Mengetahui keberadaan markas Panglima Cakrawarman yang berada di Wanagiri, Tarumanagara mengirimkan pasukan inti yang berasal dari kerajaan bawahan wilayah barat seperti Ujung kulon, Sabhara, Salakanagara, Agrabinta dan Legon. Namun, telik sandi dari komplotan pemberontak mengetahui rencana ini. Sehingga pada saat pasukan inti itu datang, Panglima Cakrawarman beserta pengikutnya telah meninggalkan markasnya.
Panglima Cakrawarman bertolak ke Cupunagara. Alasan ke Cupunagara tentunya karena Prabu Satyaguna yang menjadi raja di sana adalah mertuanya. Pasukan pengikut Cakrawarman mendirikan markas di hutan wilayah Cupunagara. Sedangkan sang Panglima bersama beberapa orang kepercayaannya berada di istana bermaksud meminta bantuan dan dukungan sang mertua. Karena sampai saat ini kerajaan Cupunagara belum menentukan sikap. Apakah mendukung sang menantu atau tetap berpihak kepada Tarumanagara?
Sehari setelah kedatangan pasukan Cakrawarman, rombongan Adijaya bersama majikan dan gurunya juga sampai di istana Cupunagara. Ki Brajaseti yang merupakan sahabat Prabu Satyaguna diperkenankan untuk menunggu di ruangan yang telah di sediakan.
Sementara Cakrawarman sedang bercengkrama bersama istrinya. Prabu Satyaguna menemui dua orang kepercayaan menantunya di ruang paseban.
"Gusti Panglima berencana ingin mendirikan kerajaan tandingan yang pasti akan didukung separuh wilayah Tarumanagara," jelas Dewaraja yang menjabat sebagai wakil panglima angkatan perang Tarumanagara tapi mendukung langkah Cakrawarman.
"Di manakah tempatnya itu, tuan Dewaraja?" tanya Prabu Satyaguna.
"Tentu saja di sini," yang menjawab adalah Hastabahu, pemimpin Bhayangkara yang juga membelot ke Cakrawarman.
Prabu Satyaguna terhenyak. "Di sini?"
"Ya, Gusti Prabu bisa menobatkan Gusti Panglima menjadi raja di Cupunagara. Setelah itu kerajaan-kerajaan bawahan yang berpihak kepada Gusti Panglima akan berkumpul dan menobatkan beliau sebagai Maharaja," jelas Dewaraja.
Sang Prabu termenung. Bingung melanda pikirannya. Bagaimana tidak? Salah seorang putranya menjadi Senapati di Tarumanagara dan juga putri bungsunya diperistri oleh salah seorang mentri Tarumanagara juga. Kalau sampai rencana ini disetujui, apakah nantinya tidak akan terjadi perang saudara? Maka dari itu Prabu Satyaguna tidak segera memberi jawaban.
Malam harinya dia menemui Ki Brajaseti untuk membicarakan masalah ini. Sang Prabu memang sering meminta nasihat dari sahabatnya yang berkecimpung di dunia persilatan itu. Pernah menawarkan suatu jabatan. Namun, Ki Brajaseti menolak dengan halus. Memang, seorang pendekar berhati lurus tidak tergoda akan jabatan.
Sementara Ki Brajaseti ditemani muridnya bertemu Prabu Saytaguna, Adijaya tampak menyendiri di kebun belakang istana. Suasana gelap tampak terang oleh pembakaran ranting-ranting.
Di saat hanyut dalam pikiran yang teringat masa lalunya, tiba-tiba satu suara besar menyapanya.
"Sendirian saja?"
Adijaya melihat ke arah datangnya suara. Seorang lelaki tinggi besar, badannya kekar berotot. Wajahnya tegas dengan sorot mata penuh wibawa dihiasi kumis tipis di atas bibirnya yang agak tebal. Laki-laki ini langsung duduk di samping Adijaya.
"Ya, majikan saya sedang menemui Gusti Prabu di dalam. Saya menunggu saja di sini,"
"Siapa majikanmu?"
"Juragan Darma Koswara dan gurunya Ki Brajaseti,"
"Oh, mereka rupanya,"
"Tuan...?" maksud Adijaya menanyakan siapa orang di sampingnya.
"Saya Cakrawarman!"
Seketika Adijaya kaget mendengar namanya. Segera saja dia menjura seperti merasa bersalah karena tak tahu adat.
"Oh, ampuni hamba Gusti Panglima, hamba tidak tahu berhadapan dengan siapa,"
"Sudahlah, tidak apa-apa!"
Adijaya kembali ke sikap semula, hanya sekarang duduknya agak merendah.
"Kenapa Gusti Panglima ada di sini?"
"Aku merasa suntuk tapi belum mengantuk. Jadi aku berjalan-jalan sekedar mencari angin. Eh, ada kamu di sini. O, ya siapa namamu?"
"Adijaya, Gusti,"
"Bagus juga namamu. O, ya, aku ingin bertanya kepadamu,"
"Hamba, Gusti,"
"Kau pasti tahu dengan apa yang terjadi baru-baru ini, apa pendapatmu?"
Melihat langsung seorang panglima yang dikatakan pemberontak ini ternyata orangnya ramah. Atau cuma pura-pura saja. Untuk tahu lebih jelas lagi ada baiknya dia bertanya langsung kepada sang Panglima.
"Ampun, Gusti. Kalau boleh hamba bertanya, apakah benar Gusti Panglima tidak puas atas pengangkatan Gusti Wisnuwarman sebagai Maharaja?"
"Hmm, baiklah aku akan menjelaskan," jawab sang Panglima. "Aku memang tidak puas atas sikap Raka Prabu Purnawarman yang menobatkan putranya menjadi Maharaja menggantikan beliau. Tapi aku juga menghormati keponakanku sebagai Maharaja karena itu adalah hal wajar. Sudah menjadi kewajaran jika tahta Kaprabon akan diwariskan kepada putranya,"
Mendengar ini Adijaya tampak mengerenyitkan kening.
"Kau masih belum paham?"
Adijaya menggeleng pelan.
"Aku hanya tidak puas atas sikap kakakku, tapi aku tetap menghormati keputusan itu,"
"Terus kenapa memberontak?" tak sadar Adijaya bertanya seperti itu karena kepolosannya.
Cakrawarman tersenyum. "Aku hanya dimanfaatkan,"
"Maksud ,Gusti?"
"Mereka yang mengetahui ketidakpuasanku memanfaatkan hal ini untuk membujukku agar aku memberontak merebut tahta. Dan ternyata yang mendukung juga banyak,"
"Apakah Gusti Panglima sebenarnya tidak ingin memberontak?"
Cakrawarman menggeleng. Tatapannya kosong ke depan.
"Terus peristiwa penyusup yang hampir membunuh Gusti Maharaja?"
"Itu fitnah, aku tidak pernah menyuruhnya,"
"Jadi, sekarang bagaimana?"
"Sudah terlanjur, aku sudah dinyatakan pemberontak. Sekarang hanya mencoba peruntungan saja," Cakrawarman mendesah.
Adijaya angguk-angguk kepala. Memang benar apa yang terlihat atau terdengar kadang-kadang berbeda dari kenyataan yang sebenarnya. Mungkin sebenarnya yang ingin memberontak adalah para pengikut Panglima Cakrawarman tapi mereka tidak mempunyai tokoh panutan untuk dijadikan raja. Atau belum menemukan. Atau sudah ada rencana lain lagi. Bisa saja apabila pemberontakan ini berhasil dan Panglima Cakrawarman jadi Maharaja, selanjutnya mereka akan menggulingkannya di kemudian hari lalu muncullah sosok asli yang sebenarnya ingin menjadi Maharaja. Ah! Ini hanya sekelumit pikiran saja. Hanya menduga-duga.
***
Di dalam ruangan khusus pertemuan Prabu Satyaguna dengan Ki Brajaseti.
"Apa Gusti Prabu mendengar langsung dari Gusti Panglima?" tanya Ki Brajaseti mengenai pembicaraan tadi siang bersama dua orang kepercayaan Cakrawarman, Dewaraja dan Hastabahu.
"Aku sama sekali belum bicara dengan menantuku,"
Ki Brajaseti memicingkan mata. "Ada baiknya Paduka menanyakan langsung kepada Gusti Panglima. Aku menduga Gusti Panglima hanya dimanfaatkan saja,"
"Bisa jadi, karena sebenarnya aku juga ragu dengan sikap yang diambil menantuku. Apakah benar sesuai kehendaknya? Atau akibat bujukan para pengikutnya. Dia memang seorang Panglima yang gagah berani. Tidak ada peperangan yang tidak ia menangkan sehingga Tarumanagara menjadi besar. Tapi dia juga memiliki sifat gamang yang gampang dibujuk,"
Pada saat itu muncullah Cakrawarman bersama Adijaya.
"Mohon maaf Ayahanda, saya ingin bicara!" Cakrawarman menjura lalu memilih tempat duduk yang hanya berupa lantai kayu jati. Adijaya duduk di dekat Darma Koswara.
"Silahkan, Ananda,"
"Terlebih dahulu saya ingin menanyakan apa yang dibicarakan Dewaraja dan Hastabahu?"
Ki Brajaseti dan Prabu Satyaguna saling pandang.
"Katanya Ananda ingin menjadikan Cupunagara sebagai tandingan Tarumanagara,"
Cakrawarman terhenyak. Mendesah. Menunduk.
"Sungguh, sebenarnya saya tidak ingin terjadi perang saudara. Apalagi menyeret Cupunagara menjadi musuh Tarumanagara. Saya hanya ke sini hanya singgah sementara untuk menghindari pasukan Tarumanagara. Besok lusa saya akan meninggalkan Cupunagara,"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Styaningsih Danik
jd pemimpin kok mleyat mleyot 🤔
2023-01-25
0
Jimmy Avolution
Nice...
2022-05-21
0
Kadek nak Bali
hmmmmhhhh jadi seperrtiiiiii ituuuuuuu 🤔
2021-02-09
3