Di saat bingung seperti itu tiba-tiba angin lembut berkesiur menyentuh pundaknya. Adijaya kaget karena tiba-tiba saja melihat sosok kakek berpakaian resi serba putih. Rambut, kumis dan jenggotnya juga putih. Tubuhnya memancarkan cahaya putih berkilau.
Lebih terkejut lagi, di samping kanannya sosok guriang yang mengabdi padanya tiba-tiba muncul dalam keadaan bersujud.
Seketika Adijaya merasakan dadanya berdebar kencang. Siapakah sosok di hadapannya?
"Cucuku, kau memiliki kekuatan besar maka tanggung jawabmu juga besar," berkata kakek itu. Suaranya pelan, lembut tapi berwibawa.
Adijaya merasa kelu untuk berkata-kata.
"Aku tugaskan kau untuk melenyapkan calon biang kehancuran alam Pasundan,"
Adijaya masih tergagap. Tubuhnya gemetar, dadanya semakin berdebar. Meski udara terasa dingin tapi ada setetes keringat di dahinya.
"Namanya Birawayaksa, dia bersemayam di hutan Mandapa,"
"Si.. siapa Birawa...yaksa...?" sebisanya pemuda ini bersuara.
"Dia gurunya Ganggasara,"
Ternyata orang pendek gendut itu Birawayaksa.
"Lenyapkan dia!" setelah berkata begitu kakek serba putih tiba-tiba lenyap.
Angin pun bertiup pelan lagi. Sosok guriang bangkit berdiri.
"Siapa dia?" tanya Adijaya. Melihat sikap guriang tadi pasti dia tahu siapa orang serba putih tadi.
"Seluruh bangsa guriang tunduk dan bersujud padanya. Eyang Batara,"
"Eyang Batara?"
"Manusia setengah dewa yang mahasakti. Bangsa guriang dan siluman tidak ada yang berani macam-macam sama beliau,"
Ingat guriang, ingat percakapan Ganggasara tadi dengan gurunya.
"Lalu, pasukan guriang yang katanya akan membantu pasukan Panglima?"
"Saya sudah memberitahu Raja Guriang. Mereka tidak akan menuruti perintah Birawayaksa. Oh, ya. Tuan harus segera mencari Birawayaksa. Dia manusia setengah siluman. Tuan harus menemukannya sebelum dia berganti jenis menjadi siluman seutuhnya." jelas si guriang sebelum sosoknya menghilang.
Adijaya termenung. Ingat ucapan kakek yang disebut Eyang Batara tadi. Kekuatan besar, tanggung jawab besar. Seberat inikah tugasnya?
Kemudian Adijaya kembali ke tempat pertarungan panglima dan bawahannya. Ternyata Cakrawarman sudah tidak ada. Yang ada hanya Hastabahu dan Dewaraja yang sudah terkapar jadi mayat. Di salah satu mayat itu ada selembar kulit pohon yang ada tulisannya menggunakan darah.
Pemuda ini mengambilnya. Lalu membaca tulisan itu.
"Adijaya anakku, ya sepantasnya kau memang jadi anakku. Pergilah, jangan mengikutiku lagi. Aku tak ingin menyeretmu ke dalam hal ini. Aku tidak ingin nantinya kau dicap pemberontak. Kau masih muda, jalanmu masih panjang. Manfaatkan untuk jalan kebenaran. Aku sudah melihat kemampuanmu. Ternyata kau memiliki kekuatan luar biasa. Aku kagum. Berjuanglah!"
Dari Cakrawarman.
Adijaya menghempaskan nafas. "Semoga Gusti Panglima masih diberi keselamatan."
***
Di ruang paseban istana Indraprahasta Prabu Wiryabanyu mengumpulkan para Nayaka Praja. Juga hadir beberapa utusan dari kerajaan tetangga. Dari telik sandi dia telah menerima kabar bahwa pasukan Cakrawarman mendirikan markas di hutan Palutungan.
Mereka yang hadir adalah, Ragabelawa panglima indraprahasta, Bonggolbumi panglima pasukan darat dari Sindangrejo, Limbur Sakti panglima pasukan laut juga dari Sindangrejo, Tambak Giri panglima Wadana, Tunggul Wesi mentri Tanda, Tapak Batara kepala urusan istana, Prabu Sela Lingganagara yang menjadi penghubung raja-raja, adik Prabu Wiryabanyu, Babarkalih buyut Wanagiri, Jarandewa mentri Tua, Wisagni mentri Muda dan Brahmanaresi Samhitaka pendeta Wisnu pembawa sangkala penanggung jawab pertapaan dan sungai Gangga.
Prabu Wiryabanyu membuka percakapan. "Pasukan akan dibagi dua. Panglima Limbur Sakti membawa pasukan pertama menyusuri sungai Cimanuk. Nantinya akan bergabung dengan pasukan Manukrawa yang dipimpin panglima Welutbraja.
Dan pasukan kedua akan dipimpin oleh saya bersama Panglima Ragabelawa. Kita akan bergerak ke selatan dulu lalu berbelok ke barat dan kembali ke utara di mana pasukan Cakrawarman berada. Penyerangan akan dilakukan waktu Balebat."
Demikian titah sang Prabu yang langsung disetujui oleh semua yang hadir.
***
Pagi hari waktu Balebat, pasukan Cakrawarman yang sebagian besarnya sedang terlelap dikejutkan oleh suara gemuruh.
"Musuh datang!" teriak seorang prajurit jaga.
Prajurit lain segera berlari menuju tenda Cakrawarman.
"Ampun, Gusti Panglima. Musuh datang menyerang!"
Cakrawarman terperanjat dari tidurnya. "Apakah pasukan bantuan sudah tiba?"
"Belum, Gusti,"
Cakrawarman membanting tangannya. Kesal.
"Siapkan semua pasukan, kita hadapi mereka!"
"Sendika, Gusti!"
Pasukan Cakrawarman pun segera menyerbu. Keadaan yang tidak siap membuat mereka kewalahan menghadapi musuh.
Namun, bagi orang-orang kepercayaan Cakrawarman yang memiliki kepandaian lebih tidak terlalu kaget. Hanya menyesalkan, musuh menyerang secara licik. Tapi ini memang bukan perang resmi. Ini penyerangan menumpas pemberontak. Jadi kapan saja waktunya yang penting pemberontakan bisa diredam.
Cakrawarman juga sudah turun menghalau serangan prajurit musuh. Dia heran, kenapa pasukan bantuan dari berbagai daerah yang mendukungnya belum juga tiba? Apa mereka mendadak berubah pikiran?
Begitu tiba waktu 'Carangcang Tihang', pasukan yang dipimpin Limbur Sakti yang bergabung dengan pasukan Manukrawa datang menambah kekuatan musuh. Pasukan Cakrawarman semakin kewalahan. Banyak prajuritnya tewas. Bahkan beberapa orang kepercayaan yang terbilang sakti juga tak mampu menahan amukan lawan. Akhirnya banyak yang tewas juga.
Semua kejadian itu disaksikan oleh Adijaya dari pucuk sebuah pohon. Tangan kanannya memegang Payung Terbang yang terbuka agar badannya selalu melayang.
Dia melihat panglima Cakrawarman begitu gigih melawan musuh-musuhnya. Prajurit biasa tampaknya tidak mampu menyentuh sang Panglima. Sehingga yang menjadi lawannya adalah yang sudah berpangkat senapati.
Melihat ada Prabu Wiryabanyu yang agak jauh, Cakrawarman melompat mendekati. Mengira Panglima akan menyerang sang Prabu, beberapa orang langsung menghadang dengan tombak terhunus.
Jreb! Jreb!
Tak mampu menahan laju tubuhnya yang sedang melompat akhirnya beberapa tombak menembus dada dan perutnya. Sang Panglima menatap sayu kepada Prabu Wiryabanyu. Kemudian raja Indraprahasta ini mendekat. Beberapa prajurit mundur setelah melihat isyarat sang Prabu.
Tubuh Cakrawarman goyah hendak ambruk tapi ditahan Prabu Wiryabanyu. Bibirnya bergetar seperti ingin berbicara. Lalu Prabu Wiryabanyu mendekatkan telinganya.
Cukup lama Cakrawarman membisikan sesuatu kepada raja Indraprahasta itu sebelum akhirnya tubuhnya terkulai ambruk tak bernyawa lagi.
Dari atas pucuk pohon, Adijaya meneteskan air mata menyaksikan kejadian itu. Panglima Cakrawarman pasti sudah memberitahukan kebenarannya kepada Prabu Wiryabanyu, pikir pemuda ini.
Hal ini bisa dilihat dari wajah Prabu Wiryabanyu yang tampak prihatin. Pertarungan berhenti. Sisa prajurit Cakrawarman menyerah.
Begitulah akhir dari pemberontakan Panglima Cakrawarman. Sang Panglima tewas. Para pengikutnya yang masih hidup digiring ke kota raja Tarumanagara. Yang benar-benar terlibat dihukum mati, yang cuma ikut-ikutan masih diampuni dengan syarat bersumpah setia kepada Tarumanagara.
Atas keberhasilan menumpas pemberontakan ini, kerajaan Indraprahasta mendapatkan penghargaan. Prajurit Indraprahasta dijadikan pasukan Bhayangkara di pusar Tarumanagara. Salah satu putri Prabu Wiryabanyu dinikahi oleh Maharaja Wisnuwarman. Sungai Gangga yang berada di wilayah Indraprahasta dijadikan tempat untuk mandi suci para kerabat istana.
Adijaya sudah tidak ada di tempatnya. Dia sudah berjalan di suatu desa. Perutnya yang lapar membuatnya mencari kedai. Dia punya banyak kepeng emas pemberian Darma Koswara. Jadi dia tidak perlu kerja dulu untuk mendapatkan makan. Ya, itulah pikirannya. Jika ingin makan, maka harus kerja.
Sambil makan sambil tanya-tanya tentang hutan Mandapa.
Tugas pertamanya sebagai manusia yang mempunyai kekuatan.
Berhasilkah?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 211 Episodes
Comments
Jimmy Avolution
Ayo ..
2022-05-21
0
Syaepudin Udin
nusantara rasa india
2021-12-26
1
Kelana Syair (BE)
kok kesaktian adijaya tidak ada yg istimewa,cuma ilmu dasar.
2021-02-02
0