur. Mereka meringkuk kedinginan dan hanya ada kain selimut yang sudah tampak lusuh sebagai penghangatnya.

"Ibumu dimana, La?" tanya Sugi kepada anak perempuannya yang terlihat sangat lelah karena harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, dan juga mengurus adik-adiknya.

"Didalam kamar, Pak," sembari menunjuk ke arah pintu kamar, "Bapak sudah makan?" tanyanya lirih.

"Belum, kamu sudah makan?" Sugi bertanya balik.

Gadis kecil itu menganggukkan kepalanya. "Itu ada mie ayam sebungkus lagi, Pak. Tadi ibu yang beli," ucap Laila, kemudian memilih untuk tidur, ia sudah sangat lelah, dan rasa kantuk yang menggelayut dimatanya, tak lagi dapat ia tahan.

Sugi menganggukkan kepalanya. Tetapi perasaannya sangat penasaran, sebab sang istri tiba-tiba ada uang untuk membeli mie ayam dalam jumlah banyak.

Bagas memilih ke dapur untuk mencari sisa makanan, dan masih ada setengah sendok nasi dan sepotong ikan, semua itu cukup untuk membuat perutnya mendingin dan mengurangi rasa laparnya.

Sugi menuju kamar. Ia melihat Ayu sedang bermain benda pipih yang sangat digemari oleh siapapun, bahkan bayi berusia satu tahun pun menyukainya.

"Ponsel," Sugi berguman dengan lirih, "Bagaimana mungkin Ayu dapat membelinya, itu sangat mahal," Sugi tak percaya jika Ayu memiliki benda tersebut. Meskipun harganya hanya 2 juta saja, tetapi itu sangatlah mahal baginya, sebab untuk mendapatkan uang sebanyak itu tidak ada dalam bayangannya.

Sugi menghampiri sang istri. "Dik," ucap Sugi pelan. Ia sudah berada ditepian ranjang, dan menatap perut besar sang istri yang jika tak ada halangan akan melahirkan seminggu lagi.

"Apa, Bang," jawabnya ketus.

"Kamu dapat uang darimana beli barang itu," tunjuk Sugi pada ponsel yang dipegang sang istri.

"Ya adalah, aku minta bapak jual tanahnya dikampung, dan aku mendapatkan bagianku," jawab Ayu berbohong.

Sugi terdiam sejenak. Ia tidak meyakini ucapan sang istri yang ia rasa hanya sebuah kebohongan belaka. "Akang tak yakin, sebab kamu tidak benar-benar pulang kampung!"

Ayu membolakan matanya dengan tatapan tajam. "Akang itu tau apa! Diam sajalah, dan nikmati apa yang ada sekarang, jangan banyak protes," sahut Ayu dengan nada tinggi.

Laila yang hampir saja memejamkan kedua matanya, kini harus kembali terjaga karena mendengar pertikaian kedua orantuanya.

Sugi terhenyak mendengar hardikan sang istri. Tertapi wanita itu terlalu cantik, sehingga ia tak dapat mengatakan ataupun membantah apa yang dikatakannya. Bahkan terkadang ia tampak seperti kerbau yang dicocok hidungnya.

"Ya sudah, ini tanda tangani, besok berkas ini akan Akang bawa ke rumah bidan Andana untuk diurusnya. Kita tidak tahu nasib badan, untuk berjaga-jaga jika kamu tidak dapat lahiran normal dan terpaksa operasi, maka biayanya akan ditanggung pemerintah," ucap Sugi dengan lembut.

Ayu masih sibuk dengan ponselnya. Ia seilah tak mendengar apa yang diaktakan oleh suaminya.

"Dik, tanda tangan disini, " ucap Sugi sembari memperlihatkan kolom yang harua ditandatangani.

Ayu mendengus kesal. kemudian menoleh ke arah sang suami yang menatapnya penuh cinta. Ia meraih kertas tersebut, tanpa membacanya ia merobek dengan kesal.

Sugi membolakan matanya. Ia menatap.tajam ke arah sang istri "Dik, mengapa kamu merobeknya? Akang sudah susah payah ke rumah bidan Andana untuk meminta bantuannya," ucapnya dengan tatapan sedih.

"Itu hanya untuk orang susah, dan tidak berlaku untukku!" jawab Ayu dengan congkak.

Terpopuler

Comments

N Wage

N Wage

dihhh!!! sombongnya kau ayu!

2024-04-30

0

ghina amd

ghina amd

jadi budak setan aja sombong

2024-04-24

0

A B U

A B U

next
,

2024-03-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!