"Apakah Ananda tidak berpikiran untuk menyudahi hal ini? Menyerah misalnya?" tanya Prabu Satyaguna.
"Saya sudah terlanjur, pengikut saya banyak. Saya mencoba peruntungan saja,"
"Hati-hati Gusti Panglima," ujar Ki Brajaseti. "Di antara pengikut Gusti itulah sebenarnya yang ingin jadi penguasa. Walaupun tidak menjadi Maharaja tapi bisa mengatur dan mengendalikan segalanya,"
"Entahlah, pikiran saya tidak sampai ke arah sana. Tapi nasihat Tuan Brajaseti akan saya ingat supaya saya selalu waspada."
Begitulah akhirnya Prabu Satyaguna hanya memberikan perbekalan saja untuk pasukan Panglima Cakrawarman. Keesokan harinya pasukan yang sudah dicap pemberontak ini akan meninggalkan wilayah Cupunagara.
Sebelum berangkat Cakrawarman menemui Ki Brajaseti dan Darma Koswara.
"Saya ingin mengajak serta Adijaya dalam perjalanan untuk menjadi teman ngobrol," pinta Cakrawarman.
"Oh, dia anak buahnya muridku," tunjuk Ki Brajaseti ke arah Darma Koswara.
"Silakan Gusti Panglima, lagi pula tugas dia sudah selesai mengantar saya," kata Darma Koswara.
"Agan tidak keberatan?" tanya Adijaya.
"Tentu tidak. Oh, ya, ini upah selama kau jadi anak buahku," Darma Koswara memberikan sekantung kepeng emas kepada Adijaya.
"Terima kasih, Agan memang majikan yang baik. Kalau takdir masih mempertemukan kita suatu saat, saya akan kembali bekerja pada juragan,"
"Ya, ya, semoga beruntung karena sekarang kau bersama juragan yang lebih besar, hahahaha...!"
Begitulah perjalanan hidup Adijaya kini berganti majikan. Bersama Panglima Cakrawarman. Bersama pemberontak. Tapi tak peduli.
Rombongan Cakrawarman bergerak ke arah tenggara. Pasukan inti yang terdiri orang-orang dengan jabatan tinggi berada di tengah termasuk Cakrawarman yang berada dalam kereta kuda. Orang-orang kepercayaan sang Panglima menunggangi kuda masing-masing. Pasukan inti ini diapit dua pasukan prajurit di depan dan belakang. Masing-masing pasukan dikepalai oleh seorang Senapati.
Masih ada lagi, di depan dan di belakang sejauh belasan tombak ada pasukan penjaga. Bila ada musuh datang menyerang, tugas mereka menghalau dan juga segera memberi tahu pasukan inti.
Kabarnya pasukan dari daerah yang memihak Cakrawarman juga akan segera bergabung. Beberapa orang telah dikirimkan untuk menyampaikan perjalanan mereka.
Kuda-kuda yang ditunggangi tidak digebah berlari, tapi hanya berjalan pelan saja. Menghemat tenaga. Adijaya diberikan tunggangan kuda, berjalan di samping kereta yang dinaiki Cakrawarman. Beberapa orang kepercayaan Panglima tampak berbisik-bisik membicarakan Adijaya. Dengan indra pendengaran yang sangat peka, sebenarnya Adijaya bisa mendengar pembicaraan mereka. Tapi dia pura-pura tuli saja.
"Kita kemana, Gusti?" tanya Adijaya kepada Panglima Cakrawarman karena tempat duduk Panglima di dalam kereta dekat ke Adijaya yang di luar.
"Indraprahasta, tapi wilayah hutannya,"
"Oh, itu daerah asal saya, Gusti,"
"Oh, ya. Kau masih punya orang tua?"
Entah kenapa sang Panglima merasa suka bila berbincang dengan pemuda ini. Enak diajak ngobrol, walau suka ceplas- ceplos.
Tanpa sungkan Adijaya menceritakan tentang dirinya yang berayahkan seorang perampok. Dari mulai kabur dari rumah sampai diusir dari padepokan. Tapi tidak menceritakan selama hidup di goa dan pertemuannya dengan mahluk guriang. Ceritanya langsung loncat bertemu dengan juragan Darma Koswara.
"Mengenaskan juga nasibmu," ujar Panglima.
Adijaya hanya tersenyum tipis.
***
Ketika malam tiba, rombongan telah sampai di suatu desa. Namun, mereka lebih memilih wilayah hutan dekat desa untuk mendirikan tenda untuk istirahat. Mereka tidak ingin mengganggu penduduk desa apalagi bila ada serangan musuh datang. Jangan sampai rakyat biasa jadi korban. Walaupun pengikut Panglima ada yang berbuat onar, tapi bukan menyasar ke rakyat jelata.
"Apa Gusti Panglima tidak merasa cemas sewaktu-waktu musuh bisa datang tiba-tiba?" tanya Adijaya yang semakin akrab dengan Panglima. Walaupun secara usia mereka bagaikan ayah dan anak.
Adijaya bertanya begitu karena mereka seolah-olah hanya melakukan perjalanan biasa saja yang tidak sedang dikejar musuh. Mendirikan tenda dan menyalakan api unggun untuk penerangan. Tentu saja ini akan mudah dilihat musuh.
"Aku percaya orang-orangku memiliki kepandaian yang tak diragukan lagi," jawab Panglima yakin.
Mereka duduk berdua saja di depan api unggun. Sejak ada Adijaya, Panglima Cakrawarman lebih sering mengobrol dengan pemuda itu. Sedangkan orang-orang kepercayaannya hanya menyampaikan hal-hal yang penting saja.
"Gusti, siapa orang itu?" pandangan Adijaya menunjuk ke arah orang yang sedang berdiri di bawah pohon. Lelaki paruh baya yang berbadan tinggi besar. Wajahnya klimis sehingga kerutan tuanya jelas.
"Namanya Ganggasara, seorang mentri dari Agrabinta,"
"Agrabinta? Bukankah kerajaan itu tidak memihak Gusti?"
"Ya, hanya mentrinya saja, dia!"
"Oh,"
Sebenarnya sejak mulai perjalanan Adijaya sering memperhatikan Ganggasara.
Malam makin larut, Cakrawarman telah masuk ke tendanya. Adijaya masih di sana. Dia memperhatikan terus gerak-gerik Ganggasara yang sepertinya menunggu kesempatan. Begitu junjungan semua orang di sini beristirahat, mentri yang membelot dari kerajaannya ini langsung pergi entah kemana. Tapi dia tidak tahu kalau gerak-geriknya diawasi Adijaya dengan cara melayang tanpa suara menggunakan payung terbang mengikuti langkah sang mentri.
Di suatu tempat yang jauh dari perkemahan, yang tidak bisa dilihat siapapun. Kecuali Adijaya karena diam-diam pemuda ini terus mengikuti. Ganggasara tampak berdiri seperti menunggu seseorang. Adijaya memperhatikan dari atas pohon. Indra pendengarannya dikuatkan sejelas mungkin.
Lalu muncul satu sosok pendek bulat. Lelaki berbadan gemuk dan pendek yang wajahnya brewokan sedikit seram. Siapa dia?
Dengan seksama Adijaya menguping pembicaraan mereka. Sesaat dia angguk-angguk kepala. Cukup lama mereka berbicara. Walaupun pelan hampir berbisik, tetapi Adijaya bisa mendengar dengan jelas.
Tampak si gemuk pendek sudah menghilang di kegelapan, lalu si mentri tinggi besar kembali ke perkemahan.
Adijaya menunggu keadaan benar-benar aman. Siapa tahu orang bulat itu sakti mandraguna sehingga mengetahui keberadaannya lalu muncul lagi mencarinya. Ternyata tidak. Si pendek gemuk benar-benar hilang. Kemudian dia pun segera kembali ke perkemahan. Melayang tidak terlalu tinggi, hanya satu jengkal dari pucuk pohon. Tentunya menggunakan payung terbang jelmaan guriang yang bisa dipanggil kapan saja.
Suasana di perkemahan tampak sunyi. Beberapa prajurit jaga juga tidak ada yang mengobrol. Adijaya belum mengantuk. Dia harus memberitahu apa yang barusan dia dengar dari percakapan mentri Ganggasara dengan orang pendek gemuk itu kepada Panglima Cakrawarman secara pribadi. Empat mata.
"Kenapa kau belum istirahat?" tiba-tiba satu suara bertanya mengagetkan Adijaya.
Ternyata Hastabahu pemimpin Bhayangkara.
"Belum ngantuk, Gusti,"
"Tadi kau kemana?" selidik Hastabahu.
"Saya buang hajat, Gusti," jawab Adijaya dibuat-buat malu.
Hastabahu duduk di bongkahan kayu di samping Adijaya.
"Apakah kau masih kerabatnya Gusti Panglima?"
"Bukan, sebelumnya saya bekerja pada juragan Darma. Kemudian Gusti Panglima meminta saya ikut rombongan ini,"
"Oh, begitu. Lantas untuk apa? Apa kau ditugaskan sesuatu?"
Pertanyaan Hastabahu cukup beralasan mengingat rombongan ini dalam perjuangan menggulingkan tahta di kerajaan pusat.
"Hanya teman ngobrol," jawab Adijaya polos. Memang begitu adanya. Hanya teman bicara.
"Cuma itu? Kukira kau mendapatkan tugas istimewa!"
Hastabahu melempar ranting ke api ungun lalu beranjak meninggalkan Adijaya.
Apa yang Adijaya ketahui tentang Mentri Ganggasara?
Ikuti terus lanjutannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 211 Episodes
Comments
Wawan Kurniawan
penulisnya seperti sudah senior dalam membuat cerita. begitu rapih, teratur dan alurnya menarik tanpa harus muter muter... keren 👍
2023-04-17
0
Jimmy Avolution
Ayo...
2022-05-21
0
tarjun
madodep josht gandosss
2022-04-14
1