Pagi hari diwaktu Balebat pasukan Cakrawarman sudah melanjutkan perjalanan. Seperti biasa Adijaya menunggangi kuda di samping kereta yang membawa sang Panglima.
Di belakang kereta. Hastabahu dan Ganggasara tampak berdekatan di atas tunggangannya. Tatapan Ganggasara tak lepas dari Adijaya.
"Semalam aku merasa diikuti seseorang," tutur Ganggasara. "Gerakannya sangat halus. Pendekar berilmu rendah tak akan merasakan kehadirannya,"
"Kau mencurigai seseorang?" tanya Hastabahu.
Percakapan mereka pelan sekali. Seperti sedang berbisik-bisik.
"Entahlah, aku harus mencurigai siapa. Semua orang-orang di sini di bawah kendali kita. Termasuk Panglima," jawab Ganggasara.
"Pemuda itu?" Hastabahu melirik ke arah Adijaya.
"Aku curiga dia menyembunyikan sesuatu. Dari kemarin sepertinya dia mengawasiku,"
"Ya, tampang bodoh kadang-kadang menipu,"
"Tapi apa yang ditakutkan dari pemuda ingusan macam dia?"
"Semalam aku sempat memperhatikannya, tapi aku sedikit teledor. Dia menghilang sebentar tanpa aku ketahui kapan dia meninggalkan tempatnya. Waktu itu dia di depan api unggun. Anehnya, aku juga tidak tahu kapan dia kembali. Tahu-tahu sudah di tempatnya semula," tutur Hastabahu diakhiri dengan cerita tadi malam saat dia menanyai Adijaya.
"Kita lihat saja, dia tak kan lepas dari pengawasanku!"
Apa yang mereka bicarakan tak lepas dari pendengaran Adijaya yang sangat peka.
"Gusti, apakah kita akan melewati hutan Palutungan?" tanya Adijaya kepada Panglima Cakrawarman.
"Ya, itu tujuan kita ke sana. Kita akan membuat markas baru di sana. Rencananya semua pasukan pendukung dari daerah-daerah akan menuju ke sana juga,"
"Oh," Adijaya angguk-angguk sambil menerawang ke atas.
"Ada apa kau menanyakan itu?"
"Saya ingin memberitahukan sesuatu, tapi hanya berdua saja,"
"Oh, ya. Apakah itu penting? Kau mengetahui sesuatu?"
"Ya, Gusti. Kalau bisa jangan sampai orang lain tahu,"
Cakrawarman menongolkan wajahnya ke luar jendela kereta. Menatap Adijaya. Entah kenapa pemuda ini berani balas menatap dengan raut muka sungguh-sungguh.
"Baiklah, kau atur saja!"
"Baik, Gusti."
***
Hutan Palutungan terletak di kaki gunung Indrakilla (Ciremai) jauh di sebelah barat dari kota raja Indraprahasta yang berada di sebelah timur malah agak masuk ke utara. Dalam waktu tujuh hari pasukan pemberontak ini sudah sampai di sana. Saat matahari tepat di atas kepala mereka tiba. Seperi biasa mereka percaya diri. Tidak takut ancaman musuh menyerang. Bahkan terhadap Indraprahasta yang dalam hal ini memihak Tarumanagara.
Di saat yang lain sibuk mendirikan tenda dan keperluan lainnya. Tiga orang ini malah diam-diam meninggalkan kesibukan. Mereka adalah Mentri Ganggasara, Wakil Panglima angkatan perang Dewaraja dan pimpinan Bhayangkara Hastabahu.
Mereka pergi ke suatu tempat terpencil yang jarang di masuki manusia. Di dalam hutan yang rimbun. Cahaya matahari tidak dapat menembus lebatnya dedaunan sehingga suasananua tampak temaram.
"Pastikan tidak ada yang menguntit!" ujar Hastabahu kepada Ganggasara.
Memang di antara ketiganya, Ganggasara paling sakti ilmunya. Jadi dia dipercaya bisa merasakan kalau-kalau ada yang mengikuti.
Ganggasara terpejam sejenak. "Tidak ada!"
"Benar, gurumu memerintahkan kita ke sini?" tanya Dewaraja kepada Ganggasara.
"Ya, aku akan memanggilnya,"
Kemudian Ganggasara menyatukan dua telapak tangan di dada. Mulutnya komat-kamit. Seketika angin dingin berhembus sebentar. Tiba-tiba muncul sosok lelaki pendek gemuk yang wajahnya brewokan.
"Eyang, kami datang," ucap Ganggasara.
Yang dipanggil Eyang ini menatap satu persatu orang di depannya.
"Persyaratannya jelas, aku dijadikan penasihat raja. Dan kalian mengendalikan semua roda pemerintahan atas kehendakku," kata si pendek gemuk.
"Ya, Eyang. Kami telah menyanggupinya," kata Ganggasara.
"Bagus! Aku akan segera mengumpulkan pasukan guriang untuk membantu perjuangan kalian!"
Setelah berkata begitu sosok pendek gemuk yang dipanggil Eyang ini menghilang kembali.
"Siapa yang akan jadi maharaja menggulingkan Cakrawarman?" tanya Ganggasara.
Dua kawannya saling pandang. Dalam hati mereka sangat menginginkan kedudukan itu. Tapi melihat ketinggian ilmu Ganggasara, mereka seolah ciut. Dibayang-bayangi ketakutan akan direbut lagi tahtanya.
"Aku percaya kau saja, karena kau yang paling sakti di antara semuanya," ujar Dewaraja.
"Ya, asal kami mendapatkan kedudukan yang paling tinggi setelah kau," ujar Hastabahu.
Tiba-tiba!
"Oh, jadi ternyata ini rencana kalian!"
Ketiga orang ini sama-sama berpaling ke arah sumber suara.
Cakrawarman!
Inilah yang di maksud Adijaya ketika dia hendak memberitahukan sesuatu. Sebelumnya waktu Adijaya menguntit Ganggasara bertemu dengan sosok yang dipanggil Eyang. Ganggasara memberitahukan bahwa hutan Palutungan akan dijadikan markas dan meminta bantuan agar Eyang pendek gemuk itu mengirimkan pasukan guriang. Tapi si Eyang mengajukan syarat. Seperti yang telah diketahui dalam percakapan tadi.
Kemudian secara diam-diam Adijaya bersama Panglima menguntit mereka. Tentu saja si pemuda menggunakan kekuatannya agar tidak tersadap oleh mereka.
Mereka terkejut melihat kedatangan Cakrawarman yang tiba-tiba. Hastabahu dan Dewaraja sama-sama memandang Ganggasara. Maksudnya, kenapa bisa ada penguntit? Sedangkan tadi bilangnya tidak ada!
Selagi bingung hendak berkata atau melakukan apa. Cakrawarman yang sudah tersulut amarah langsung menyerang ketiganya. Mau tak mau mereka harus melayani pemimpinnya.
Kejap berikutnya satu sosok berkelebat ke arah Ganggasara. Adijaya.
"Kau!"
Ganggasara terkejut bukan main. Adijaya langsung melancarkan serangan sambil membawa lawannya menjauh dari arena pertarungan Cakrawarman melawan dua bawahannya.
Kecurigaan Ganggasara benar. Bahwa Adijaya menyembunyikan sesuatu. Ternyata anak muda ini memiliki kekuatan yang tak bisa dianggap sepele. Buktinya dia tidak merasakan saat dikuntit. Berarti waktu itu juga benar bahwa anak muda inilah yang menguntit lalu memberitahu kepada Cakrawarman sehingga terjadilah pertarungan ini.
Karena sudah tahu kelebihan lawan. Ganggasara tidak tanggung-tanggung mengeluarkan semua kekuatannya. Jurus-jurus andalan langsung dikeluarkan dengan tenaga dalam penuh.
Bagi Adijaya ini adalah pertarungan kedua setelah sebelumnya melawan Pendekar Nusa Sabay. Kali ini lawannya lebih tangguh. Ganggasara memiliki hawa maut yang tak kenal ampun. Adijaya mengeluarkan jurus ciptaannya yang tak bernama dengan tingkatan yang lebih tinggi sambil sesekali meniru jurus lawan.
Sampai dua puluh lima jurus berlalu Ganggasara belum juga bisa mendesak lawan. Sebenarnya Adijaya juga merasa was-was. Ragu akan kekuatannya karena sebenarnya dia belum benar-benar paham dengan ilmu yang dimilikinya.
Namun, keraguan itu ia coba tindih dengan ketenangan. Sementara ini dia bertarung bukan untuk mengalahkan. Tapi bertahan sambil mencari celah kelemahan lawan.
Begitu celah terbuka, kesempatan didapat. Tak buang waktu lagi segera dia lancarkan pukulan.
Degh!
Telapak tangan kanan Adijaya berhasil menembus pertahanan lawan. Mendarat di dada Ganggasara yang bidang itu. Sehingga tubuh sang mentri ini terjengkang jatuh bergulingan hingga sejauh lima tombak.
Adijaya mengejar. Tapi sosok Ganggasara lenyap bagai ditelan bumi. Sudah mengitarkan pandangan tapi tak terlihat tanda-tanda keberadaan orang itu.
"Kemana dia?"
Di sebelah sana pertarungan sang Panglima lawan dua bawahannya masih berlangsung sengit. Hastabahu dan Dewaraja tampak terdesak walaupun mereka yang mengeroyok. Cakrawarman sepertinya tak memberikan ampun kepada dua orang itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 211 Episodes
Comments
Jimmy Avolution
Sippp...
2022-05-21
0
Ihb
horeg euy lanjutkang
2022-03-29
0
akp
mantab
2021-05-08
2