Arya Sentana mengerahkan tenaga penuh pada tangan dan kakinya. Kepalan tangan kiri dijadikan tameng bagi wajahnya yang menjadi sasaran dari arah depan. Serangan yang menghantam tameng ini seperti menghantam dinding baja sehingga membuat penyerangnya terpental bahkan merasakan akibat benturan itu seperti merontokan tulang-tulangnya.
Begitu juga dengan tiga serangan lain. Yang mengarah ke jantung dari arah kiri di tahan dengan pukulan tangan kanan. Berbarengan dengan siku kanannya menahan serangan ke iga dari arah kanan. Dan tendangan kaki ke belakang menahan serangan ke punggungnya dari arah belakang.
Semua itu terjadi dalam sekejap mata saja.
Semuanya bernasib sama. Serangan mereka seperti menghantam dinding baja yang malah mendorong balik hingga mereka terjengkang dan ambruk.
Yang bernama Wikarta dan Sarkawi langsung tewas seperti tanpa luka di luar tapi di dalam tulang-tulang dan uratnya hancur. Yang bernama Kuntala tampak masih megap-megap menahan ngilu yang amat sangat. Sedangkan sang pimpinan tergeletak lemas tapi masih bisa bersuara.
"Adijaya...anakku..."
Ki Ranggasura menghampiri sambil membawa Adijaya yang kelihatan masih takut dan ragu untuk mendekati ayahnya.
"Kemarilah, Adijaya..."
Ditemani oleh si kakek, Adijaya bersimpuh di samping ayahnya. Ada rasa kasihan melihat nasib ayahnya yang seperti itu. Menjadi orang lumpuh tak berdaya. Diam-diam hatinya tersayat juga. Tapi tak bisa berkata apa-apa.
"Adijaya, maafkan ayahmu. Kau harus tahu, sejahat-jahatnya seorang ayah, tidak ingin anaknya menjadi jahat juga. Ayah ingin kau jadi anak yang baik. Jangan mengikuti jejak ayahmu. Kau benar kalau kau tak mau ikut ayah lagi karena jadi perampok. Tapi ayah juga khawatir kalau kau hidup sendirian. Ki Ranggasura....."
"Ya!"
"Aku serahkan anakku, didiklah dia jadi orang baik dan berguna...."
Gandara terkulai menghembuskan nafas terakhir. Beginilah akhir hayat Begal Cakrageni. Tanpa bersuara, Adijaya meneteskan air matanya. Ada rasa senang dan sedih bersamaan. Senang karena pada akhirnya ayahnya sadar akan sepak terjangnya selama ini. Sedih karena saat ayahnya bertobat harus kehilangan nyawa juga. Tak ada dendam di hatinya. Ia menganggap ini adalah karma bagi ayahnya.
"Eyang, ada satu orang hilang!" seru Komara menyadari sesuatu.
Semua mengedarkan pandangan. Salah satu anggota begal yang bernama Kuntala telah lenyap karena kini hanya ada tiga jasad dan satu jasad di pinggir lapangan.
"Seseorang berilmu tinggi telah membawa jasadnya," ujar Ki Ranggasura merasa lengah."Gerakannya cepat dan tidak bersuara, sungguh hebat ilmunya,"
"Siapa dia, Eyang?" tanya Komara.
Sang guru menggeleng pelan. "Bisa jadi guru mereka," gumamnya pelan.
"Dia membawanya karena masih hidup." ujar Arya Sentana.
"Mari kita kuburkan mereka dengan layak." ajak Ki Ranggasura.
Dibantu beberapa murid lain, empat jasad Begal Cakrageni akhirnya dikuburkan di tempat yang jauh dari padepokan.
Keesokan harinya Ki Ranggasura mengumumkan bahwa Adijaya telah diangkat jadi murid padepokan Linggapura. Di depan sang guru besar para murid padepokan menunjukan sikap menerima kehadiran Adijaya sebagai murid baru. Namun, ketika mereka kumpul-kumpul di kala istirahat, ada berbagai tanggapan menyikapi anak baru itu.
Ada yang menerima dengan senang hati karena sikap Adijaya yang menentang ayahnya. Yang ingin menjadi orang baik tidak mengikuti jejak hitam sang ayah.
Ada juga yang menolak. Alasannya sifat anak pasti tidak jauh dari orang tuanya. Mungkin saja sekarang dia bersikap baik. Atau cuma pura-pura, padahal di dalam hatinya dia menyimpan dendam kesumat atas kematian ayahnya. Bisa jadi suatu saat akan menuntut balas setelah berhasil menguasai semua ilmu di padepokan ini. Kelompok ini ternyata jumlahnya lebih banyak dari kelompok pertama.
Dan ada yang bersikap biasa saja. Tidak menerima, tidak juga menolak. Acuh tak acuh. Siapapun Adijaya bukan jadi urusannya. Hanya sebatas saudara seperguruan. Kelompok ini juga jumlahnya cuma sedikit.
Suatu pagi ketika semua murid hendak latihan. Kelompok yang menolak Adijaya yang jumlahnya paling banyak berkumpul di salah satu sisi lapangan. Salah seorang yang menjadi perwakilan menemui Komara. Bahwa para murid ingin mengadu.
"Ada apa?" tanya Komara begitu berada di hadapan para murid.
"Kami ingin Adijaya dikeluarkan dari padepokan," jawab salah seorang murid yang seumuran dengan Adijaya.
"Apa alasannya?"
"Kami tidak ingin ada bibit penjahat di padepokan ini!"
"Bukankah kalian semua tahu, dia tidak ingin seperti ayahnya?"
"Maaf, Paman, buah jatuh pasti tidak jauh dari pohonnya. Saya khawatir suatu saat dia akan balas dendam atau menebar malapetaka seperti ayahnya."
"Jangan khawatir," Komara menarik nafas sejenak. "Saya percaya guru bisa mendidiknya jadi orang baik,"
"Kami tetap menolak, Paman!" salah seorang murid yang di belakang berteriak.
Lalu datanglah Adijaya bersama Arya Sentana.
"Saya akan pergi dari padepokan jika teman-teman semua tidak berkenan," kata Adijaya datar. Raut wajahnya dingin. Dia sadar dan mengerti keadaan. Lagi pula sebenarnya dia kurang minat dengan ilmu silat.
"Ayahmu telah menyerahkan tanggung jawabnya padaku, Adijaya," ujar Arya Sentana.
"Bersihkan padepokan ini dari bibit penjahat!"
"Usir anak iblis itu!"
"Ya, padepokan ini tempat orang-orang bersih dan suci!"
"Tunggu, tunggu!" teriak Komara menyela di antara teriakan-teriakan para murid yang tampak bernafsu ingin segera mengusir Adijaya.
Semuanya terdiam. Angin berhembus sejuk di seantero padepokan yang letaknya di lereng gunung Lingga itu. Suasana pagi yang indah jadi mencekam.
"Begini saja," ucap Komara memecah kesunyian. "Karena tanggung jawab untuk mendidik Adijaya kini berada di pundak Raka Arya, maka Adijaya tidak bisa dikeluarkan dari padepokan. Hanya..."
Komara berhenti. Menghela nafas. Yang lain tampak menunggu. Adijaya masih bersikap datar. Keheningan melanda lapangan berlatih lagi. Termasuk kelompok lain yang berkumpul terpisah juga menunggu.
"Bagaimana Rayi?" tanya Arya Sentana memecah keheningan.
"Maaf, Raka, begini pendapatku. Adijaya tetap tinggal di padepokan tapi tidak boleh diajarkan ilmu silat,"
Terdengar gumaman di sana sini sambil saling pandang murid-murid satu sama lain.
Tidak diajarkan ilmu silat berarti cuma diajarkan tentang tata krama dan perilaku yang baik saja.
"Bagaimana, Raka?" balik tanya Komara.
"Baiklah, aku setuju!" jawab Arya Sentana tanpa pikir panjang lagi.
Semuanya tampak menghembuskan nafas. Bagi kelompok yang menerima, merasa lega. Tapi bagi yang menolak, masih menyimpan rasa kecewa. Karena sebenarnya mereka lebih ingin Adijaya enyah dari padepokan.
Kejadian ini segera diberitahuakan kepada sang guru besar Ki Ranggasura. Begitulah akhirnya Adijaya boleh tinggal di padepokan Linggapura tapi tidak mendapatkan ajaran ilmu silat.
Bagi Adijaya bukan suatu masalah karena dari awalnya dia tidak suka ilmu silat. Walaupun kata Ki Ranggaguna asal digunakan untuk kebaikan, membela kebenaran. Tapi dia masih dihantui sepak terjang ayahnya.
Benar juga kata murid-murid yang menolaknya. Bisa saja jika sudah memiliki ilmu silat yang tinggi, sifatnya akan berubah dan seketika ingin membalas dendam ayahnya.
Tidak jadi seorang pendekar pembela kebaikan dan penolong yang lemah juga tidak apa-apa.
Jadi manusia berguna tidak harus jadi pendekar.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 211 Episodes
Comments
Jimmy Avolution
Sippp...
2022-05-20
0
Abelino Mercy jr
mantap alur ceritanya bagus
2021-09-24
1
Bayu Ajay
hadeh kasian calon pendekar nya
2021-06-19
2