Yang dikerjakan Adijaya setiap hari adalah mencari dan mengumpulkan kayu bakar, membantu tukang masak di dapur serta menyiapkan makanan untuk murid-murid bila waktunya istirahat. Mencuci pakaian guru dan dua pamannya. Di padepokan ini semua penghuninya laki-laki. Ki Ranggasura sendiri sudah lama menduda. Kepada murid yang sudah dewasa seperti Arya Sentana dan Komara, sang guru sudah menyarankan untuk menikah jika sudah ingin berkeluarga. Istrinya boleh tinggal di padepokan.
Arya Sentana yang merasa kasihan dan sudah menganggap Adijaya seperti keponakan sendiri, diam-diam mengajarkan anak itu mengolah tubuhnya menjadi kuat. Setiap hari beban kayu bakar yang diangkat dengan cara dipikul selalu ditambah. Bagusnya, Adijaya selalu semangat mengerjakannya.
Anak mendiang Gandara pimpinan Begal Cakrageni yang telah tewas beberapa hari yang lalu ini juga tidak tahu kalau cara memotong atau menebas kayu bakar merupakan bagian dari gerakan jurus. Secara tidak sadar walaupun tidak diajari silat, tubuh Adijaya ditempa agar menjadi kuat dan memiliki tenaga yang besar.
Setidaknya dia memiliki tubuh yang sehat dan kuat.
Bila Adijaya sedang memotong kayu bakar menjadi bagian-bagian kecil, secara tak sengaja dia mendengarkan Komara yang menerangkan tentang sebuah jurus. Menjelaskan tentang manfaat dan tujuan sebuah gerakan. Cara menggerakan dan menyalurkan tenaga. Bagaimana kecepatan dan ketepatannya. Semua yang dijelaskan itu Adijaya bisa mengingatnya ketika hendak tidur.
"Aku yakin kau akan tetap menjadi orang baik, tidak seperti yang disangkakan para murid," ujar Arya Sentana di suatu malam ketika yang lain sudah terlelap.
Pendekar Tinju Dewa mengunjungi Adijaya di biliknya sebelum tidur.
"Untuk itu saya tidak belajar silat agar tetep menjadi orang baik, Paman,"
"Tapi aku kasihan, bagaimana kalau ada yang jahat terhadapmu?"
"Saya yakin selama kita berbuat baik, maka kebaikan pula yang akan menghampiri kita,"
"Wah, hebat, ucapanmu seperti seorang resi." Arya Sentana tertawa.
"Saya memang pernah mendengar kata-kata itu, tapi entah dari mana?"
"Sebenarnya aku ingin mengajarimu ilmu silat secara diam-diam,"
"Tidak perlu, Paman. Saya sudah senang seperti ini. Bisa bermanfaat untuk orang lain,"
Keduanya terdiam. Merenungi jalan pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Arya Sentana pamit untuk istirahat.
Ketika Adijaya telah terlelap dalam mimpi. Diam-diam Arya Sentana masuk ke biliknya. Lalu menempelkan telapak tangan kanan ke perut anak itu.
Mengisi tenaga dalam ke tubuh Adijaya.
"Ada banyak orang yang membencimu karena asal-usulmu, aku ingin dirimu terlindungi dari marabahaya, aku yakin kau orang baik."
Setelah beberapa saat Arya Sentana telah menghilang lagi dari tempat itu.
***
Ketika waktu 'Kongkorongok Hayam' (sebelum fajar menyingsing) Adijaya terjaga dari tidurnya. Ia sudah siap melakukan tugasnya. Terlebih dahulu anak tiga belas tahun ini membersihkan badannya di sungai dekat padepokan. Udara gunung ditambah air sungai di pagi buta membuat badan terasa seperti di pendam dalam es. Tapi Adijaya tampak biasa saja seperti mandi dengan air hangat. Ia tidak sadar, tenaga dalam yang di isi secara diam-diam oleh Arya Sentana telah membuat tubuhnya tahan di segala cuaca.
Selesai mandi kemudian membantu memasak di dapur sampai habis waktu 'Balebat' (Subuh). Ketika 'Carangcang Tihang' (hari mulai terang) tugas Adijaya selanjutnya adalah mencari kayu bakar ke hutan. Di kepalanya telah ingat berapa potong yang harus dia pikul pagi ini sesuai perintah Arya Sentana. Setiap hari semakin berat, tapi aneh dan tak disadari dia bisa memikulnya dengan ringan.
Dalam perjalanan pulang sambil memikul kayu bakar, menelusuri jalan setapak di dalam hutan, Adijaya berpapasan dengan tujuh orang murid yang seumuran dengannya. Mereka hendak mandi ke sungai.
"Hei! Ada anak penjahat!" Tunjuk Kupra.
Serempak tujuh orang ini mengurung Adijaya dengan muka penuh kebencian. Anak ini hanya menatap polos. Pikulannya masih menggantung di pundak kanan.
"Anak penjahat, seharusnya kau sadar diri. Kau tak pantas berada di sini!" hardik Kupra sambil menuding sinis.
Yang lainnya mengiyakan sambil mengangguk angkuh dan bertolak pinggang bahkan ada yang membuka kuda-kuda.
"Biarkan saya lewat, saya sedang bertugas,"
"Alah! Tidak bisa!" sentak Kupra lagi.
"Kau boleh lewat setelah mendapatkan pelajaran!" ujar yang lain.
"Apa salah saya?"
"Masih bertanya, sudah jelas kau anak perampok. Dosa ayahmu setinggi gunung sedalam lautan dan kau yang harus menanggungnya, hajar!"
Seketika tujuh murid yang masih remaja ini menyerang. Pikulan kayu bakar terjatuh. Adijaya terjajar ke belakang karena dorongan tangan orang di depan nya. Lalu dari belakang datang sebuah tendangan ke punggungnya.
Bersamaan dengan itu dari enam lainnya meluncur serangan ke kepala, muka, pinggang, perut dan paha. Semuanya bersamaan dan gerakannya cepat. Secara naluri Adijaya hanya mengangkat kedua tangan untuk melindungi kepalanya.
Dukk! Dukk!
"Auw!"
"Aaah!"
Bukan Adijaya yang menjerit tapi ke tujuh orang yang mengeroyoknya. Bahkan mereka sampai terjungkal.
Apa yang terjadi?
Ternyata serangan mereka seperti menghantam batu karang yang keras. Adijaya juga tidak mengerti keadaannya. Tubuh kasarnya yang telah ditempa secara tidak sengaja menjadikan tulang dan kulitnya kuat. Ditambah simpanan tenaga dalam dari Arya Sentana secara ajaib bekerja sendiri membantu tubuhnya.
Adijaya tercengang.
Tetapi yang dilaporkan kepada Ki Ranggasura berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya.
"Anak perampok ini ternyata memiliki kepandaian silat. Beberapa teman kami telah dilukai. Saya dan beberapa teman saya jadi saksinya!" ucap dusta salah seorang murid bernama Jantra.
Lalu beberapa murid lain mendekat ke tempat berdirinya Jantra sebagai tanda mereka juga menjadi saksi.
Seperti biasa Adijaya hanya diam dengat raut wajah yang datar. Percuma membantah.
"Guru, usir dia dari sini!" pinta salah seorang murid yang diiyakan oleh murid-murid lainnya.
Arya Sentana dan Komara tampak menghela nafas. Menatap sang guru. Menantikan jawaban. Karena mereka tak bisa menentukan keputusan.
Dengan berat hati, akhirnya sang guru besar mengabulkan tuntutan murid yang sebagian besar menginginkan Adijaya diusir dari padepokan. Arya Sentana memberikan bekal secukupnya untuk kebutuhan hidup Adijaya nanti.
"Hendak ke mana kau pergi, biar salah satu pamanmu mengantarkan?" tanya Ki Ranggasura.
"Tidak perlu diantar, Eyang. Mungkin saya akan kembali bekerja di kedai Bibi Sariti."
"Baiklah kalau begitu. Sekali lagi maafkan aku yang tidak bisa melaksanakan wasiat ayahmu."
Ki Ranggasura tampak berkaca-kaca lalu memeluk anak ini. Arya Sentana menatap kasihan. Hanya sampai pintu gerbang padepokan, Pendekar Tinju Dewa ini mengantarkan kepergian Adijaya yang dipaksa karena tuntutan murid-murid.
Namun, wajah Adijaya tetap datar seperti tak terjadi apa-apa walau dalam hatinya berkecamuk, bergemuruh hingga terass panas di dada. Tapi tidak dendam.
Dengan langkah mantap, Anak Penjahat ini meninggalkan padepokan tanpa menoleh lagi ke belakang.
Jadi orang berguna tidak harus menjadi pendekar.
Kemanakah Adijaya akan pergi?"
ikuti terus kisahnya. Jangan lupa dukung dengan memberikan like, vote & bintang lima...
Salam Cersil Nusantara....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 211 Episodes
Comments
Anas Anas
manthap
2022-08-23
0
Jimmy Avolution
Asyiek...
2022-05-20
0
Ahonk sundanese
sunda pisan author na carangcang tihang enjing-enjing, balebat ruebun reubun keneh 😁
2021-12-16
0