Part 14

"Haduh Bi Sari ini bikin kaget saja. Kalau aku jantungan terus anfal gimana tuh? Bibi mau tanggung jawab?" gerutu Moses.

"Maaf, Den! Bibi gak bermaksud ngagetin loh. Tadi Bibi lihat Den Moses masuk ke sini, Bibi kira mau tidur di sini."

"Enggak lah, Bik. Tadi cuma lihat kalau kamar ini lampunya nyala, kukira ada Renata di sini, ternyata kosong. Biasanya tuh anak kan slunang-slunung aja kalau mau nginap di sini. Udah kayak rumahnya sendiri aja. Kadang aku merasa gak enak, kalau ada tetangga yang lihat kan bisa salah paham. Anak gadis kok sering nginap di rumah anak bujang."

Bi Sari tertawa mendengar ucapan Moses, membuat pemuda itu merasa kesal. Tak ada yang salah kan dengan ucapannya? Kok malah ditertawakan.

"Kok tertawa, Bi?" tanya Moses sambil melotot.

"Lha Den Moses ini lucu, masa Bibi gak boleh tertawa sih?"

"Lucunya di mana sih, Bi? Kan ucapanku itu benar."

"Benar gimana sih, Den? Kan Den Moses gak punya tetangga. Rumah ini kan jauh dari rumah-rumah lain, kiri kanan masih kebun. Kadang dibilang hutan juga sama orang-orang. Non Renata tinggal di sini juga tetangga gak bakal ada yang tahu, kan jauh."

Moses menggaruk kepalanya yang tak gatal, benar juga apa yang dikatakan Bi Sari. Seharusnya Moses tak usah cemas, meski Renata sering menginap tak ada orang lain yang tahu. Teman kos Renata juga tak tahu, gadis itu selalu pamit pulang ke rumahnya setiap menginap di rumah Moses.

"Lalu? Bibi ke sini tadi mau ngapain?" tanya Moses mengalihkan obrolan.

"Tadi Bibi lihat Den Moses masuk ke sini, terus Bibi ingat kalau kamar ini belum Bibi beresin. Jadi mau beres-beres dulu sebelum Den Moses ngamuk, hehehe." Bi Sari cuma nyengir melihat Moses semakin manyun.

"Ya udah kalau gitu, Bibi beresin sekarang! Siapa tau nanti penghuninya datang, bisa ngamuk dia kalau kamarnya berantakan."

"Peng-penghuni, Den? Jangan nakutin Bibi dong!" kata Bi Sari sambil meraba tengkuknya yang meremang.

"Nakutin gimana? Kan memang penghuni kamar ini suka ngamuk kalau kamarnya berantakan. Si Renata loh, Bi. Emang Bibi pikir siapa?"

"Oh, Non Renata toh. Bibi kira penghuni mahluk astral, hehehe."

"Dasar parnoan!" dengkus Moses kesal sambil keluar kamar.

Bi Sari mengangkat bahu dan tersenyum, melihat majikannya yang kesal. Wanita paruh baya itu kemudian melakukan tugasnya, beres-beres kamar tamu.

Di villa, Renata tampak uring-uringan. Entah kenapa gejolak aneh kerap terjadi padanya belakangan ini. Keinginan untuk selalu bersama dengan lawan jenis begitu menggebu dan harus dilampiaskan, kalau tidak ingin tersiksa secara bathin. Seperti orang sakaw terhadap zat adiktif, begitulah gejolak yang timbul di hati Renata.

Satu-satunya pria di villa itu cuma Pak Giman, jadi terpaksa Renata harus rela berselancar dengan pria tua itu. Rasa jijik Renata saat bersama Pak Giman, terkalahkan dengan gejolak yang dia rasakan. Renata menutup mata saat melakukannya, sambil membayangkan pria lain, bukan Pak Giman.

Moses juga tak menampakkan batang hidungnya sejak malam itu. Malam di mana Renata ketahuan sedang berasyik-asyik dengan Pak Giman di taman. Renata tahu Moses sangat marah, karena itu tak ada keberanian untuk menghubungi kekasihnya itu, meski pun sekedar mengirim pesan chat.

Pagi itu dengan wajah pucatnya yang mirip vampir, Renata duduk di meja makan. Bi Minah memasak di dapur yang berada satu ruang dengan tempat itu. Bau masakan Bi Minah membuat Renata merasa mual.

"Masak apa sih, Bi? Baunya bikin mau muntah aja!" gerutu Renata.

"Bibi masak sayur lodeh, Non. Kalau Non Renata gak mau cium bau masakan Bibi, ya jangan duduk di situ atuh. Sana yang jauhan, biar gak bau!" kata Bi Minah tenang.

"Udah berani ya Bibi sama aku? Ingat ya, Bi! Di sini aku majikannya, dan Bibi hanya sekedar pembantu di sini. Yang sopan dong!" Emosi Renata semakin tersulut mendengar jawaban Bi Minah.

"Lah? Kan Bibi benar, Non. Ini kan dapur, tempat orang masak. Kalau gak mau cium bau masakan, ya jangan ke dapur."

Renata sudah berdiri dari duduknya, hendak menghampiri dan mencakar muka Bi Minah yang dinilainya kurang ajar. Pembantu peyot itu harus diberi pelajaran, kata Renata dalam hati.

"Non! Jangan begitu! Bagaimanapun, Bi Minah itu lebih tua dari Non Renata. Meski cuma seorang pembantu, harus tetap dihormati!" hardik Pak Giman yang muncul dari pintu belakang.

"Tapi dia kurang ajar, Pak. Masa aku diusir dari sini, kan di sini yang majikan itu aku, bukan dia." Renata masih nyolot.

"Diusir gimana sih, Non? Kan Bibi cuma bilang, kalau gak mau cium bau masakan Bibi ya Non jangan di sini. Itu yang Non bilang ngusir?" Bi Minah jadi terbawa emosi.

"Tuh, Pak! Pak Giman lihat kan gimana kelakuan istri Bapak? Pembantu aja belagu." Renata semakin manyun.

Bi Minah berbalik dari menghadap kompor, jadi menghadap ke Renata. Wanita setengah baya itu menjadi marah, karena Renata semakin kurang ajar padanya. Pak Giman yang melihat situasi semakin panas, segera menghampiri dan memeluk pinggang sang Istri.

"Sudah, Bu! Jangan diladeni! Itu bawaan orok, tau sendiri kan kalau wanita bunting itu sensitif? Paling dia lagi haus diituin sama Bapak," bisik Pak Giman di telinga Bi Minah.

Bi Minah mendengkus kesal, kemudian berbalik menghadap kompor. Sayur lodeh di panci jadi pelampiasan emosinya, sayur itu diaduk dengan kasar, sampai kuahnya sedikit tumpah ke luar panci.

Pak Giman tersenyum lembut, sambil mencium leher istrinya. Melihat hal itu, Renata merasa cemburu. Bibir Pak Giman hanya boleh mencium lehernya, bukan leher Bi Minah.

"Ikut aku, Pak!" perintah Renata.

"Bapak masih ada kerjaan di taman belakang, Non. Den Moses telepon nanti mau ke sini, dan kebun lily di belakang sudah harus rapi. Emangnya Non Renata ada perlu apa sama Bapak?" tanya Pak Giman.

"Gak jadi deh."

Mendengar Moses akan datang, emosi Renata mereda. Gadis itu sekarang malah tersenyum lebar. Renata membayangkan bisa bersama Moses, dan melakukan ritual seperti sepasang kekasih yang sudah lama tak bersua. Moses pasti sedang merindukan dirinya, juga merindukan sesuatu yang juga dirindukan Renata.

Sambil bernyanyi riang, Renata pergi dari dapur ke kamarnya. Renata hendak mempersiapkan diri bertemu Moses. Dia harus tampil cantik dan wangi.

Bi Minah mencubit pinggang suaminya kesal, karena Pak Giman menatap Renata dengan pandangan penuh kerinduan.

"Aduh! Sakit loh, Bu."

"Salah sendiri! Ada istrinya kok segitunya lihatin perempuan lain," gerutu Bik Minah.

"Halah, cemburu toh istriku ini? Tenang aja, Bu! Bapak lebih suka sama Ibu ketimbang dia. Punya Ibu lebih rapet dan menggoda, hahaha."

Bik Minah tersenyum mendengar ucapan suaminya. Perempuan itu berbisik di telinga sang Suami. "Punya Bapak juga lebih keras dari punya Den Moses dan papanya, hihihi."

Terpopuler

Comments

FiaNasa

FiaNasa

sinting smua ternyata ya,,kok kayak piala bergilir

2024-01-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!